Fanfic yang gue buat di hari valentine, tapi baru di post hari ini. Entah dari mana datangnya, ide dan jalan cerita muncul begitu saja ketika bangun pagi kemarin. Mungkin karena jiwa jomblo ngenes gue. hehehe
Please Enjoy~
Fanfiction for Naruto-Indo
Cast: Ryuujin x Ai
Genre: Romance
Rate: T
------------------------------------
Pagi hari, ke sekolah adalah aktivitas yang wajib dilakukan setiap
harinya. Jika orang-orang terlihat segar saat berangkat ke sekolah, aku
malah menampakkan wajah yang sangat kontras dengan mereka, cemas dan
takut. Hampir setiap harinya aku seperti ini, dan rasanya sangat tidak
enak. Aku bahkan sempat membayangkan yang tidak-tidak. Aku takut terjadi
sesuatu yang buruk padanya. Aku sampai tidak bisa tidur nyenyak karena
memikirkannya.
Di kelas, aku mendudukkan diri ke tempat duduk. Aku melihat ke sekelilingku. Dia belum datang. Aku mendesah, dan semakin cemas. Seorang gadis berambut hitam panjang menghampiriku, Kikyo. Dia adalah sahabat baikku. “Seperti biasa, mukamu begitu kusut, Ai.” Aku hanya membalas ucapannya dengan senyum paksa di wajahku. Aku masih cemas. “Kau tidak usah memikirkannya berlebihan, kau tahu dia itu—“
“Aku tahu, aku tahu, Kyo. Tapi tetap saja, aku masih cemas.” Ucapku, lalu mendesah.
“Kau sendiri yang membuat dirimu seperti ini, Ai. Kalau saja kau tidak berpacaran dengannya, mukamu tidak akan pernah sekusut ini. Padahal banyak yang menyukaimu, tapi kau malah memilih laki-laki seperti dia.” Yeah, mulai lagi deh cerama nona Kikyo. “Aku terkadang berpikir, kau itu sudah gila, berani berpacaran dengannya.”
“Aku tidak tau kenapa, tapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Kupikir, aku harus selalu berada di dekatnya untuk merawatnya. Mungkin aku—“ Aku kembali mendesah, dan Kikyo melanjutkan ucapanku. “—terlalu baik. Kau memang terlalu baik.” Aku melipat kedua tanganku di atas meja dan menutup wajahku di dalamnya. Sementara Kikyo memainkan rambut atasku.
Mungkin kalian bingung, siapa yang kami bicarakan. Yang kami bicarakan adalah Ryuujin. Teman sekelas sekaligus pacarku. Seperti kata Kikyo, sepertinya aku gila karena berani berpacaran dengannya. Karena Ryuujin itu berandalan sekolah. Dan dia selalu berkelahi. Yeah, jadi kalian sudah tahu kenapa aku selalu cemas. Aku cemas, saat bertemu dengannya dia menambah lagi goresan di tubuhnya, padahal sudah banyak goresan di sana. Dan aku takut dia tidak datang ke sekolah.
Awalnya aku tidak mengenalnya. Aku hanya murid pindahan dari luar negeri, terlihat jelas dari rambut pirangku yang selalu kukepang dua. Baru masuk aku sudah populer, mungkin karena rambut pirangku, dan juga wajahku yang manis. Sombong? Aku tidak sombong, tapi kenyataannya memang seperti itu. Banyak yang mendekatiku, tapi aku tidak tertarik pada mereka.
Tapi tiba-tiba satu laki-laki menarik perhatianku. Dia baru datang setelah aku bersekolah hampir dua minggu. Laki-laki itu langsung masuk begitu saja ke kelas dan duduk di bangku paling belakang di tengah pelajaran jam pertama. Aku heran, siswa di kelas tidak ada yang memperhatikannya. Sensei (guru) tetap melanjutkan pelajaran tanpa menegurnya. Ketika aku bertanya pada Kikyo, dia bilang “Dia Ryuujin. Jangan dipedulikan, biarkan saja dia.”. Tapi aku masih penasaran pada laki-laki itu.
Istirahat siang, entah kenapa aku tidak ingin ke kantin. Aku menoleh ke bangku paling belakang, melihat laki-laki itu masih duduk di tempat duduknya. Penampilannya tampak berantakan. Rambut hitam berantakan, seragam di luar, duduk dengan kedua kaki di atas meja, mata kuningnya yang memandang tajam, dan terakhir beberapa luka di wajahnya. Aku berdiri, lalu menghampirinya.
