Sekali lagi,
Ucapan terima kasih kepada:
Kikyo, Shisui, Kazumazu Tokugawa, Makenshi Zaoldyeck, dan Hidan, yang rela menjadi
Part 5
Di atap sekolah,
"Aaaa.... Hap. Nyam... nyam..."
"Bagaimana? Enak?"
"Enak." Jawabku, dengan rona merah di wajah. Loh? Kenapa malah aku yang disuapi? Dan lagi, kenapa aku memakan bekal makanan yang kubuatkan khusus untuk Kazu-senpai. Aiish. Kazu-senpai malah cengengesan, memegang kotak bekal dan sumpit di tangannya, tapi membuatnya terlihat-- oh, wajahku memerah lagi.
"Biarkan aku yang menyuapimu, Kazu-senpai. Kan bekalnya kubuatkan khusus untuk Kazu-senpai." ujarku, setelah menelan suapan pertama itu. Dan kutekankan pada kata khusus.
"Baiklah, aku penasaran dengan rasanya." Ujarnya, lalu memberikanku kotak makanan dan sumpit itu. Aku mengambil telur gulung dan menyuapinya. Kazu-senpai membuka mulutnya, spontan aku melakukan hal yang sama, membuka mulut seolah sedang menyuapi anak kecil.
"Nyam... nyam..." dan glek. Telur gulung itu tertelan. "Enak. Bagaimana kalau kau membuatkan aku bekal setiap hari, dan kita makan bersama?" tawarnya, lalu tersenyum jahil.
Membuatkannya makanan setiap hari? Makan bersama setiap hari? -oke, minus hari minggu. Kami gak mungkin sekolah dihari minggu, bukan?- Dan menyuapinya tiap hari? Aku mau. Aku merasa seperti ada confetti yang jatuh dari atas kepalaku, merayakan kemenanganku. Ini awal yang sangat baik.
"Suapi aku lagi." Pintanya, seperti anak manja. Tapi aku sangat tidak keberatan. Baru saja makanan itu hendak masuk ke mulutnya, terdengar suara pintu dibuka dengan keras.
"Kazumazu!" Aku mendengar suara teriakan seseorang, kualihkan pandanganku ke pintu. Seseorang yang tidak kukenal.
"Ryube-chan err-- maksudku, Ryube! Mengamuk di kelas, Makenshi kesulitan, dia butuh bantuan." ujar pria itu, ngos-ngosan, seperti baru saja berlari keliling lapangan.
Kazu-senpai menghela napas. "Kenapa juga dia harus mengamuk." Itu kan salahmu, Kazu-senpai. Kazu-senpai berdiri, lalu tersenyum padaku.
"Makan siangnya dilanjutin besok ya. Urusan penting." ujarnya lalu nyengir, dan pergi.
Aku meletakkan kotak makanan di depanku, dan sumpitnya. Kutatap bekal makanan itu, lalu menghela napas pelan. "Cuma sebentar." Aku mememeluk kakiku. "Padahal kan masih ingin bersama." keluhku.
---
Aku turun dari tangga atap sekolah, kulihat Shisui, sosok yang paling tidak ingin kutemui berdiri di ujung anak tangga. Seperti sedang menunggu seseorang. Aku menghela napas berat, lalu berjalan turun dengan langkah yang malas. Baru saja aku hendak melewatinya, Shisui menahanku dengan menarik tanganku. Aku berbalik, menatapnya dengan tatapan tidak suka. Apa dia tidak mengerti, aku tidak ingin melihat wajahnya itu?
"Kikyo, aku ingin bicara." Dia menatapku dengan tatapan yang aneh. Tumben dia tidak memanggilku sayang. Bukannya aku rindu panggilan itu sih. Tapi ya sudahlah. Aku berdiri di depannya, melipat tanganku, menunjukkan sikap tidak sukaku.
Shisui sadar akan sikapku, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku minta maaf, untuk kejadian yang waktu itu."
Aku memicingkan mata. Sudah kuduga. Aku membuang muka, lalu hendak berjalan pergi. Tapi lagi-lagi dia menahan tanganku. Aku kesal, dan segera berbalik untuk menepis tangannya.
"Kumohon, maafkan aku." tatapannya terlihat memelas, aku mencoba mencari kebohongan di matanya. Siapa tahu saja dia sedang berakting. Tapi aku tidak menemukan itu.
