----------------------------------
Kupersembahkan untuk seluruh pembaca.
Terima kasih.
---------------------------------------------
Insiden kemarin membuat kami semua syok. Sally masih belum sadarkan diri hingga saat ini. Semalam aku terus saja menangis hingga mataku sembab, berdoa agar Sally segera sembuh. Aku datang ke rumah sakit, berharap Sally sudah sadarkan diri. Saat tiba di rumah sakit, aku bertemu David. Sepertinya dia juga ingin menjenguk Sally, aku tahu dia sangat khawatir pada Sally. Dan anak-anak lainnya, dengan tujuan yang sama. Kami langsung saja memutuskan untuk ke kamar tempat Sally dirawat.
Sally masih belum sadarkan diri. Kedua orang tuanya memegang kedua tangannya di kedua sisi. Sepertinya keduanya belum pulang sejak kemarin. Kami mendekat, aku langsung mendekati ibu Sally. Kami berpelukan sebentar.
"Sally belum sadar, tante?" Tanyaku. Ibu Sally hanya menjawab dengan gelengan yang lemas. Kulihat dia begitu lelah. Matanya sembab dan ada garis hitam di bawah matanya. Kutebak, Ibu Sally tidak tidur dan terus saja menangis.
Kami diam dalam keheningan, menatap Sally berharap malaikat kami sadar. Aku terus saja berdoa dalam hati. Dan keheningan itu terpecah saat terdengar gumaman dari satu sumber, Sally. Ya, Sally. Sally terlihat sedang berusaha membuka matanya, menyesuaikan cahaya. Dan saat Sally melihat kami, aku mendesiskan namanya, Sally tersenyum tipis. Ibu Sally langsung saja terpekik senang, dan menangis terharu. Lagi-lagi Sally hanya tersenyum. Sally mendudukkan dirinya dibantu oleh ayahnya, dan meringis ketika rasa nyeri menyerang tangannya yang diinfus.
"Kenapa kalian semua berada di sini? Aku baik-baik saja." ujarnya.
"Tidak perlu menyembunyikannya lagi, Sally. Kami sudah mengetahuinya." ujar David. Sally tertunduk, meremas kedua tangannya.
"Seharusnya kamu memberitahukan kami sejak dulu. Kalau kami tahu, kami juga akan menjagamu." Anak lain berkomentar. Sally masih menunduk.
Sedetik kemudian, Sally mengangkat kepalanya. "Terima kasih. Tapi, sungguh, aku baik-baik saja." Ujarnya tersenyum. Aku tahu dia memaksakan diri untuk tersenyum agar tidak ada yang mengkhawatirkannya.
---
Selama lima hari aku mengunjungi Sally di rumah sakit. Kadang aku menginap, menemaninya, meski dia menyuruhku untuk pulang. Tapi aku menolak, aku ingin berada di dekat sahabat baikku. Kadang pula ketika aku mengunjunginya, David sudah berada di sana, bersama Sally saling bercengkrama, atau menyuapi Sally dengan seiris apel. Aku yang mengetahuinya membatalkan niatku masuk, tidak ingin mengganggu keduanya. Aku tersenyum. Begitu pula kedua orang tua Sally, mereka pun tidak ingin mengganggu suasana indah kedua sejoli. Keduanya senang melihat ada seorang anak laki-laki yang begitu menyayangi Sally meski Sally sedang sakit parah.
Suatu hari, aku mendapat kabar bahwa Sally pindah keluar negri. Kedua orang tuanya ingin Sally mendapatkan perawatan yang jauh lebih baik lagi, berharap bahwa Sally dapat sembuh dari penyakit ganas itu. Aku segera memberitahukan kabar itu kepada teman-teman lainnya. Mendengar hal itu, kami pun berencana membuat pesta kecil untuk kepergiannya, agar Sally dapat mengingat kami meski pada jarak yang sangat jauh.