“Hai.” Sapaku. Dan entah bagaimana, waktu seolah berhenti di dalam kelas. Teman-teman yang masih berada di kelas berhenti bergerak, semua pasang mata tertuju padaku. Ryuujin sendiri tampak terkejut. “Kulihat banyak luka diwajahmu. Apa kau baik-baik saja?” tanyaku, dan saat itu juga kudengar suara tarikan napas serentak dari beberapa siswa di kelas. Ryuujin menatapku tajam cukup lama, lalu kemudian berdiri. “Jangan menggangguku.” Lalu dia pergi begitu saja. Apa aku berbuat salah?
“Ai! Baka (bodoh)! Apa yang kau lakukan?” Kikyo berteriak tepat di depan wajahku sambil mengguncang-guncang bahuku. “Aku hanya menyapanya. Tapi kenapa dia seperti itu?” jawabku, dan masih bingung.
“Sudah kubilang jangan pedulikan dia kan?” lagi-lagi Kikyo menampakkan wajah paniknya. “Aku tahu, tapi aku hanya penasaran.” Jawabku. “Jangan mendekatinya lagi, kalau kau masih hidup. Dia itu—“ Kikyo mendekatkan wajahnya kepadaku, seolah apa yang di katakannya adalah sesuatu yang tidak boleh dikatakan di depan umum. “—berandalan”
“Terus?”
“Kau itu polos atau bodoh?” Bodoh? Aku tidak terima dikatain bodoh. “Apa kau mau dihajar olehnya? Jangan dekati dia lagi.” Ujar Kikyo, tegas.
“Tapi—“
“Tidak ada tapi-tapian. Ini demi kebaikanmu. Lebih baik tidak usah berurusan dengannya. Mengerti?”
Aku hanya mengangguk, meski aku masih penasaran. Dan begitulah, aku hanya menganggap peringatan dari Kikyo hanya angin lalu, dan aku terus berusaha berbicara dengan Ryuujin. Aku selalu memperhatikan lukanya yang terus bertambah. Aku menduga tiap hari dia selalu berkelahi. Tapi, lukanya tidak terawat hingga luka lama masih saja ada di sana. Dan saat suatu hari saat aku berkata “Aku akan merawat lukamu.”, orang-orang di sekitarku menganggap aku sudah kehilangan akal sehatku.
Di kelas, aku mendudukkan diri ke tempat duduk. Aku melihat ke sekelilingku. Dia belum datang. Aku mendesah, dan semakin cemas. Seorang gadis berambut hitam panjang menghampiriku, Kikyo. Dia adalah sahabat baikku. “Seperti biasa, mukamu begitu kusut, Ai.” Aku hanya membalas ucapannya dengan senyum paksa di wajahku. Aku masih cemas. “Kau tidak usah memikirkannya berlebihan, kau tahu dia itu—“
“Aku tahu, aku tahu, Kyo. Tapi tetap saja, aku masih cemas.” Ucapku, lalu mendesah.
“Kau sendiri yang membuat dirimu seperti ini, Ai. Kalau saja kau tidak berpacaran dengannya, mukamu tidak akan pernah sekusut ini. Padahal banyak yang menyukaimu, tapi kau malah memilih laki-laki seperti dia.” Yeah, mulai lagi deh cerama nona Kikyo. “Aku terkadang berpikir, kau itu sudah gila, berani berpacaran dengannya.”
“Aku tidak tau kenapa, tapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Kupikir, aku harus selalu berada di dekatnya untuk merawatnya. Mungkin aku—“ Aku kembali mendesah, dan Kikyo melanjutkan ucapanku. “—terlalu baik. Kau memang terlalu baik.” Aku melipat kedua tanganku di atas meja dan menutup wajahku di dalamnya. Sementara Kikyo memainkan rambut atasku.
Mungkin kalian bingung, siapa yang kami bicarakan. Yang kami bicarakan adalah Ryuujin. Teman sekelas sekaligus pacarku. Seperti kata Kikyo, sepertinya aku gila karena berani berpacaran dengannya. Karena Ryuujin itu berandalan sekolah. Dan dia selalu berkelahi. Yeah, jadi kalian sudah tahu kenapa aku selalu cemas. Aku cemas, saat bertemu dengannya dia menambah lagi goresan di tubuhnya, padahal sudah banyak goresan di sana. Dan aku takut dia tidak datang ke sekolah.
