Kamis, 22 Desember 2011

Special For You, Mom

22 Desember. Gue baru ngeh kalau hari ini adalah Hari Ibu pas nonton TV pagi tadi. Tiap channel ngebahas mengenai Hari Ibu. Mulai dari berita, hingga infotainment. Tapi gue gak ngebahas masalah berita dan infotainment di postingan ini. Gue mau ngebahas mengenai Ibu gue.

Ibu bagi gue:

Selasa, 13 Desember 2011

Pamer Gambar Nih~


Karena gue lagi semangat-semangatnya buat nge-blog, mumpung libur *cuma libur sehari, nasib*, jadi gue pengen nge-post lagi. Tapi bingung mau nulis apa lagi. Kalau nulis panjang-panjang kayak postingan sebelumnya, udah gak ada bahan. 

Kekasihku, Chou yang Mungil

Gue lagi bingung mau nge post apaan. Dan ketika tengah berpikir apa yang menjadi bahan dalam postingan ini, akhirnya gue menemukannya. Satu hal yang menggelitik ketertarikan gue buat ngebahasnya di sini. Well, seperti judulnya, gue akan ngebahas tentang Kekasih gue *cieciee*.

Liebe und der Wahl (Part 5-7)

Lanjutan dari cerita sebelumnya, Liebe und der Wahl 
Sekali lagi,
Ucapan terima kasih kepada:
Kikyo, Shisui, Kazumazu Tokugawa, Makenshi Zaoldyeck, dan Hidan, yang rela menjadi korban tokoh utama dalam cerita ini.

Minggu, 13 November 2011

Liebe und der Wahl

Tittle: (c) Kazumazu Tokugawa
Rate: T (jauhkan dari jangkauan anak-anak, Kids dilarang baca)

Cerita ini hanyalah fiksi belaka, tidak berhubungan dengan karakter anime manapun.
Cerita ini berupa fanfiction dari saya untuk forum tercinta, Naruto-Indo
Seluruh karakter yang terlibat di dalamnya berasal dari character buatan di forum Naruto-Indo
Terinspirasi dari jalannya roleplay dari Kikyo dan Uchiha Shisui.
Terima kasih yang sebesar-besarnya pada Kikyo, Uchiha Shisui dan Kazumazu Tokugawa yang bersedia dipermalukan menjadi tokoh utama dalam cerita ini.

Sabtu, 12 November 2011

Sahabatku, Sally (Last Part)

Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada fans saya teman-teman yang telah membaca dan memberikan komentar. Meski ceritanya sederhana dan mudah ditebak, terima kasih tetap mau membaca. Dan saya meminta maaf jika cerita terakhir tidak seperti yang diharapkan dan terdapat banyak kelemahan dalam cerita saya, seperi kesalahan penulisan (pengetikan) dan susunan kalimatnya yang masih berantakan. Terakhir, semoga tidak ada yang tersinggung dengan cerita ini, dari awal hingga akhir, dan semoga cerita yang sangat sederhana ini dapat menghibur. Sekali lagi, terima kasih.

Sahabatku, Sally (Part III)


Untuk sahabatku,
Zhella, Marhamah, Nhyo, Dhytdhyt
Untuk sobat bloggerku,
Irchamdy Ilyas.
Selamat menikmati

Kamis, 10 November 2011

Loe.Gue.Connect!

This is it! *bergaya ala Chef Farah Queen*
Ini dia list dari teman-teman Puropati, baik yang udah tukaran link maupun yang udah nge follow Puropati.

