Zhella, Marhamah, Nhyo, Dhytdhyt
Untuk sobat bloggerku,
Irchamdy Ilyas.
Selamat menikmati
-----------------------------------------------------------
Empat hari lewat sudah. Sally tetap saja datang ke sekolah, tidak mempedulikan kondisi tubuhnya yang terlihat melemah. Empat hari pula aku menjaganya, mengingatkannya untuk tidak melakukan apapun yang dapat membuat tubuhnya lelah. Sally berusaha tetap ceria, meski dia terlihat pucat dan cepat lelah. Jika sudah seperti itu, aku menyuruhnya untuk pulang. Tapi Sally bersikeras untuk tetap berada di sekolah. Dan yang kulakukan, aku menghela napas berat. Berusaha memaklumi sifat keras kepalanya.
Dan mengenai David, anak itu menerima keputusan Sally yang hanya menginginkan pria itu menjadi teman. Meski begitu keduanya terlihat begitu dekat. Aku tahu keduanya saling suka. Tapi, aku membiarkan mereka berdua, hingga Sally membuka kembali kesempatan untuk David.
Saat itu, jam kedua, pelajaran olahraga. Au mengganti seragam dengan seragam olahraga. Saat selesai menggantinya, kulihat Sally hendak membuka kancing seragamnya.
“Apa yang kau lakukan?” Pekikku, tentu dengan volume suara berbisik. Aku tidak mau anak lainnya memperhatikan kami.
“Mengganti seragam.” Jawabnya santai.
Aku segera mengancingkan kembali seragamnya dan merapikannya. “Tidak. Kamu tidak boleh ikut pelajaran ini. Aku akan meminta izin pada Pak Haryanto. Pasti dia akan memakluminya.”
“Tapi…” Sally hendak membantah.
“Kubilang tidak! Kamu harus memperhatikan kondisimu! Kali ini kamu harus menuruti perkataanku!” Perintahku tegas.
Sally diam sejenak, tampak berpikir. Lalu sedetik kemudian dia mengangguk pasrah. “Kalau begitu tetap di kelas, dan jangan kemanapun.” Perintahku, lagi. Setelah itu akku keluar mengikuti pelajaran olahraga di lapangan.
Panas. Itu yang kurasakan saat ini. Kakiku terasa lelah, dan keringat terus saja mengalir dari pelipis ke pipiku. Aku bergumam tidak jelas, mengutuki, kenapa pelajaran olahraga harus dilaksanakan pada jam kedua, pada saat matahari sedang terik seperti ini. Dan aku tersu bergumam kesal. Saat kualihkan pandanganku ke sisi lapangan, kulihat Sally sedang duduk di bangku pinggir lapangan, matanya sedang melihat kami yang sedang berlari.
“Sally!” Pekikku dan aku berhenti berlari, menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
Anak-anak lain yang mendengar pekikanku menoleh ke arah dimana aku melihat, lalu mereka menyapa Sally sambil melambaikan tangan. Sally membalas melambaikan tangan. Dan karena pekikanku pulalah, Pak Haryanto memarahiku dan menyuruhku kembali berlari. Sial. Astaga! Apa yang dilakukan Sally di lapangan sih? Bukankah aku sudah menyuruhnya untuk tetap di kelas? Kulihat Sally mengangkat tangan, tampak menyemangatiku. Aku menepuk jidatku. Ya ampun, Sally, mengapa kau begitu keras kepala?
Pelajaran olahraga hampir berakhir. Dan Sally masih setiak duduk di sisi lapangan. Kulirik dia dari sudut mataku. Oh, tidak. Sally sedang terbatuk-batuk. Aku segera berdiri dan setengah berlari menghampirinya. Aku tidak peduli pada teriakan Pak Haryanto yang memanggil namaku. Yang kupedulikan sekarang adalah Sally, sahabatku. Dan tiba-tiba saja terdengar suara benturan keras. Sally ambruk dari bangku, tubuhnya kini terbaring tak berdaya di tanah.
“Sally!” Teriakku, histeris.