Pesta kami adakan di kamar tempat Sally menginap di rumah sakit. Kami berfoto bersama. Kami juga memberikan berbagai hadiah. David memberikan sebuah boneka beruang super besar pada Sally. Sementara aku memberikannya sebuah kalung yang sama dengan kalungku, dengan foto kami berdua di dalamnya. Sally sangat senang, dia sempat menangis terharu melihat kebaikan kami. Aku hanya tersenyum, yang seperti ini belum seberapa dibandingkan dengan kebaikannya pada kami selama ini. Sally berjanji, dia akan berusaha untuk sehat dan segera kembali pada kami.
----
Sudah berbulan-bulan sejak kepergian Sally, dan aku belum mendapatkan kabar apapun. Saat tiba di sekolah, aku selalu berharap Sally sudah berada di bangkunya, melihatku sambil tersenyum. Terkadang di tengah pelajaran aku menatap bangku kosong di sampingku, tempat di mana Sally duduk. Saat pelajaran olahraga pun, aku selalu melihat ke sisi lapangan, berharap Sally berada di sana, duduk sambil menyemangatiku. Saat di kantin, ketika makan aku selalu menatap bangku kosong di depanku. Biasanya Sally selalu duduk di depanku, kami bercanda sambil menyantap makan siang kami. Tapi tanpa Sally, semuanya menjadi membosankan.
"Bagaimana? Apa sudah ada kabar?" David menyapaku di kantin, dan langsung duduk di bangku di mana Sally biasa duduk. Dan aku hanya membalasnya dengan gelengan lemah.
"Bisakah kamu pindah ke bangku lain? Di situ..." Aku tidak bisa melanjutkan perkataanku. David yang mengerti langsung duduk di bangku yang lain.
Aku memang terkadang sensitif jika ada yang menyebutkan nama Sally. Seperti saat pelajaran ketiga. Pak Guru sedang menjelaskan pelajaran.
"Bagaimana? Apa ada yang bisa menjawab pertanyaan saya? Bagaimana denganmu, Sally?" Pak Guru langsung melihat ke arah bangku kosong di sampingku. Kami spontan menoleh ke bangku kosong itu. Biasanya Sally langsung menjawab pertanyaan dengan mudah, dia anak yang pintar, dan menjadi anak emas dikalangan guru. Tapi kali ini, tidak ada suara apapun terdengar. Hening. Kami tertunduk, anak-anak yang lain segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Suasana kelas menjadi mendung. "Ah, saya minta maaf. Saya lupa." Pak guru yang menyadari kesalahannya segera meminta maaf.
Aku masih menatap bangku kosong itu. Aku teringat Sally yang dengan semangat menjawab pertanyaan, dan Sally yang tersenyum puas ketika jawabannya benar. Aku menghela napas berat. "Apakah Sally baik-baik saja?" gumamku.
Sepulang sekolah, aku berjalan sendiri. Biasanya kami berjalan berdua bersama. Aku memutuskan untuk melewati rumahnya. Sepi. Tidak ada tanda siapapun tinggal di dalam sana. Aku pun kembali ke rumah.
Kerinduanku terjawab sudah. Entah kenapa hari ini aku ke sekolah lebih cepat, ketika sekolah masih sangat sepi. Saat tiba di kelas belum ada siapapun. Tapi aku terkejut ketika melihat satu sosok sedang duduk di samping bangkuku, dibangku yang kosong berbulan-bulan. Sosok itu tersenyum padaku. Aku tidak percaya pada apa yang kulihat, dan mulutku menganga seketika.
"Sally!" Teriakku histeris. Aku segera berlari menghampirinya, memeluknya dan menangis. Sally memelukku erat. Dia juga rindu padaku.
"Kenapa kamu tidak memberi kabar? Kapan kamu kembali?" Tanyaku ketika melepaskan pelukan kami. Aku mengelap air mata di sudut mataku.
"Maaf." Hanya itu yang dikatakannya. Tubuhnya tidak lagi kurus, tapi wajahnya masih saja pucat. Kurasa pengobatannya berhasil.
"Aku sangat rindu padamu." lagi-lagi aku memeluknya erat.
"Aku juga." Ujarnya dengan suara berbisik.
Beberapa anak mulai datang ke kelas. Dan ekspresi mereka benar-benar sama denganku. Mulut terbuka lebar karena terkejut, lalu berikutnya meneriakkan nama Sally dengan histeris. Respon Sally adalah senyumannya yang meneduhkan.