About Me

Ingin mengetahui lebih lanjut tentang saya? (sok narsis)
bisa dikontak di jejaring sosial saya:

Sahabatku, Sally (Part II)

Kupersembahkan untuk seluruh Sahabatku
Dan untuk Irchamdy Ilyas,
yang telah mengagumi karyaku.
Terima kasih
------------------------------------------------------------------

Sahabatku, Sally

Kupersembahkan untuk sahabatku
Untuk Keluarga Assensix, seluruh sahabat yang kurindukan.
Sahabat Canteen, Bikini Bottom Family, dan Trio Bejat-ku
Sahabatku Fairy
Keluarga Naruto-Indo yang tercinta
Dan yang menyemangati dalam menulis, Zhella, Nhyo' dan Marhamah

---------------------------------


Aku menceritakan sebuah kisah tentang sahabat, sebuah kisah akan berharganya sebuah sahabat yang begitu baik hati. Namanya adalah Sally, sahabat terbaikku. Kami selalu bersama sejak pertemuan kami saat SMP. Anaknya selalu baik, ceria, penuh semangat dan juga ramah. Tidak heran, saat SMA dia memiliki banyak teman. Kalau bersamanya, hidup terasa penuh warna. Dia tempat yang baik jika diajak curhat, jika aku sedang dalam masalah. Dia punya banyak cara yang bisa membuatku kembali semangat dan melupakan kesedihanku. Jika melihatnya, kalian akan menganggapnya malaikat tak bersayap.

Tapi, entah sejak kapan, dia terlihat berbeda saat aku bertemu dengannya di sekolah. Wajahnya terlihat pucat. Aku bertanya padanya, apa dia sakit atau dia sedang punya masalah. Tapi dia hanya menggeleng dan berkata “Tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.” Senyumnya masih menghiasi wajahnya. Dia masih semangat dan ceria seperti biasanya. Dia seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tahu itu, tapi tidak biasanya Sally menyembunyikan masalah dariku. Kami selalu menceritakan masalah yang kami alami, dan saling member semangat. Tapi, melihat keceriaannya, aku menghapus kecurigaanku.

Tapi, hari demi hari wajahnya semakin pucat, dan tidak semangat seperti dulu. Teman-teman yang lain menyadarinya dan bertanya padanya. Tapi lagi-lagi dia hanya membalas dengan menggeleng dan berkata “Aku baik-baik saja”. Mereka beralih bertanya padaku, karena aku selalu bersamanya. Tapi aku hanya bisa menggeleng. Aku bahkan tidak tahu harus menjawab apa, Sally tidak pernah menceritakannya padaku. Aku sendiri merasa aneh. Aku khawatir padanya, tapi dia tidak pernah becerita. Aku bertanya padanya, tapi dia hanya menunduk dan berkata “Maaf”. Aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi padanya, dan hanya menunggunya untuk mengatakannya sendiri kepadaku.

Suatu hari pertanyaanku terjawab sudah. Saat pulang sekolah, kami berjalan pulang ke rumah. Kebetulan rumah kami tidak begitu jauh dari sekolah. Aku memperhatikannya, langkahnya sempoyongan. Aku menyuruhnya untuk beristirahat. Rumah kami masih cukup jauh. Saat kami hendak berjalan menghampiri pinggir trotoar, Sally kehilangan kesadarannya. Aku terpekik, dan segera menahan tubuhnya untuk tidak menghantam tanah. Aku begitu panik. Wajahnya semakin pucat. Aku berteriak, meminta tolong. Dan segera saja orang-orang membawanya ke rumah sakit.

Di rumah sakit, aku segera menelepon kedua orang tuanya. Aku terus berjalan mondar-mandir, gelisah memikirkan Sally, sahabatku yang kini sedang terbaring tidak sadarkan diri. Tidak lama kemudian, kedua orang tuanya datang dengan langkah yang terburu-buru. Air mata ibunya mengalir deras, sementara wajah ayah Sally terlihat begitu khawatir.

“Bagaimana dengan Sally, nak.” Tanya ibunya terisak. Air matanya masih terus berjatuh dari matanya yang mulai memerah.

"Dia ada di dalam, tante.” Jawabku.

Keduanya bergegas masuk. Aku menyusulnya. Kulihat Sally sudah sadar dan masih terbaring di tempat tidur berselimut hijau itu. Ibunya terus terisak. Sementara Sally, dia mendudukkan badannya lalu tersenyum, dan berkata “Aku baik-baik saja, bu.” Untuk menenangkan ibunya yang masih terus terisak. Sally sadar aku berada di sana. Dia tersenyum, dan aku balas senyumannya. Dia menggerakkan mulutnya, dan dengan tidak bersuara, berbicara padaku “Terima kasih, aku baik-baik saja.” Saat itu, seorang pria dengan jas dokter masuk ke dalam ruangan.