Sebenarnya aku ini tidak tega melihat tatapan seperti itu. Aku menghela napas. "Baiklah, aku memaafkanmu." Kulihat wajahnya kembali ceria, seperti yang biasa kulihat. Entah kenapa aku malah ikut senang melihatnya, tapi tidak kutunjukkan. "Tapi dengan syarat, jangan memanggilku 'sayang', dan jangan pernah sekalipun menyentuhku." tegasku. Shisui hendak protes. "Kalau kau tidak terima, aku tidak akan memaafkanmu." lanjutku. Shisui hanya mengangguk, terlihat pasrah.
---
Shisui POV
Kikyo berbalik, beranjak pergi. Aku hendak menyentuh pundaknya, sudah cukup lama dia tidak menyentuh Kikyo, orang yang sangat dicintainya. Tapi... Aku menarik tanganku. "Apa dia tidak pernah menganggapku serius? Apa dia menganggap sikapku hanya sebuah lelucon? Apa aku sudah tidak punya kesempatan." lirihku, menatap punggungnya yang menjauh.
"Apa yang kau lakukan di sana, Shisui? Sebentar lagi masuk. Ayo ke kelas." Kikyo setengah berteriak kepadaku.
Aku tersenyum, lalu menghampirinya, berjalan di sampingnya. Kulihat tangannya kosong. Biasanya aku menggenggamnya. Baru saja itu akan kulakukan, tapi aku kembali menarik kembali tanganku. Tangannya dilindungi oleh 'tabir persyaratan' yang dibuatnya. Aku hanya bisa tersenyum miris.
----------
Part 6
Berbaikan dengan Shisui tidak terlalu buruk. Si bodoh pirang menyolok itu tidak lagi menggangguku. Kalian mengerti maksudku, kan? Dia tidak lagi memelukku dari belakang, mencium pipi atau keningku, dan tidak lagi memanggilku sayang. Saat berjalan bersama pun, dia tidak lagi berjalan di sampingku memasang wajahnya yang cengengesan. Hidan akan berjalan di antara kami berdua, berdiri sebagai tembok penghalang.
Tapi, kami jadi lebih sering diam. Tidak banyak bicara. Jika aku berbicara kepadanya, dia hanya membalasnya dengan "oh", atau "ya", atau "hmm", yang membuatku gondok. Parahnya, terkadang dia hanya membalasnya dengan senyuman, yang membuat tanganku gatal untuk mencakar wajahnya. Bukan berarti aku merindukan suaranya, tapi... Argh! Apa yang kupikirkan sih!?
Istirahat siang, aku berencana ke gedung kelas tiga. Seperti biasa, membawakan bekal makanan untuk Kazu-senpai. Aku tersenyum memikirkan saat dia memakan makanan buatanku. Saat hendak beranjak, Shisui berdiri menghalangiku. Sikapnya aneh. Matanya menatap bekal makanan yang kupegang.
"Ini bukan untukmu, kau tahu? Kalau kau mau, aku bisa membuatkannya besok."
Shisui menggeleng. Apa dia tidak bisa bicara? Kemana ocehannya selama ini? Kulihat dia menggaruk belakang kepalanya, sikap yang menunjukkan bahwa dia sedang gugup. Ada apa sih?
"Anoo... Aku ingin mengajakmu ke taman shinobi sore ini. Aku ingin menunjukkan sesuatu. Kau bisa?"
Aku berpikir sejenak. Oke, sore ini aku tidak ada acara apapun. Dan 'sesuatu' itu apa? Jangan-jangan dia ingin menjebakku?
"Sesuatu? Kau mau memberikan sesuatu yang aneh padaku ya?" tudingku.
"Tidak. Tidak seperti yang kau pikirkan. Ini tidak akan aneh, aku janji." ujarnya sembari mengacungkan dua jari.
"Hmm... oke. Jam berapa?"
"Jam 5, bagaimana?"
"Oke. Di taman, jam 5." jawabku.
Shisui tersenyum lembar, menunjukkan kebahagiaannya. Entah kenapa senyuman itu malah membuatku rindu. Aduh... aku kenapa sih? Kuputuskan segera pergi dari kelas, sebelum pikiranku menjadi aneh.
---
Sore hari, aku sudah bersiap pergi ke taman shinobi. Mengenakan pakaian yang nyaman kukenakan. Dan saat tiba di bawah, Makenshi yang sedang duduk menikmati acara TV mulai menginterogasiku.