Kedatangan Sally seperti membawa pelangi keceriaan pada kelas kami. Kelas menjadi lebih ceria, dan semua kembali seperti pada kondisi di mana kami belum mengetahui penyakit Sally. Untuk merayakan kedatangan Sally, kami sekelas merayakannya di kantin sekolah. Kami saling bercerita, membagi kisah. Sally kemudian berdiri, membuat kami semua terdiam.
"Teman-teman, terima kasih karena selama ini sudah menjadi teman terbaikku. Terima kasih sudah mengkhawatirkan kondisiku. Dan terima kasih pada sahabat baikku." Ujarnya melihatku, lalu tersenyum. Aku terharu pada kata-katanya. Aku membalas senyumannya.
"Dan kuharap, suatu saat nanti teman-teman semua tidak akan melupakanku. Terima kasih." Ujarnya, lalu membungkuk. Kalimat terakhirnya ini membuatku bingung. Aku tidak mengerti pada apa yang dikatakannya. Tapi, aku memutuskan untuk tidak bertanya, dan menikmati pesta kecil kami.
Sepulang sekolah, kami berjalan berdua seperti yang biasa kami lakukan. Kami bercerita banyak. Aku menceritakan tentang David yang membuatnya tampak malu-malu. Saat di persimpangan jalan, kami berhenti.
"Aku akan kerumahmu."
Sally menggeleng.
"Kenapa?" Tanyaku penasaran.
"Tidak apa-apa. Pulanglah dulu." Jawabnya.
"kalau begitu sore ini aku kerumahmu." ujarku, dan Sally hanya tersenyum. Sepertinya dia setuju.
"Sampai bertemu lagi." Ujarnya, melambaikan tangan lalu pergi.
Aku membalas melambaikan tangan lalu memutuskan pulang ke rumah. Saat tiba di rumah, sebuah kabar tiba, dan membuat semuanya menjadi sangat jelas. Ibu sedang terisak di ruang tamu. "Ada apa, bu?" Tanyaku. Ibu langsung berdiri memelukku, tangisannya begitu pilu. Aku tidak tahan ingin menangis.
"Ada apa bu?" Tanyaku lagi.
"Sally, Sally, nak." ujarnya di pelukanku.
"Oh, Sally. Dia baik-baik saja. Dia sudah ke sekolah tadi. Sore ini aku akan ke rumahnya." jawabku.
Ibu melepas pelukannya. Wajahnya tampak bingung, seperti melihat sesuatu yang aneh di wajahku. Aku mengerutkan kening, heran.
"Kamu sedang berkhayal nak. Tidak mungkin Sally ke sekolah." jawabnya, membuatku bingung.
"Loh? Aku melihatnya, kok. Kami semua melihatnya." ujarku.
Tangis pilu ibuku semakin menjadi-jadi, lalu kemudian dia memelukku erat. "Sally sudah pergi."
"Pergi? Apa maksudnya?" Aku benar-benar bingung.
"Sally meninggal siang ini. Tadi ibu Sally menelepon ibu."
Apa aku tidak salah dengar? Sedetik aku terpaku, kemudian aku melepas pelukan ibu. "Tidak mungkin. Baru saja tadi kami bersama-sama di sekolah."
Ibu menggeleng pelan, kemudian berkata "Tidak, nak. Sally meninggal di rumah sakit di Amerika."
Aku menjatuhkan tasku, kepalaku terasa pusing seperti dihantam oleh palu besar. Aku merasa seluruh tubuhku lemas, seperti tidak memiliki tulang di dalamnya. Aku benar-benar tidak bisa bergerak. Begitu syok dengan ucapan yang kudengar. Saat teringat akan sosok Sally saat di sekolah tadi, dan ucapannya, aku segera berlari keluar rumah. Ibu memanggilku, dan aku tidak menghiraukannya.