“Apa anda keluarganya?” tanyanya, dan kedua orang tuanya mengangguk.

“Bisakah kita berbicara di luar sebentar?” Ujarnya lagi, dan segera keluar. Kedua orang tua Sally mengikutnya. Aku yang penasaran segera mendekat ke arah pintu, menguping pembicaraan mereka.

“Bagaimana keaadan anak saya, dok?” Suara ayah Sally terdengar khawatir.

“Maaf, kanker hati yang dideritanya semakin parah.” Ibunya semakin terisak, suara tangisannya terdengar semakin keras. Kanker? Aku begitu terkejut. Sally mengidap penyakit kanker? Kenapa dia tidak pernah cerita kepadaku. “Dan dia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.” Tangisan ibunya semakin keras. Tangisannya begitu pilu terdengar menggema di koridor rumah sakit. Aku sendiri begitu shock. Aku hanya mematung, berdiri di tempatku, tidak mempercayai apa yang barusan ku dengar.

Aku berbalik, masih dengan wajahku yang masih shock. Aku lihat dia mulai menangis di tempat tidurnya. Kurasa dia tahu apa yang sedang terjadi padanya, dari tangisan ibunya yang terdengar begitu pilu. Aku merasakan kakiku seperti tidak memiliki tulang di dalamnya. Kakiku terasa begitu lemas. Ku hampiri dia perlahan. Aku sudah tidak bisa menahan air mataku, dan saat itu juga aku langsung menangis, menghampirinya. Kami berdua menangis.

“Kenapa? Kenapa… kau tidak pernah menceritakannya?” tanyaku. Suaraku bergetar hebat. Sally masih terisak.

“Aku tidak ingin membuatmu khawatir.” Dia menjawab dengan terisak.

Aku segera memeluknya. Memeluknya dengan erat. Dia membalas pelukanku. Kami terus berpelukan dengan erat, dan menangis bersama-sama.

“Maaf…” Ujarnya dalam pelukan kami. Suaranya bergetar, dan air matanya masih mengalir deras. Aku masih memeluknya, dan terus menangis. Air mataku tidak bisa berhenti keluar. Dia sahabat baikku, orang yang begitu baik, tapi kenapa harus mengalami hal seperti ini? Sally masih terus berkata maaf padaku. Dan kami masih berpelukan. Sekali lagi, dia membuka mulutnya, menggerakkan bibirnya yang masih bergetar karena menangis.

“Maaf”

_______________________________________
To Be Continued... ^^

True Love

Saat itu musim panas. Udara begitu panas, dan matahari menyengat. Yang seharusnya menikmati musim panas dengan bermain air, aku lebih memilih untuk menikmatinya hari ini dengan berdiri di balkon rumah. Menunggu angin sejuk menerpa wajahku. Tapi, tak ada angin sejuk. Hanya sebuah bola pantul terjatuh di halaman rumah. Dan dari sinilah pertemuan kami berawal. Kulihat seorang anak laki-laki seusiaku menyelinap dari pagar semak di samping rumah, mengambil bola pantulnya. Tepat saat dia mengambilnya, dia sadar aku memperhatikannya. Pandangan kami bertemu, dan anak itu tersenyum. Senyumnya begitu hangat, bagaikan angin musim panas menerpa wajahku. Sedetik kemudian, anak itu pergi, melewati pagar semak yang sama.

Dengan cepat aku berbalik, berlari keluar rumah dan mengintip dari pagar semak yang sama pula. Kuperhatikan dia bermain bersama kawan-kawannya. Dua hari kulakukan hal yang sama, dengan penuh rasa ingin tahu. Entah kenapa aku ingin sekali mengamatinya, wajahnya yang ceria, dan senyumnya yang hangat. Apa aku jatuh cinta? Apa ini yang namanya cinta? Apa anak 9 tahun bisa jatuh cinta? Entahlah, aku bahkan tidak tahu yang seperti apa itu cinta.