"Mau kemana?"
"Ke taman."
"Bohong."
Apa sih? "Aku tidak bohong, kak."
"Kenapa kau berdandan manis begitu? Kau mau pergi kencan ya dengan si mata sayu itu? Atau dengan si pirang itu?" Mata sayu yang dimaksud adalah Kazu-senpai.
Aku memperhatikan penampilanku. Biasa aja deh. Poni yang kujepit dengan jepitan bunga, rambut kukuncir satu di samping kanan, baju terusan bertali dua sepaha berwarna biru lembut dengan tali yang mengikat erat di pinggang, kaos dalam berwarna biru senada berlengan pendek, dan celana jeans biru tua selutut, dan sendal dengan tali yang mengikat hingga betis. Manis? Masa sih?
"Aku tidak--"
Makenshi memotong ucapanku. "Tidak kusangka kau laku juga" ujarnya sambil tertawa
Aku menggeram kesal, "Apa!? Aku--"
TOK TOK
Lagi-lagi ucapanku terpotong. Aku memalingkan wajahku dengan kesal ke arah pintu yang dengan berani memotong perkataanku. Kalau tatapan mata memiliki kekuatan, sudah sejak tadi pintu itu hancur berantakan.
"Buka pintunya." ujar Makenshi santai. Pandangannya tidak lepas dari TV. Aku berdecak dan berjalan ke arah pintu dengan kesal. Moodku hancur sudah.
Siapa sih? Apa Shisui? Bukannya dia bilang di taman? Apa dia datang menjemput? Aku segera bergegas membuka pintu, dan menahan napas sejenak ketika melihat sosok di depanku.
"Kazu-senpai?" pekikku tertahan.
"Hai." sapanya.
"Apa yang Kazu-senpai lakukan di sini? Apa mencari Makenshi-nii?"
"Tidak. Aku ingin mengajakmu ke taman bermain yang baru dibuka. Kudengar permainannya seru."
"Eh?"
"Ayo, pergi."
"Tapi, aku harus berganti pakaian dulu." ujarku, dan sudah lupa pada tujuanku.
"Tidak perlu, kau sudah manis dengan dandanan seperti itu."
Apa Kazu-senpai mamu menggodaku? Sial, dia selalu sukses menggodaku, membuat mukaku benar-benar merah.
"Ayo." ujarnya, lalu menarik tanganku pergi. Aku segera berbali dan setengah berteriak. "Aku pergi." Dan kudengar Makenshi membalas teriakanku entah apa, karena aku tidak peduli.
---
Di kamar
Jika ada yang bertanya hari ini hari apa, aku akan menjawab "Ini adalah hari terindah dalam hidupku." Kenapa? Hari ini, Kazu-senpai menembakku. Itu sangat mengejutkan, dan romantis. Dia menembakku di atas bianglala ketika matahari terbenam. Bukankah itu sangat romantis? Tentu aku menerimanya, bodoh sekali jika menolaknya. Aku ingin mengulang kejadian itu lagi.
"KYAAAA." Aku berteriak sambil memeluk guling ketika membayangkannya lagi dan lagi.
BRAK!!! pintu kamarku di pukul sengan sesuatu yang sepertinya sangat keras. Siapa? Apa maling? Aku mulai bersikap waspada.
"BERISIK! BISAKAH KAU DIAM? SEJAK TADI KAU BERTERIAK TIDAK JELAS. APA KAU SUDAH GILA? KAU KIRA SEKARANG JAM BERAPA? INI SUDAH HAMPIR LARUT!" Makenshi berteriak kepadaku dari balik pintu kamarku. Ups, sepertinya aku membangunkan naga yang tertidur. Kudengar Makenshi meracau tidak jelas, dan membanting pintu kamarnya -yang bersebelahan dengan kamarku- dengan kesal. Aku hanya terkikik geli, kasihan pintu kamarnya menjadi korban. Lalu aku merebahkan badanku di atas tempat tidur.
Saat berbaring, lagi-lagi aku membayangkan kejadian itu dan spontan berteriak senang.
"KIKYO ZAOLDYECK! TIDUR! SEKARANG!" Dari ruang sebelah kudengar Makenshi meraung-raung kesal. Ups, lagi-lagi. I am sorry deh. Dan kututup mataku rapat-rapat, meski bibirku terus tersenyum senang. Oh bahagianya hidup.
Oya, sepertinya aku melupakan sesuatu.
