Kamis, 10 November 2011

Sahabatku, Sally (Part II)

Kupersembahkan untuk seluruh Sahabatku
Dan untuk Irchamdy Ilyas,
yang telah mengagumi karyaku.
Terima kasih
------------------------------------------------------------------
“Bagaimana keadaanmu?”

“Mulai baik. Dan semoga saja semakin baik.”

Setiap hari aku mengunjungi Sally ke rumahnya. Dia sudah keluar dari rumah sakit. Dia tidak begitu suka dengan rumah sakit, jadi Sally memutuskan untuk melakukan rawat jalan.  Kuperhatikan tubuhnya yang tampak lebih kurus. Wajahnya tetap saja pucat. Meski begitu, Sally tetap saja tersenyum. Seolah-olah dia tidak merasakan sakit pada tubuhnya.

“Anak-anak titip salam. Mereka menanyakan kabarmu. Mereka rindu padamu. Kapan kamu kesekolah, katanya? Mereka juga ingin menjengukmu, tapi aku melarangnya. Seperti yang kamu inginkan.”

Sally hanya tersenyum menanggapi pernyataanku. Dia tidak ingin dikunjungi siapapun, terkecuali aku. Dia tidak ingin ada orang selain aku dan kedua orang tuanya mengetahui penyakitnya. Dia tidak ingin membuat orang lain khawatir padanya. Aku begitu sedih melihat dirinya. Saat sakit pun, dia masih memikirkan orang lain. Kenapa dia tidak mau bersikap egois sedikitpun? Kami melewati hari di kamarnya. Aku menemaninya hingga sore, agar Sally tidak kesepian.

Keesokan harinya, hampir dua minggu sejak kejadian itu. Saat tiba di kelas, ku lihat dia sudah duduk di bangkunya. Beberapa anak sudah mengelilinginya. Sally terlihat menggeleng dan tersenyum. Aku tahu apa yang terjadi. Sally pasti ditanyai tentang penyakitnya. Dan aku yakin, dia mengatakan bahwa dia baik-baik saja, dan hanya terkena penyakit biasa. Dia tidak pernah mau membuat orang lain khawatir. Aku segera menghampirinya, dan duduk di sampingnya.

“Kenapa kamu datang ke sekolah? Kamu harus beristirahat di rumah.” Tanyaku ketika teman-teman yang lain sudah pergi.

“Aku hanya bosan di rumah. Lagipula, kalau aku tidak ke sekolah, aku akan ketinggalan pelajaran.”  Jawabnya.

“Bagaimana dengan orang tuamu? Apa mereka tidak melarang? Bagaimana jika sakitmu tambah parah?” Tanyaku berbisik.

“Mereka menentang keras. Tapi aku sudah meyakinkan mereka kalau aku tidak akan melakukan hal-hal berat. Lagipula aku sudah lumayan sehat.” Jawabnya lagi, mencoba meyakinkanku.

Aku hanya menghela napas. Aku tahu dia bersikap egois, dan aku memang menginginkan dia bersikap egois untuk dirinya sendiri. Tapi bukan egois seperti ini yang kumaksudkan. Kenapa dia tidak berpikir pada kondisinya saat ini? Yang aku tahu, sekarang aku harus menjaganya agar Sally baik-baik saja. Aku tidak ingin kejadian yang lalu terulang.

Saat istirahat siang, aku melarangnya ke manapun. Aku yang membelikannya roti di kantin dan kami memakannya di kelas. Saat sedang menikmati roti, David mendekat. David adalah teman sekelas kami.

“Sally, boleh bicara sebentar?” Tanyanya, terdengar gugup, lalu berjalan keluar kelas.

Aku dan Sally saling berpandangan. Lalu Sally berdiri dan berjalan keluar kelas. Aku tahu! David akan menembak Sally. Semua orang di kelas tahu kalau David menyukai Sally, tapi tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Sally pada David. Tapi aku tahu kalau sudah sejak lama Sally menyukai David. Aku segera berdiri, setengah berlari keluar kelas. Dan sepertinya bukan hanya aku yang berpikiran bahwa David akan menembak Sally. Tapi hampir separuh dari orang di kelas mengetahuinya. Dan yang kami lakukan adalah mengintip mereka berdua yang sedang berada di samping kelas.