Di taman, di hari ketiga aku mengamatinya dari balik pohon. Bola pantul itu berlari padaku, dan berhenti tepat di kakiku. Aku memungutnya, dan kemudian anak itu datang. Lagi-lagi wajah itu, senyuman itu. Dengan baiknya, anak itu mengajakku bermain. Dari situ aku tahu namanya, Larry. Kami menghabiskan waktu bersama, canda dan tawa, hingga langit menjadi jingga. Rasanya begitu menyenangkan. Aku tidak ingin meninggalkan momen seperti ini. Esoknya pun begitu, esoknya, esoknya, esoknya lagi, dan entah sudah berapa lama waktu terlewat. Kami selalu bersama. Tapi, suatu hari kami harus berpisah. Larry dan keluarganya pindah kekota seberang. Ayahnya dipindah tugaskan. Larry memberiku bola pantulnya sebagai kenangan akan dirinya. Aku tersenyum menerimanya, meski hatiku terasa sedih. Aku sadar dia adalah cinta pertamaku.

Tidak ada kabar darinya. Surat ataupun telepon. Aku tahu ini cinta yang singkat. Kucoba untuk melupakannya, meski tersisa sedikit memori tentangnya di sela-sela otak ku. Lama waktu berlalu, aku sudah berumur 18 tahun, dan mulai memasuki jenjang kuliah. Tapi, suatu hari takdir mempertemukan kami. Bertemu dengannya, lagi, di universitas yang sama, jurusan yang sama. Betapa beruntungnya diriku. Meski dia jauh berubah, aku masih mengingat wajah dan senyuman itu. Pertemuan kami menyenangkan, kuceritakan tentang bola pantul yang diberikannya padaku. Dan dia mulai bercerita tentang dirinya di kota seberang dengan semangat. Satu hal lagi yang tak berubah dengannya, dia selalu penuh semangat.

Rasa itu mulai kembali, cinta yang telah lama kutimbun kini kembali tumbuh sebagai tanaman baru. Hidupku menjadi lebih 'hidup', penuh warna, dan bahagia. Di kelas, terkadang aku memandanginya yang duduk di bagian depan, di samping Derrick, pria berambut coklat. Di kantin pun kami makan bersama, di meja yang sama, dan berbagi kisah tentang diri kami. Aku tahu, aku menyukainya, dan aku merasa dia juga menyukaiku. Aku melihat dari pandangan matanya, tingkahnya, caranya berbicara, dan caranya tersenyum.

Tapi, perkiraanku salah. Ada gadis lain yang sudah mengisi hatinya lebih dulu. Aku begitu sedih dan kesal. Aku tahu, aku tidak patutu cemburu, karena Larry bukan milikku. Cintaku pun layu begitu cepatnya. Begitu menyedihkan. Kulewati masa kuliahku seperti biasanya, meski tidak begitu berwarna seperti dulu. Meski aku dan Larry masih sering bersama di kelas dan di kantin, wajah itu bukan milikku. Senyum itu menjadi terasa tak ada arti lagi. Benar-benar hidup yang menyedihkan.

Tepat pada usiaku yang ke-22, aku menerima kelulusanku dengan prestasi yang membanggakan. Kedua orangtuaku memelukku penuh rasa bangga. Larry pun memelukku senang. Aku sedikit terkejut, tapi kubalas hanya dengan tersenyum. dan yang paling mengejutkan adalah, Derrick memintaku menjadi pacar, dan melamarku. Ya, pria berambut coklat itu melamarku. Pria itu ternyata begitu mengenal kedua orang tuaku, karena kedua orangtua mereka teman baik kedua orang tuaku. Orangtuaku tersenyum senang. Mereka yang meminta Derrick untuk melamarku. Sementara Larry, begitu terkejut. Kulihat dari ekspresi wajahnya. Tapi, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku mulai berpikir. Jika aku tidak bisa mendekati cinta, biarkan cinta mendekatiku. Jadi, kujawab dengan singkat. "Ya."