Awalnya aku tidak mengenalnya. Aku hanya murid pindahan dari luar negeri, terlihat jelas dari rambut pirangku yang selalu kukepang dua. Baru masuk aku sudah populer, mungkin karena rambut pirangku, dan juga wajahku yang manis. Sombong? Aku tidak sombong, tapi kenyataannya memang seperti itu. Banyak yang mendekatiku, tapi aku tidak tertarik pada mereka.
Tapi tiba-tiba satu laki-laki menarik perhatianku. Dia baru datang setelah aku bersekolah hampir dua minggu. Laki-laki itu langsung masuk begitu saja ke kelas dan duduk di bangku paling belakang di tengah pelajaran jam pertama. Aku heran, siswa di kelas tidak ada yang memperhatikannya. Sensei (guru) tetap melanjutkan pelajaran tanpa menegurnya. Ketika aku bertanya pada Kikyo, dia bilang “Dia Ryuujin. Jangan dipedulikan, biarkan saja dia.”. Tapi aku masih penasaran pada laki-laki itu.
Istirahat siang, entah kenapa aku tidak ingin ke kantin. Aku menoleh ke bangku paling belakang, melihat laki-laki itu masih duduk di tempat duduknya. Penampilannya tampak berantakan. Rambut hitam berantakan, seragam di luar, duduk dengan kedua kaki di atas meja, mata kuningnya yang memandang tajam, dan terakhir beberapa luka di wajahnya. Aku berdiri, lalu menghampirinya.
“Hai.” Sapaku. Dan entah bagaimana, waktu seolah berhenti di dalam kelas. Teman-teman yang masih berada di kelas berhenti bergerak, semua pasang mata tertuju padaku. Ryuujin sendiri tampak terkejut. “Kulihat banyak luka diwajahmu. Apa kau baik-baik saja?” tanyaku, dan saat itu juga kudengar suara tarikan napas serentak dari beberapa siswa di kelas. Ryuujin menatapku tajam cukup lama, lalu kemudian berdiri. “Jangan menggangguku.” Lalu dia pergi begitu saja. Apa aku berbuat salah?
“Ai! Baka (bodoh)! Apa yang kau lakukan?” Kikyo berteriak tepat di depan wajahku sambil mengguncang-guncang bahuku. “Aku hanya menyapanya. Tapi kenapa dia seperti itu?” jawabku, dan masih bingung.
“Sudah kubilang jangan pedulikan dia kan?” lagi-lagi Kikyo menampakkan wajah paniknya. “Aku tahu, tapi aku hanya penasaran.” Jawabku. “Jangan mendekatinya lagi, kalau kau masih hidup. Dia itu—“ Kikyo mendekatkan wajahnya kepadaku, seolah apa yang di katakannya adalah sesuatu yang tidak boleh dikatakan di depan umum. “—berandalan”
“Terus?”
“Kau itu polos atau bodoh?” Bodoh? Aku tidak terima dikatain bodoh. “Apa kau mau dihajar olehnya? Jangan dekati dia lagi.” Ujar Kikyo, tegas.
“Tapi—“
“Tidak ada tapi-tapian. Ini demi kebaikanmu. Lebih baik tidak usah berurusan dengannya. Mengerti?”
Aku hanya mengangguk, meski aku masih penasaran. Dan begitulah, aku hanya menganggap peringatan dari Kikyo hanya angin lalu, dan aku terus berusaha berbicara dengan Ryuujin. Aku selalu memperhatikan lukanya yang terus bertambah. Aku menduga tiap hari dia selalu berkelahi. Tapi, lukanya tidak terawat hingga luka lama masih saja ada di sana. Dan saat suatu hari saat aku berkata “Aku akan merawat lukamu.”, orang-orang di sekitarku menganggap aku sudah kehilangan akal sehatku.
Mereka berpikir aku gila karena berpacaran dengan seorang berandalan sekolah. Aku tidak peduli. Mereka hanya menilai Ryuujin dari satu sisi saja. Mereka tidak pernah melihat sisi lain dari Ryuujin. Setiap orang itu seperti koin yang punya dua sisi, bukan?
SREK!