Kulihat David sangat gugup karena Sally terus melihatnya. Tapi berikutnya, raut wajah David berubah kecewa. Dan Sally hanya menunduk. Kenapa? Sally berbalik, dan berjalan pergi. Sementara David masih di tempatnya menatap dengan pandangan kecewa pada kepergian Sally. Teman-teman lain juga memasang ekspresi kecewa. Ditolak. Itu jawaban yang mereka tahu pasti. Dan aku memasang ekspresi tidak mengerti.

Aku mengikuti Sally, menyusul langkahnya. Kami masuk ke dalam toilet sekolah. Sally berdiri di depan kaca dan menunduk. Kulihat punggungnya bergetar. Aku tahu dia menangis. Aku segera menyentuh kedua pundaknya.

“Kenapa kamu menolaknya? Bukankah kamu menyukainya?” Tanyaku

“Tidak bisa.” Jawabnya di sela isak tangisnya. “Aku tidak bisa menerimanya. Tidak lama lagi aku akan pergi. Aku tidak ingin dia kecewa dan sedih dengan kepergianku. Menolaknya saat ini adalah keputusan yang tepat, sebelum rasa cintanya padaku tertanam begitu dalam. Meski harus mengorbankan perasaanku, aku merelakannya. aku tidak ingin melukai perasaannya.” Ujarnya, punggungnya bergetar hebat.

Aku menahan napas mendengar setiap kalimat yang dia ucapkan. Kenapa? Kenapa dia tidak mau bersikap egois? Kenapa dia tidak mau memikirkan dirinya sendiri? Dan kenapa dia berpikir bahwa kematian akan datang padanya? Aku segera memutar badannya cepat, membuatnya menatapku.

“Jangan berkata seperti itu!” Ujarku. Pandanganku menjadi buram. Kurasakan air mataku jatuh perlahan. “Kamu tidak akan pergi! Kamu harus hidup! Tidak ada yang menginginkan kepergianmu. Aku, kedua orangtuamu, David, dan teman-teman sekelas tidak ada yang menginginkan itu. Kami menyayangimu dan kami akan berdoa untuk kesembuhanmu. Dan kamu akan hidup, terus hidup.” Ujarku dengan tanpa berhenti. Aku menarik napas, air mata terus jatuh dari sudut mataku.

Aku menariknya dalam pelukanku. Aku benar-benar tidak ingin Sally pergi. Tuhan, ketika kau mengirimkan malaikat kepada kami, kami begitu bahagia. Tetapi kenapa Kamu ingin mengambil malaikat kami begitu cepat? Kenapa Kamu ingin mengambil sumber kehabagiaan kami? Aku masih menangis, sementara Sally menepuk-nepuk punggungku pelan, seperti sedang menenangkanku. Sepertinya Sally sudah tidak terisak sekarang.

“Terima kasih.” Suaranya terdengar lembut, aku tahu bahwa dia sedang tersenyum.

5 komentar:

  1. Wuih mantap, udah coba di kirim naskahnya? siapa tau bisa jadi novel. Apa emang udah jd novel nih? hehe

    BalasHapus
  2. @NuellubiS: bisa juga sih. tapi kontak-kontakannya gimana? Masa mesti nitip surat ke malaikat pencabut nyawa? hehehe :p

    @Feby Oktarista Andriawan: Makasih, mas. Ini bukan novel kok. Saya gak pernah kepikiran buat dijadiin novel, apalagi ngirim naskah.

    BalasHapus
  3. Mamat,,,Tidak HAPPY ENDING.
    More detail please. dia selamat atau.................

    BalasHapus
  4. @Dhyt_Dhyt: Hehehe, yang sabar, sedang diproses. kalau sudah ada lanjutannya, langsung saya kabari lagi.

    BalasHapus