Sebulan kemudian, pernikahan kami akan berlangsung. Tempat dan dekorasi telah siap. Gaun pernikahan pun sudah kukenakan. Meski aku belum mencintai Derrick, tapi aku tahu, suatu saat aku akan mencintainya. Meski itu butuh waktu yang sangat lama, aku akan belajar untuk mencintainya. Aku berjalan melewati tamu undangan, menyeret gaun putihku yang indah, sembari memegang buket bunga. Di depan sana, Derrick sudah menungguku dengan penuh senyum kebahagiaan. Seharusnya saat ini aku tersenyum, tapi aku sulit untuk tersenyum. Aku memaksa bibirku untuk tersenyum. Tapi semakin sulit saat kulihat Larry di antara tamu undangan. Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Sedih, sesal, dan nanar. Membuatku jadi bingung. Aku terus berjalan. Aku dan Derrick saling berdiri berpandangan. Aku berisaha tersenyum, membalas senyumannya. Kulirik tamu undangan. Kulihat Larry berjalan pergi. Aku terkejut. Sementara Derrick, pria itu menggenggam tangan kananku, sementara tangan kiriku menggenggam erat buket bunga. Aku menatap Derrick, dan Larry bergantian, berulang kali. Larry semakin jauh. Tapi, aku tidak ingin pria itu pergi, pergi jauh dariku.

Kutatap Derrick, dan kuucapkan kata maaf. Kulihat wajah pria itu berubah. Aku tahu, aku tidak akan pernah mencintai pria ini sampai kapanpun, meski waktu terus berjalan, meski kami hidup bersama, karena cinta tidak akan tumbuh jika dipaksakan. Kujatuhkan buket bunga perlahan, dan kulepaskan genggaman tangan Derrick dari tanganku pelan. Aku berbalik, berlari mengejar Larry. Aku tidak peduli bagaimana tatapan orang-orang, bagaimana terkejutnya orangtuaku. Aku tidak peduli dengan Derrick yang hanya terpaku terkejut melihatku, tidak peduli dengan gaunku ini. Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku tahu resikonya. Aku tahu bahwa cinta sejati adalah cinta yang harus dikejar. Aku tahu bahwa Larry adalah cinta sejatiku. Aku tahu itu, aku tahu!

Aku berlari, meneriakkan namanya dengan suara yang lantang. Larry berbalik, menatapku dengan terkejut. Tapi sedetik kemudian, ekspresi wajahnya berubah. Wajahnya bahagia, dan dia tersenyum. Senyum hangat bagaikan musim panas yang kurindukan. Larry menyambutku dengan pelukan, dan aku pun begitu. Pelukan kami hangat, pelukan penuh cinta. Aku tahu kami saling mencintai. Inilah keputusanku, hidup bersama Larry, bersama pria yang kucintai selamanya. Hingga maut memisahkan. Tidak. Meski maut memisahkan, cinta kamu tetap utuh. Karena cinta itu abadi.


==================================================

Cerita ini hanyalah Fiksi belaka,
Selamat menikmati, meski ceritanya terkesan agak berantakan.

Mohon kritik dan sarannya... ^_^

Welcome :: The Mean of Puropati

Selamat datang di Blog saya, PUROPATI.

Sebuah blog yang saya peruntukan untuk diri saya sendiri, sebagai tempat untuk menuangkan segala 'petualangan' saya di dunia fana. Dan tempat untuk berbagi.

Apa itu Puropati?

Puropati, dalam bahasa jepang berarti harta.

Kenapa saya memberi nama blog ini Puropati?
Karena saya menganggap blog ini sebagai kotak penyimpan segala harta. Harta bukan uang, harta yang saya maksud adalah hati saya, dan segala kisah saya. Kisah dan hati saya adalah harta yang paling berharga.

Sekali lagi,

Selamat datang di Kotak Harta saya, PUROPATI.