Saat itu musim panas. Udara begitu panas, dan matahari menyengat. Yang seharusnya menikmati musim panas dengan bermain air, aku lebih memilih untuk menikmatinya hari ini dengan berdiri di balkon rumah. Menunggu angin sejuk menerpa wajahku. Tapi, tak ada angin sejuk. Hanya sebuah bola pantul terjatuh di halaman rumah. Dan dari sinilah pertemuan kami berawal. Kulihat seorang anak laki-laki seusiaku menyelinap dari pagar semak di samping rumah, mengambil bola pantulnya. Tepat saat dia mengambilnya, dia sadar aku memperhatikannya. Pandangan kami bertemu, dan anak itu tersenyum. Senyumnya begitu hangat, bagaikan angin musim panas menerpa wajahku. Sedetik kemudian, anak itu pergi, melewati pagar semak yang sama.
Dengan cepat aku berbalik, berlari keluar rumah dan mengintip dari pagar semak yang sama pula. Kuperhatikan dia bermain bersama kawan-kawannya. Dua hari kulakukan hal yang sama, dengan penuh rasa ingin tahu. Entah kenapa aku ingin sekali mengamatinya, wajahnya yang ceria, dan senyumnya yang hangat. Apa aku jatuh cinta? Apa ini yang namanya cinta? Apa anak 9 tahun bisa jatuh cinta? Entahlah, aku bahkan tidak tahu yang seperti apa itu cinta.
Di taman, di hari ketiga aku mengamatinya dari balik pohon. Bola pantul itu berlari padaku, dan berhenti tepat di kakiku. Aku memungutnya, dan kemudian anak itu datang. Lagi-lagi wajah itu, senyuman itu. Dengan baiknya, anak itu mengajakku bermain. Dari situ aku tahu namanya, Larry. Kami menghabiskan waktu bersama, canda dan tawa, hingga langit menjadi jingga. Rasanya begitu menyenangkan. Aku tidak ingin meninggalkan momen seperti ini. Esoknya pun begitu, esoknya, esoknya, esoknya lagi, dan entah sudah berapa lama waktu terlewat. Kami selalu bersama. Tapi, suatu hari kami harus berpisah. Larry dan keluarganya pindah kekota seberang. Ayahnya dipindah tugaskan. Larry memberiku bola pantulnya sebagai kenangan akan dirinya. Aku tersenyum menerimanya, meski hatiku terasa sedih. Aku sadar dia adalah cinta pertamaku.
Tidak ada kabar darinya. Surat ataupun telepon. Aku tahu ini cinta yang singkat. Kucoba untuk melupakannya, meski tersisa sedikit memori tentangnya di sela-sela otak ku. Lama waktu berlalu, aku sudah berumur 18 tahun, dan mulai memasuki jenjang kuliah. Tapi, suatu hari takdir mempertemukan kami. Bertemu dengannya, lagi, di universitas yang sama, jurusan yang sama. Betapa beruntungnya diriku. Meski dia jauh berubah, aku masih mengingat wajah dan senyuman itu. Pertemuan kami menyenangkan, kuceritakan tentang bola pantul yang diberikannya padaku. Dan dia mulai bercerita tentang dirinya di kota seberang dengan semangat. Satu hal lagi yang tak berubah dengannya, dia selalu penuh semangat.
Rasa itu mulai kembali, cinta yang telah lama kutimbun kini kembali tumbuh sebagai tanaman baru. Hidupku menjadi lebih 'hidup', penuh warna, dan bahagia. Di kelas, terkadang aku memandanginya yang duduk di bagian depan, di samping Derrick, pria berambut coklat. Di kantin pun kami makan bersama, di meja yang sama, dan berbagi kisah tentang diri kami. Aku tahu, aku menyukainya, dan aku merasa dia juga menyukaiku. Aku melihat dari pandangan matanya, tingkahnya, caranya berbicara, dan caranya tersenyum.
Tapi, perkiraanku salah. Ada gadis lain yang sudah mengisi hatinya lebih dulu. Aku begitu sedih dan kesal. Aku tahu, aku tidak patutu cemburu, karena Larry bukan milikku. Cintaku pun layu begitu cepatnya. Begitu menyedihkan. Kulewati masa kuliahku seperti biasanya, meski tidak begitu berwarna seperti dulu. Meski aku dan Larry masih sering bersama di kelas dan di kantin, wajah itu bukan milikku. Senyum itu menjadi terasa tak ada arti lagi. Benar-benar hidup yang menyedihkan.