Aku berlari menghampirinya, mengangkat punggungnya. Dari hidungnya mengalirkan darah segar. Ya Tuhan, jangan. Perasaan Takut, cemas, dan khawatir, semuanya bercampur. Spontan aku menangis, menggumamkan nama Sally tanpa henti. Kuharap dia sadar dari pingsannya. Aku mengelap darahnya yang terus mengalir dengan seragam olahragaku. Aku tidak peduli pada seragamku yang kotor. Aku menjerit meminta tolong, meski aku tidak yakin suaraku yang menjadi parau ini terdengar.
“Apa yang terja—Sally !” Itu David. Anak itu tampak sangat terkejut melihat kondisi Sally saat ini.
Aku masih terus menangis, menggumamkan nama Sally, dan masih berharap Sally membuka matanya. Aku tidak ingin kematian menjemputnya saat ini. Beberapa saat kemudian, kudengar suara napas tertahan, dan beberapa lainnya mendesiskan nama Sally. Anak-anak yang lain sudah mengerubungi kami.
“Rumah sakit. Kumohon, bawa dia cepat ke rumah sakit.” Ujarku di sela tangisku. Aku tidak yakin siapa yang kutatap saat ini di depanku, karena pandanganku begitu buram. Tapi aku yakin itu David.
David dengan sigap mengangkat Sally, menggendongnya ala bride style. Menjaganya dalam gendongannya seolah Sally adalah kaca yang begitu rapuh. Kurasakan kakiku begitu lemas, tapi aku tetap memaksakan kakiku untuk berdiri. Dan kami membawa Sally ke rumah sakit.
Di rumah sakit,
Aku sudah menelepon orang tua Sally. Ibunya langsung menangis begitu mendengar Sally masuk ke rumah sakit, dan berjanji akan secepatnya datang. Aku juga sudah menceritakan perihal penyakit Sally pada teman-teman yang lain. Ekspresi mereka tidak jauh berbeda ketika aku mengetahui penyakit Sally. Dan aku juga sudah menceritakan pada David mengapa Sally menolaknya. Dan David tertunduk ketika mendengarnya. Sally tampak seperti malaikat di mata kami. Dia tidak pernah mau membuat orang lain khawatir pada dirinya. Kini kami semua hanya bisa berdoa untuk Sally.
Sekarang aku gelisah menunggu kabar dari dokter tentang kondisi Sally, dan juga menunggu kedatangan orang tua Sally. Tapi, tidak beberapa lama orang tua Sally tiba. Ibu Sally menangis dan tidak henti-hentinya menggumamkan nama Sally, anaknya. Sementara ayah Sally terlihat begitu khawatir. Kesedihan terpancar jelas dari matanya.
“Maafkan saya om, tante. Saya tidak bisa menjaga Sally.” Ujarku dengan membungkuk, tidak berani memperlihatkan wajahku pada kedua orang tua Sally. Aku kembali terisak.
“Tidak apa, nak. Aku tahu kamu tidak salah. Kami yang salah karena membiarkan Sally tetap ke sekolah.” Ayah Sally menanggapi.
Teman-teman yang lain mengerubungi orang tua Sally.
“Kami juga meminta maaf, karena tidak bisa menjaga Sally dengan baik. Maafkan kami, om, tante.” Dan beberapa anak cewek mulai terisak.
Ayah Sally terkejut melihat kami. Dan berikutnya beliau tersenyum. “Tidakapa, kalian semua tidak salah. Kami senang melihat kalian semua mengkhawatirkan Sally. Itu artinya kalian semua menyayangi Sally.” Ujarnya. Kulihat setetes air mata jatuh di pipinya.
JADI MANA ENDINGnya ?? *penasaran.*fans berat.*hehehe
BalasHapus@dhytdhyt: Sabar, sabar, bentar lagi ending kok. lagi mikirin akhir ceritanya.
BalasHapusLuar bisa, karakter Sally mengajarkan kita untuk tetap semangat mengarungi hidup ini, jangan lelah dan jangan patah semangat.. :)
BalasHapus@Febstories: terima kasih, mas. ya, saya membuat Sally sebagai tokoh yang keras kepala tetapi memiliki jiwa yang kuat. Meski tubuhnya lemah, dia tetap semangat. Semangat untuk mengarungi hidup.
BalasHapus