Aku tersadar dari lamunan masa lalu dan segera mengangkat wajahku ketika kudengar suara pintu kelas yang digeser. Kulihat Ryuujin berdiri di ambang pintu. Meski dari jauh, aku melihat lagi-lagi luka di wajah dan tangannya bertambah. Inilah yang kucemaskan, Ryuujin selalu menambah luka setiap harinya. Aku segera berdiri, menghampirinya setengah berlari. Aku menatapnya cukup lama, lalu menarik tangannya keluar kelas, dan membawanya ke UKS.
“Lagi-lagi kau menambah lukamu.” Ujarku sambil menuangkan beberapa tetes alkohol berkadar rendah di kapas bersih, ketika kami sudah berada di dalam UKS.
“Ssshh..” desisnya menahan perih setiap kali aku menyentuhkan kapas itu ke luka-luka di tangan dan wajahnya.
“Sudah kubilang untuk tidak lagi berkelahi.” Ujarku, menuangkan beberapa obat merah ke kapas yang baru, lalu menyentuhkan kapas itu ke luka-lukanya. Dan lagi-lagi dia mendesis, merasakan perih. Dan entah kenapa aku malah menekan kapas itu lebih keras ke luka di pipinya.
“Pelan-pelan! Rasanya perih!” Teriaknya kesal.
“Makanya jangan berkelahi lagi. Baka!” teriakku, membalas teriakannya, dan menekan kapas itu lebih keras ke lukanya.
“Aduh!” keluhnya lagi.
“Kau selalu membuatku cemas. Berhentilah berkelahi, kumohon.” Ujarku dengan suara bergetar. Entah kenapa suasana menjadi sendu. Tanganku yang masih memegang kapas dan menyentuh luka di pipinya bergetar.
Ryuujin menyentuh tanganku yang menyentuh pipinya, menggenggamnya dengan lembut. “Maaf, kau tahu aku tidak bisa.” Ujarnya menatapku lembut, lalu menggerakkan tanganku mengelus pipinya, dan menikmati sentuhan tanganku di pipinya.
“Aku tahu, tapi setidaknya kau harus mencoba untuk berhenti. Aku selalu cemas. Aku takut. Aku—“ Aku ingin menangis membayangkan sesuatu yang tidak-tidak terjadi padanya. Aku benar-benar takut.
“Maaf membuatmu cemas.” Ujarnya, lalu mencium keningku. Hangat. “Terima kasih, Ai.”
Dan kemudian aku diam, tidak satupun kata terlontar dari mulutku. Seperti inilah Ryuujin di sisi lain dia brutal, tapi di sisi lain dia lembut, meski tidak ada yang melihat kelembutannya. Lalu kurasakan tangan Ryuujin menyentuh daguku, lalu mengangkat wajahku. Ryuujin mendekatkan wajahnya. Apa dia akan menciumku? Dia belum pernah menciumku dibibir. Wajahku terasa panas, dan aku segera menutup mataku, membiarkan wajah Ryuujin semakin dekat.
“Ai, sebentar lagi sensei masuk.”
Kami segera menarik wajah kami menjauh. Padahal sebentar lagi kami berciuman, tapi kenapa gangguan malah datang. Ryuujin terlihat salah tingkah, matanya terus melihat ke arah lain. Sementara aku, aku menatap Kikyo dengan pandangan kesal. Kikyo merusak momen indah yang hampir saja terjadi.
“Ups, sepertinya aku mengganggu. Maaf.” Lalu dia berbalik dan berlari pergi.
Aku menarik napas dalam dan mendesah, padahal sebentar lagi aku mendapat ciuman pertamaku. Aku menoleh, menatap Ryuujin yang menggaruk rambutnya. Kurasa dia masih salah tingkah. “Ryuu, ayo ke kelas.”
-----------
“Kyo, apa kau mau menemaniku sepulang sekolah?” tanyaku pada Kikyo, dan gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban. Kurasa dia tahu apa yang akan kami lakukan sepulang sekolah. Membeli coklat. Yap, aku akan membeli coklat, karena besok hari Valentine. Aku ingin membuatkan Ryuujin satu coklat untuknya, karena ini valentine pertama kami. Kuharap dia suka yang manis-manis.
