Aku jatuh cinta.
Jatuh cinta pada
seorang gadis yang kutemui di pinggir desa. Awalnya aku hanya sedang berjalan
di sekitar sana, mencari inspirasi untuk lukisanku. Aku seorang pelukis dari
kota yang memutuskan untuk datang ke desa terpencil dengan lingkungan dan udara
yang masih bersih. Kota yang terlalu penat membuat inspirasiku tertahan, seolah
menolak keluar untuk direalisasikan ke dalam bentuk lukisan.
Tentang gadis ini, pertama kali
melihatnya membuatku jatuh cinta. Sosoknya begitu rupawan, anggun,
dan—berkilau. Ketika rambutnya yang keperakan dibelai oleh kelembutan angin,
aku seolah mendengar suara dari rerumputan di padang rumput yang sedang tertiup
oleh angin musim panas. Dan ketika mata kami bertemu, entah bagaimana iris biru
cerah itu seolah menghipnotisku dan melumpuhkan panca indraku. Aku tahu, saat
itu aku sudah takluk padanya.
Setiap hari aku selalu datang ke
tempat itu, tempat di mana pertama kali kami bertemu, karena hanya di tempat
itu aku bisa melihatnya. Gadis itu bukan dari desa tempatku tinggal, aku sudah
bertanya pada penduduk, dan tidak ada satupun yang mengenalnya. Sepertinya
gadis itu berasal dari desa tetangga. Beruntung, setiap aku datang gadis itu
selalu berada di sana. Dan kami jadi dekat. Gadis itu bernama Shasha
Kami sedang duduk di bawah pohon,
memandangi rerumputan di hadapan kami. Aku menoleh padanya, menatap wajahnya
yang selalu membuatku terbuai. “Bolehkah aku meminta sesuatu padamu? “
Ia menoleh, menatapku penasaran.
“Tentu.” Suaranya—aku selalu senang mendengar suara jernihnya, seperti
mendengar petikan harpa yang merdu.
“I-Izinkan aku melukismu.”
Ia mengalihkan pandangan matanya
sejenak, tampak ragu untuk menjawab.
“Kumohon.” Aku harus melukisnya.
Aku tidak ingin melewatkan kesempatan apapun.
“Baiklah.” Putusnya membuat senyum
menggantung di wajahku.
Kuputuskan untuk membawanya ke
rumah karena aku tidak membawa alat lukis. Aku membawanya pada satu ruangan
yang cukup luas di dalam rumah. Satu ruangan khusus yang kugunakan untuk
melukis dan menaruh semua hasil lukisan yang dominan dengan lukisan pemandangan
dan beberapa lukisan abtrak, dan alat-alat lukis. Ada beberapa kanvas yang
hanya dipenuhi sketsa buram dan kubiarkan begitu saja.
“Apa kau yang melukis semuanya?”
Shasha menatap tertarik pada lukisan-lukisan pemandanagn yang ku tata rapi di
dinding ruangan.
“Ya. Bagaimana menurutmu?”
Jawabku sambil menatap alat lukisku, menaruh kanvas di penyangga, dan
mempersiapkan cat minyak yang akan kugunakan.
“Aku baru pertama kali melihat
lukisan. Ternyata sangat indah.”
Aku tersenyum dan meliriknya,
masih berkutat dengan cat minyak. Tersanjung dengan pujian yang diberikannya,
meski aku sudah sering mendengar kata itu. “Terima kasih.”
Berikutnya aku menuntunya,
menyuruhnya untuk berdiri bersandar pada dinding tepat di samping jendela dan
menatap apapun di arah kanan dengan tangan yang bertautan di depan. Siluet
matahari yang menembus jendela ruangan membuat warna langit di matanya dan juga
rambut keperakannya tampak berkilau. Sangat cantik.
Aku mulai menggoreskan pensil di
atas kanvas, membuat sketsa buram terlebih dahulu. Setelah selesai dengan
sketsa, aku mulai melukisnya. Entah bagaimana setiap coretan minyak yang
kutorehkan, sosoknya terlihat semakin cantik sekaligus indah di mataku.
Jantungku terasa berpacu dengan cepat. Aku jadi tidak yakin apakah lukisan ini
akan lebih indah dari aslinya ketika lukisan ini telah selesai.
Lukisan ini akan jadi, sebentar
lagi. Ya, sebentar lagi akan berakhir dan gadis itu akan pergi. Aku menggenggam
erat kuas yang hampir menyentuh kanvas. Pikiranku menjadi kalut. Jika aku
menyelesaikan lukisan ini, tidak akan ada lagi yang kesempatan kedua untukku.