Apa ya?
----------
Part 7
Aku membuka mataku pelan, dan sekelebat memori indah yang terjadi kemarin berseliweran di atas kepalaku. Aku tersenyum, lalu bangkit dan menatap cermin. Lagi-lagi aku tersenyum. Menyebutku gila? Terserah. Yang penting sekarang aku jadi pacar KAzu-senpai. Aku menyentuh kedua pipiku dan menutup rapat kedua mataku, kembali membayangkan kejadian romantis kemarin. Dan sekelabat memori yang sempat kulupakan mengalir dalam ingatanku dan saat itu juga mataku terbuka lebar.
Oh, tidak!
Aku ingat sekarang. Shisui. Aku melupakan janjiku padanya kemarin. Aku menepuk jidatku pelan. Pantas saja aku seperti melupakan sesuatu. Janji itu. Aku menghela napas, menenangkan diri. Kalau tidak bertemu dengannya di jalan, aku bisa meminta maaf padanya di sekolah. Mudah kan?
---
Ternyata tidak semudah yang kupikirkan. Ini mengejutkan, aku tidak bertemu dengan Shisui di sekolah.
"Shisui tidak bisa datang ke sekolah. Kudengar dia sedang sedang sakit. Apa kau tidak tahu? Bukannya kalian bertetangga? Aneh sekali." itu jawaban Hidan ketika aku bertanya padanya.
"Aku tahu kok. Aku hanya... lupa." jawabku asal, mencoba mencari alasan yang tepat. Dan berikutnya aku tertawa pelan tanpa ada sesuatu yang lucu. Sial.
Dan sialnya lagi, selama pelajaran aku tidak bisa konsentrasi. Rasa bersalah seperti menumpuk dan menindih kepalaku. Apa si bodoh itu menungguku hingga malam sehingga dia jatuh sakit? Tapi tidak mungkin, kan. Aku mengacak rambutku, frustasi. "Agh!" erangku kesal.
"Kikyo Zaoldyeck, apa anda punya jawaban yang tepat untuk nomor 10?"
Apa? Jawaban apa? Aku segera menoleh ke sekitar, semuanya menatapku. Sensei menatapku dengan pandangan bertanya. Dan kulihat tulisan di papan. Satu soal yang terlihat rumit, bahkan aku belum mempelajarinya. Aku melirik ke kiri dan kanan, berusaha mencari suatu alasan, tapi tidak dapat kutemukan.
"Maaf, Sensei. Saya tidak tahu."
"Jawaban yang bagus, Kikyo." ujar sensei dengan senyum di wajahnya.
Eh? Benarkah?
"Nah, sekarang berdiri diluar sebagai hukuman karena tidak memperhatikan pelajaran!" perintahnya, dan mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius.
APA!?
"Sekarang!" ujarnya sambil menggebrak meja, membuatku terseontak kaget. Aku segera berlari keluar kelas, dan berdiri tepat di samping pintu.
Sial. Sial. Sial.
---
Istirahat siang pun, situasinya hampir sama, meski aku bersama Kazu-senpai. Rasa bersalah tetap saja menumpuk dan semakin menumpuk. Kazu-senpai sempat mendapatiku sedang terbengong.
"Kau kenapa hari ini? Sakit?" Tanyanya sembari menyentuhkan punggung tangannya di keningku yang kontan membuat wajahku memerah.
"Tidak, aku tidak sakit. Hanya sedang memikirkan sesuatu." jawabku, sembari menyingkirkan tangan Kazu-senpai dari keningku.
"Lalu, kenapa?"
Aku hanya bisa menggeleng. Tidak mungkin aku mengatakan bahwa semuanya karena ada hubungannya dengan si kuning mencolok itu kan? Aku kenapa sih? Apa Shisui sekarang sedang mengutukku di rumahnya? Menancapkan paku diboneka jerami dengan fotoku yang tertempel pada boneka itu, sambil berkata "terkutuklah kau Kikyo, kau bersalah, bersalah, kau dipenuhi rasa bersalah~" membayangkannya saja membuatku merinding.
---
Aku menarik napas, lalu menghembuskannya pelan. Berusaha bersikap tenang. Kini aku berdiri di depan kamar Shisui. Kata ibunya dia sedang tidur karena demam. Ini malah membuatku semakin merasa bersalah. Aku memutuskan mengetuk pintu kamarnya, tapi tidak ada jawaban. Dan kuputuskan untuk masuk ke kamarnya yang tidak terkunci.