Aku berhenti di depan pagar rumahnya. Mataku menatap tidak percaya pada rumahnya yang tidak berubah. Sepi, tidak berpenghuni. Napasku memburu, dan perlahan air mataku membajiri pipiku. Aku menangis. Aku meneriakkan nama Sally. Tidak peduli pada orang-orang yang melihatku, menganggapku gila. Aku jatuh berlutut. Semuanya menjadi jelas sekarang, sosoknya yang pucat yang kami temui di sekolah, dan kalimat terakhirnya yang dia ucapkan pada kami di kantin. Semua benar-benar jelas.
Sebelum kepergiannya, Sally 'menghampiri' kami, memberikan kami kenangan akan dirinya sebelum dia benar-benar pergi. Sally datang membawa keceriaan yang hilang, mengucapkan salam perpisahan pada kami, dan memberikan kami senyuman terakhirnya. Sally masih saja mengkhawatirkan kami di akhir hidupnya. Mengingat kembali pertemuan terakhir kami, air mataku terus saja mengalir.
Langit pun turut bersedih. Hujan perlahan turun, membasahi seluruh tubuhku. Air mata dan air hujan menyatu. Aku berlutut di depan rumah Sally, menangisi kepergian sahabat terbaikku, malaikat tak bersayap kami. Tuhan, ketika kau mengirimkan kebahagian pada kami, kenapa Engkau mengambilnya begitu cepat?
"Sally..." lirihku.
Tuhan, jagalah Sally dalam dekapanmu. Berikanlah Sally kebahagiaan seperti Engkau memberikan Sally kepada kami.
-------------------------------------------------------------------------
Di bangku taman,
Aku menatap sebuah foto kecil dari kalungku. Itu aku dan Sally. Sudah sepuluh tahun berlalu sejak kepergiannya, dan kenangan akan dirinya tidak pernah terlupakan di benakku. Aku tersenyum dan setetes air mata jatuh. Dan saat itu kurasakan seseorang menepuk pahaku pelan. Seorang anak perempuan yang berusia sekitar 7 tahun dengan balon merah di tangan kanannya.
"Tante baik-baik saja?" tanyanya, matanya yang besar dan cerah menatapku. Entah kenapa wajahnya begitu familiar.
Aku mengelap mataku, dan tersenyum padanya. "Tentu saja."
"Kalau begitu jangan sedih lagi. Ini, aku kasih balon." Ujarnya sembari memberiku balon merah itu.
"Terima kasih, adik manis."
Lalu anak itu berlari menghampiri ibunya. Anak itu menunjukku, lalu melambaikan tangannya padaku. Aku membalas melambaikan tangan dan tersenyum. Ibu dan anak itu pergi. Aku masih menatap kepergian mereka. Anak itu menolehkan wajahnya padaku, lalu tersenyum. Aku ingat senyum itu. Senyuman Sally. Dan aku seperti melihat sosok Sally dari anak itu, Sally tersenyum padaku, senyuman yang lembut. Lalu Sally berbalik dan menghilang.
"Sally..." desisku, balon merah yang kupegang lepas, dan terbang ke langit.
The End
Bagus,bagus dan ada satu hal yang membuat saya shock..
BalasHapusternyata AKU disini adal seorang CEWEK !!!!
@dhytdhyt: yap, karena terfokus sama Sally, jadi gak pernah terpikir untuk menentukan gender si Aku, tapi karena perkembangan cerita (mulai dari part III), si Aku ini memiliki gender cewek (nah loh?). Ada tuh bagian di mana si Aku ini mengganti seragam, dia melihat Sally mengganti seragam, tidak mungkin kan cowok ngelihat Sally mengganti seragam, bisa-bisa digampar bolak-balik.
BalasHapushihihihihi iya saya juga baru nyadar matt.. kikikikikikikiik XD
BalasHapussaya juga salah sih, gak jelasin lebih awal gender si Aku. Malah di part 3 baru gender si Aku jelas. Itupun kalau ada yang nyadar. hehehe
BalasHapusbagus ceritannyya.. aku jadi teringat kisah yang kubaca di Story.. sama2 menceritakan saat bertemu seseorang yang ternyata sudah meninggal. :)
BalasHapussave dl ah. nanti baca d rumah..
BalasHapus