Malamnya, aku menatap satu kotak berwarna merah muda dengan pita merah yang mengikatnya. Yap, aku berhasil membuat satu coklat meski ukurannya hanya sebesar kepalan tangan. Tapi entah bagaimana rasanya, aku tidak tahu. Ini pertama kalinya aku membuat coklat. Yah, kuharap dia suka.
Aku segera meraih ponselku, meneleponnya. Tapi tidak ada jawaban darinya. Sepertinya sudah tidur. Biarlah, ini bisa jadi kejutan untuknya besok. Dan senyuman kecil tersimpul di wajahku. Aku mulai membayangkan betapa kagetnya dia menerima coklatku, dan kuharap mendapatkan ciuman pertamaku darinya. Membayangkannya malah membuat wajahku panas dan memerah.
Keesokan harinya, di sekolah, seperti yang sudah kuduga, cinta bertaburan di mana-mana. Hari ini valentine day. Pasangan ada di mana-mana, coklat di mana-mana. Aku melirik tasku, berharap coklatku tidak hancur tertindih buku-buku pelajaranku. Aku akan langsung menyerahkan padanya saat dia datang.
Sesampainya di kelas, aku sudah melihatnya duduk di kursi paling belakang sambil mencorat-coret mejanya. Tumben dia datang secepat ini. Aku segera menghampirinya. Ryuujin menatapku heran.
“Ryuu, err—“ entah kenapa aku gugup padahal kami sudah berpacaran. Tinggal menyerahkan coklat padanya, mudah kan? Tapi aku benar-benar gugup. Ini coklat pertama yang kuberikan pada seseorang.
“Ada apa? Katakan saja.” Ujarnya, lalu kembali berkutat dengan kegiatannya mencoret meja.
Dan aku melihat lagi luka di pelipisnya. Apa dia habis berkelahi lagi? Ya ampun, anak ini. Apa dia tidak bisa berhenti berkelahi sehari saja? Aku segera menarik tangannya, meski Ryuujin sempat protes tapi dia tetap saja mengikutiku. “Lagi-lagi kau berkelahi.” Dan kudengar dia hanya bergumam tidak jelas.
Di UKS, aku berkutat dengan lukanya. Sekali-kali kudengar dia mendesis menahan perih. Dasar, selalu berkelahi, tapi tidak tahan dengan perih. Apa yang ada dipikirannya sih? Apa dia bodoh? Sementara aku mengobati lukanya, dia terus menatap wajahku, membuatku sedikit grogi. Apa ini pengaruh udara valentine? Entah.
“Apa yang tadi ingin kau katakan padaku?” tanyanya, suaranya terdengar lembut. Seperti inilah dia, kalau kami cuma berdua, sifat lembutnya akan muncul. Aneh.
“Err—itu—“ Aku merogoh sesuatu dari tasku dan mengeluarkan satu kotak yang tadi malam telah kubuat dengan susah payah. Kuserahkan padanya dengan wajah memerah.
“Apa ini?” tanyanya mengambil kotak itu.
“Bukalah.” Ujarku.
Ryuujin membuka pita merah yang mengikatnya, lalu membuka kotak merah muda itu. Ryuujin mengangkat kedua alisnya ketika melihat apa yang ada di dalam kotak itu. “Coklat?” tanyanya menatap wajahku heran. Dia kenapa sih? Apa dia tidak pernah tahu ada hari valentine?
Aku mengangguk, senang. “Kau suka?” tanyaku antusias.
Ryuujin mengangkat coklat berbentuk hati dari dalam kotak, menatapnya bingung. “Tapi aku tidak suka coklat.”
Dan inilah pertama kalinya aku ingin menghantam kepalanya dengan meja. Aku seperti dibanting dengan kasar secara tiba-tiba ke tanah. Rasanya—sakit banget. Sudah susah payah aku membuatnya, tapi dia bilang tidak suka. Benar-benar pacar yang tidak punya perasaan. Aku ingin menangis saat itu juga. Tapi kutahan dengan mengerucutkan bibirku. Menyebalkan.
“Hm...” Gumamnya Ryuujin sambil mengunyah. Aku menoleh menatapnya, kulihat dia sudah menggigit hampir setengah coklat.
“Tidak usah dimakan, kau tidak suka coklat kan.” Sindirku, aku masih kesal.
“Kalau kau yang membuat, aku akan memakannya.” Ujarnya santai. Tapi membuat wajahku memerah panas. Rasa kesalku langsung hilang begitu saja. Begitulah Ryuujin, dia dapat membuat wajahku memerah dengan mudahnya.