Kulihat Shisui sedang berbaring dengan berselimut tebal di atas tempat tidur. Aku mendekat. Kulihat wajahnya memerah, benar-benar demam. Tapi kalau dilihat seperti ini, Shisui terlihat polos dan lucu. Aku memutuskan menyentuh pipinya dengan ujung jari telunjuknya. Panas! Tapi karena keenakan, aku terus melakukannya.
"Emm~" Kudengar gumaman dari mulutnya. Ups, sepertinya aku malah membangunkannya. Shisui membuka matanya, lalu menundukkan badannya. Dialihkannya pandangannya kepadaku, lalu tersenyum. Dasar aneh.
"Tidak kusangka orang bodoh bisa terkena penyakit." Apa yang kukatakan sih? Dalam situasi seperti ini pun mulutku masih saja tajam. Tapi Shisui masih tersenyum.
"Aku minta maaf untuk yang kemarin, aku tidak menepati janji. Kau memaafkanku kan?" tanyaku. Tapi Shisui masih saja tersenyum. Ini aneh, aku pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Aku mengernyitkan dahi.
"Kenapa kau tersenyum? Kau baik-baik sa--" ujarku hendak mendekat padanya, dan tiba-tiba saja aku teringat sesuatu yang sangat penting. "Oh, tidak!"
Terlambat. Baru saja aku hendak mundur menjauh darinya, tanganku ditarik oleh Shisui dengan cepat, mendekat kepadanya. Dan terjadi lagi untuk kedua kalinya. Shisui menciumku tepat di bibirku. "Hmppf....!" Bibirnya terasa basah dan suhunya panas. Aku ingin melepaskannya, tapi sangat sulit. Shisui memegang erat tanganku yang satu, sementara tanganku yang lain berusaha mendorong tubuhanya menjauh dariku. Tapi dia sangat kuat. Kenapa sih si bodoh ini malah jadi sekuat ini?
Dan berikutnya aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku malah membiarkan Shisui melumat bibirku, hingga akhirnya dia melepaskannya sendiri. Aku menarik diriku menjauh, tapi tanganku masih ditahan olehnya. Aku mengelap bibirku dengan punggung tanganku lalu menarik napas sedalam-dalamnya, berusaha mengisi paru-paruku dengan oksigen.
Sial. Kenapa aku bisa lupa? Shisui akan seperti orang mabuk kalau dia sedang sakit. Aku pernah melihatnya sekali, ketika kami masih kecil. Shisui yang demam dengan gampangnya membanting sebuah meja dan membuat ruangan berantakan. Sejak saat itu aku tidak berani dekat dengannya ketika dia sedang demam.
Tiba-tiba saja tanganku ditarik lagi. Tidak! Jangan menciumku lagi! Shisui menarikku dengan keras sehingga aku terjatuh di atasnya yang terbaring. Lalu dia memiringkan badannya, membuatku terjatuh ke sampingnya. Posisi kami sekarang berhadapan. Satu tangannya masih memegangku, dan satunya lagi memeluk pinggangku. Aku ingin menyingkirkannya, tapi Shisui membuat tangannya menjadi lebih berat.
"Ugh!" Keluhku.
Aku melihat wajahnya. Si kuning bodoh ini kembali tertidur pulas, memperlihatkan wajahnya yang polos. Well, sebenarnya Shisui cukup tampan dan mempesona. Aku hendak menyentuh wajahnya lagi ketika tersadar pada apa yang akan aku lakukan. Aku menarik tanganku. "Aku pacar Kazu-senpai." lirihku. "Maafkan aku, Kazu-senpai."
Situasi menjadi tenang. Yang terdengar hanya napas teratur dari Shisui. Aku terus menatap wajahnya. Entah kenapa situasi ini malah membuatku mengantuk. Mataku terasa berat dan kemudian semuanya gelap.
Aku tertidur.
---------------------------------------------------
Dan cerita akan berlanjut~
wah, manis sekali ceritanya..
BalasHapusaw aw awww.. keren nih dilumat bibirnya, wkwkwkk,
wah, ceitanya panjaaang, tapi seru, masih terus berlanjut :)
@Ladida: wkwkwkwk ceritanya hanya untuk remaja ke atas.
BalasHapusmemang panjang, saya sendiri bingung kapan ceritanya akan berakhir. masih dipikirin endingnya sih... hehe