Aku ingin memilikinya.
“Sepertinya harus selesai sampai
sini.” Ujarku, menarik kuasku dan meletakkannya.
“Apa lukisannya sudah selesai?”
tanyanya, lalu menghampiri lukisan dirinya yang kubuat. Matanya menatap kagum.
“Belum. Aku kehabisan cat. Dan
aku harus membelinya ke kota.” Jawabku, bohong. Sejujurnya, masih ada cukup
untuk membuat dua lukisan.
“Kalau begitu sudah saatnya aku
pulang.”
Belum sempat Shasha beranjak, aku
segera menahan tangannya. “Tinggalah sampai lukisan ini selesai.”
Aku bisa melihat wajahnya yang
terkejut. “Maaf, tapi aku tidak bisa.”
‘Tidak bisa’. Dua kata itu yang
kutakutkan keluar dari mulutnya. “Kumohon, tinggalah sampai lukisan ini
selesai.”
“Ta-Tapi—“ Shasha berusaha menarik
tangannya yang kugenggam erat, tidak berniat untuk kulepaskan.
“Kumohon, kumohon. Hanya sampai
lukisan ini selesai.” Aku berlutut di depannya, meyakinkannya. Mungkin aku
terlihat sangat bodoh, membuang harga diriku dengan berlutut di depannya. Tapi
aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak ingin membiarkannya pergi. Aku ingin
memilikinya, untuk diriku sendiri.
Shasha terlihat ragu dan takut.
Aku mempererat genggaman tanganku, aku ingin benar-benar meyakinkannya. Dan
kemudian senyum lebar menggantung di bibirkku ketika melihat gadis itu
mengangguk, setuju. Aku tidak menyadari bahwa keegoisanku ini nantinya akan
membawa kehancuran sekaligus penyesalan besar dalam hidupku.
~~~~~~~~~~
Empat hari berlalu sejak aku
‘memiliki’nya. Bagaikan berlian murni, bagaikan kaca tipis yang rapuh, aku
menjaganya dengan sangat hati-hati. Sangat berhati-hati. Aku ‘menempatkan’nya
di satu kamar, tepat di samping kamarku. Aku mengunci jendela kamar, melarangnya
untuk menginjakkan kaki selain di luar kamar, bahkan aku menguncinya. Bagaikan
terkurung di dalam sangkar. Aku sadar aku begitu posesif, tapi aku tidak peduli
selama aku bisa memilikinya untuk diriku sendiri.
“Bukankah cahaya sore sangat
indah, Shasha?” Seperti biasa, aku mengunjunginya ketika aku telah
menyelesaikan lukisan, meski tidak benar-benar selesai. Aku terlalu terfokus
pada dirinya. Sosoknya menghantuiku setiap waktu, setiap detik dan menit.
Shasha yang sedang menatap langit
dari jendela, seperti biasa, menoleh dan tersenyum ketika mendengar suaraku.
“Ya, sangat indah. Langit juga sangat cerah.” Gadis itu kembali menatap keluar
jendela.
Aku mendekatinya, dan meraih satu
tangannya yang bebas. Gadis itu menoleh, menatapku dan tersenyum. Aku tidak
mengerti dengan apa yang dipikirkannya. Dikurung di tempat sebuah kamar selama
beberapa hari, oleh seorang pemuda yang hanya dikenalnya dalam seminggu. Tapi
tidak ada ketakutan ataupun penyesalan ketika aku menatap mata birunya yang
cerah. Terkadang aku berharap dapat membaca pikirannya hanya dengan
menyentuhnya.
“Bagaimana dengan lukisan? Dan
cat?” Shasha menatap ke mataku. Aku segera mengalihkan panandanganku ke luar
jendela, menatap kosong. “Aku—“
“Bukankah sangat menyenangkan
jika kita bisa berlari di atas rumput seperti dulu, David?” Gadis itu menatap
kembali ke luar jendela, ke apapun yang tidak dipandangi olehku. Aku
menggenggam tangannya lebih erat, yang dapat diartikan “Tidak” olehnya.
Tujuh hari berlalu, aku sudah
menyimpannya selama seminggu. Tentu ada perubahan pada diri Shasha selama
kusimpan di dalam kamar. Tetap tidak terlihat ketakutan ataupun penyesalan dari
tatapan matanya, tapi kini yang terlihat adalah tatapan sendu. Dia tidak pernah
menunjukkannya ketika sedang menatapku, tapi aku bisa melihatnya dengan jelas
ketika tatapan itu berpaling.