“La-lalu, rasanya bagaimana?” tanyaku, penasaran.
Ryuujin menatapku lama sambil memakan coklat di mulutnya. Lalu memasukkan gigitan terakhir coklat yang kuberikan ke dalam mulutnya. Dengan cepat, dia sudah menarik daguku dan menyentuhkan bibirku dan bibirnya, membuatku tersentak kaget. Jantungku langsung berdetak dengan cepat, dan wajahku terasa sangat panas. Kurasa wajahku sangat merah sekarang. Tapi kemudian aku menutup mataku, menikmati ciuman kami. Ryuujin mendorong masuk coklat dari dalam mulutnya ke dalam mulutku dengan menggunakan lidahnya. Coklat itu meleleh dan menyebar memberikan rasa manis di dalam mulutku. Entah coklat atau ciumannya yang manis, tapi sepertinya keduanya.
Cukup lama kami berciuman, dan ketika kami sama-sama membutuhkan oksigen di dalam paru-paru kami, kami melepaskan ciuman, menciptakan benang saliva. “Bagaimana rasanya?” tanyanya, tersenyum jahil, membuat wajahku menjadi sangat merah. “Manis.” Gumamku, dan wajah Ryuujin ikut memerah.
--------------------------------
“Bagaimana ciumannya?”
Tanya Kikyo ketika aku sudah kembali ke kelas, membuat mataku membulat
sempurna karena terkejut. Bagaimana bisa dia tahu? Apa dia mengintip?
Lagi-lagi wajahku memerah.
“Kau—Kau tahu?”
“Tentu saja, bibirmu merah. Bahkan ada bagian yang lebih merah lagi. Hebat juga.” Ujar Kikyo, membuatku menyentuh bibirku. Aku ingat, Ryuujin sempat menggigit bibir bawahku saat kami berciuman.
“Ra—Rasanya manis.” Well, ciuman itu memang benar-benar manis.
“Lalu, bagaimana denganmu?” tanyaku pada Kikyo, bermaksud membalasnya dengan menggodanya.
“Apa maksudmu?” tanyanya, gugup.
“Kau pasti tahu. Bagaimana ciuman si kuning itu?” tanyaku, lalu terkekeh, membuat semburat merah muncul di wajah Kikyo. Kena kau!
“Ja—Jangan dibahas.” Ujarnya, membuatku terkekeh lagi.
Aku menoleh ke belakang, melihat Ryuujin yang duduk paling belakang. Ryuujin melihatku, dan melemparkan senyum manisnya kepadaku. Aku membalas senyumnya. Ryuujin menggerakkan bibirnya, seolah berkata ‘manis’, lalu mengerucutkan bibirnya dan menyentuh bibirnya dengan jarinya, seolah meminta ciuman. Ini membuat wajahku memerah. Dasar jahil.
Happy Valentine~
“Kau—Kau tahu?”
“Tentu saja, bibirmu merah. Bahkan ada bagian yang lebih merah lagi. Hebat juga.” Ujar Kikyo, membuatku menyentuh bibirku. Aku ingat, Ryuujin sempat menggigit bibir bawahku saat kami berciuman.
“Ra—Rasanya manis.” Well, ciuman itu memang benar-benar manis.
“Lalu, bagaimana denganmu?” tanyaku pada Kikyo, bermaksud membalasnya dengan menggodanya.
“Apa maksudmu?” tanyanya, gugup.
“Kau pasti tahu. Bagaimana ciuman si kuning itu?” tanyaku, lalu terkekeh, membuat semburat merah muncul di wajah Kikyo. Kena kau!
“Ja—Jangan dibahas.” Ujarnya, membuatku terkekeh lagi.
Aku menoleh ke belakang, melihat Ryuujin yang duduk paling belakang. Ryuujin melihatku, dan melemparkan senyum manisnya kepadaku. Aku membalas senyumnya. Ryuujin menggerakkan bibirnya, seolah berkata ‘manis’, lalu mengerucutkan bibirnya dan menyentuh bibirnya dengan jarinya, seolah meminta ciuman. Ini membuat wajahku memerah. Dasar jahil.
Happy Valentine~
Aih so sweet. Jgn2 Ryuujin ini rentenir nih,., :D
BalasHapusnice post lah sob..btw salam kenal yyaa
BalasHapus