Tepat pada usiaku yang ke-22, aku menerima kelulusanku dengan prestasi yang membanggakan. Kedua orangtuaku memelukku penuh rasa bangga. Larry pun memelukku senang. Aku sedikit terkejut, tapi kubalas hanya dengan tersenyum. dan yang paling mengejutkan adalah, Derrick memintaku menjadi pacar, dan melamarku. Ya, pria berambut coklat itu melamarku. Pria itu ternyata begitu mengenal kedua orang tuaku, karena kedua orangtua mereka teman baik kedua orang tuaku. Orangtuaku tersenyum senang. Mereka yang meminta Derrick untuk melamarku. Sementara Larry, begitu terkejut. Kulihat dari ekspresi wajahnya. Tapi, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku mulai berpikir. Jika aku tidak bisa mendekati cinta, biarkan cinta mendekatiku. Jadi, kujawab dengan singkat. "Ya."
Sebulan kemudian, pernikahan kami akan berlangsung. Tempat dan dekorasi telah siap. Gaun pernikahan pun sudah kukenakan. Meski aku belum mencintai Derrick, tapi aku tahu, suatu saat aku akan mencintainya. Meski itu butuh waktu yang sangat lama, aku akan belajar untuk mencintainya. Aku berjalan melewati tamu undangan, menyeret gaun putihku yang indah, sembari memegang buket bunga. Di depan sana, Derrick sudah menungguku dengan penuh senyum kebahagiaan. Seharusnya saat ini aku tersenyum, tapi aku sulit untuk tersenyum. Aku memaksa bibirku untuk tersenyum. Tapi semakin sulit saat kulihat Larry di antara tamu undangan. Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Sedih, sesal, dan nanar. Membuatku jadi bingung. Aku terus berjalan. Aku dan Derrick saling berdiri berpandangan. Aku berisaha tersenyum, membalas senyumannya. Kulirik tamu undangan. Kulihat Larry berjalan pergi. Aku terkejut. Sementara Derrick, pria itu menggenggam tangan kananku, sementara tangan kiriku menggenggam erat buket bunga. Aku menatap Derrick, dan Larry bergantian, berulang kali. Larry semakin jauh. Tapi, aku tidak ingin pria itu pergi, pergi jauh dariku.
Kutatap Derrick, dan kuucapkan kata maaf. Kulihat wajah pria itu berubah. Aku tahu, aku tidak akan pernah mencintai pria ini sampai kapanpun, meski waktu terus berjalan, meski kami hidup bersama, karena cinta tidak akan tumbuh jika dipaksakan. Kujatuhkan buket bunga perlahan, dan kulepaskan genggaman tangan Derrick dari tanganku pelan. Aku berbalik, berlari mengejar Larry. Aku tidak peduli bagaimana tatapan orang-orang, bagaimana terkejutnya orangtuaku. Aku tidak peduli dengan Derrick yang hanya terpaku terkejut melihatku, tidak peduli dengan gaunku ini. Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku tahu resikonya. Aku tahu bahwa cinta sejati adalah cinta yang harus dikejar. Aku tahu bahwa Larry adalah cinta sejatiku. Aku tahu itu, aku tahu!
Aku berlari, meneriakkan namanya dengan suara yang lantang. Larry berbalik, menatapku dengan terkejut. Tapi sedetik kemudian, ekspresi wajahnya berubah. Wajahnya bahagia, dan dia tersenyum. Senyum hangat bagaikan musim panas yang kurindukan. Larry menyambutku dengan pelukan, dan aku pun begitu. Pelukan kami hangat, pelukan penuh cinta. Aku tahu kami saling mencintai. Inilah keputusanku, hidup bersama Larry, bersama pria yang kucintai selamanya. Hingga maut memisahkan. Tidak. Meski maut memisahkan, cinta kamu tetap utuh. Karena cinta itu abadi.
==================================================
Cerita ini hanyalah Fiksi belaka,
Selamat menikmati, meski ceritanya terkesan agak berantakan.
Mohon kritik dan sarannya... ^_^