Aku selalu mengelak dan berbohong
ketika gadis itu menanyakan hal yang sama, “lukisan” dan “cat”. Aku tahu dia ingin terlepas dari kurungan ini.
Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak ingin dia pergi dariku.
Tapi, akhir-akhir ini berbeda.
Setiap malam aku selalu mendengar suara bisikan dari dalam kamarnya. Awalnya
kupikir dia hanya sedang berbicara pada dirinya sendiri, ketika aku menengoknya,
tidak ada siapapun. Tapi semakin hari suara itu semakin keras saja. Dengan
jelas aku bisa mendengar itu suara milik orang lain.
Malam itu, mendekati pergantian
malam, aku memergokinya. Seseorang bertudung hitam yang sedang berdiri di
hadapan Shasha—yang juga sedang berdiri di samping tempat tidur. Bagaimana dia
bisa masuk? Aku selalu mengunci kamar Shasha, dan memastikan jendela tidak bisa
terbuka. Dan yang terpenting, “Siapa kau?” Teriakku.
Keduanya menatapku, Shasha
menatapku terkejut. Tanpa berpikir panjang, aku segera meraih vas bunga di meja
dan melemparkannya ke sosok bertudung itu. Sosok itu bergerak cepat,
menghindari vas yang kulempar sehingga menghantam tembok dan pecah
berkeping-keping. Sementara Shasha yang terkejut, jatuh terduduk di tempat
tidur ketika menghindari lemparanku.
Tidak ada benda lain yang bisa
kulempar, aku segera menerjangnya dengan tubuhku. Tapi sekali lagi sosok
misterius itu bergerak lebih cepat. Sangat cepat, bahkan aku tidak bisa
melihatnya ketika menghindari terjanganku. Dan sedetik kemudian aku sudah tertahan di tembok, dengan kedua tangan di
punggung. Aku mengerang. Kedua tanganku dicengkeram oleh satu tangan, sementara
tangan lainnya mencengkeram leherku dari belakang. Aku bisa merasakan
kuku-kukunya yang akan merobek kulitku jika cengeraman itu diperkuat.
“Eol, hentikan! Jangan lakukan
ini. Kumohon.” Aku bisa suara Shasha yang lirih.
Dan saat itu juga cengkeraman di
leher dan kedua tanganku mengendur. Aku segera mengambil kesempatan ini, ketika
sosok mesterius itu lengah. Aku segera berbalik dan menerjangnya dengan kuat.
Sosok misterius itu mengerang dan terdorong beberapa langkah. Dan saat itu pula
tudungnya turun dari kepalanya. Aku bisa melihat dengan jelas wajahnya. Meski
penerangan yang terbatas, aku bisa tahu dengan pasti rambutnya yang keperakan
dan mata biru yang cerah. Aku seperti melihat Shasha, tapi dengan rambut yang
pendek, dan tatapan mata yang tajam dan berkilat.
“Eol, pergi!” perintah Shasha
pada sosok misterius yang bernama Eol.
Eol berdecak kesal, lalu memakai
tudungnya, tapi aku masih bisa melihat dengan jelas tatapannya yang berkilat
kepadaku. “Aku akan membunuhmu, suatu hari, dan secepatnya.”
“Eol!”
Kemudian sosok itu perlahan berubah
menjadi asap kelabu dan menghilang, setelah terdengar dentinagn lonceng kecil.
Yang bisa kulakukan hanya terpaku, berusaha tidak percaya pada apa yang telah
kulihat di hadapanku. Sesosok misterius yang berhasil masuk ke dalam ruangan
terkunci secara misterius, dan berusaha membunuhku. Sosok misterius yang dapat
berubah menjadi asap, dan menghilang. Dan, dia mengenal Shasha. Aku menoleh,
menatap Shasha yang tertunduk.
“Shasha, jelaskan padaku, apa
sebenarnya yang terjadi!”
wah mana lanjutannya??
BalasHapusLanjutannya lagi disusun.
Hapusnyari alur yang pas.
woww...
Hapuspenasaran dengan lanjutannya...
matap matap mat mat
BalasHapusbagus sih,,tp mana mh lanjutanx, sudah hampirmh 1/2 tahun,,hahaha
BalasHapushahaha sabar ya, udah ada sih. cuma lagi nyusun kata-katanya aja.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus