Rabu, 12 September 2012

Sangkar Peri


Aku jatuh cinta. 
Jatuh cinta pada seorang gadis yang kutemui di pinggir desa. Awalnya aku hanya sedang berjalan di sekitar sana, mencari inspirasi untuk lukisanku. Aku seorang pelukis dari kota yang memutuskan untuk datang ke desa terpencil dengan lingkungan dan udara yang masih bersih. Kota yang terlalu penat membuat inspirasiku tertahan, seolah menolak keluar untuk direalisasikan ke dalam bentuk lukisan.

Tentang gadis ini, pertama kali melihatnya membuatku jatuh cinta. Sosoknya begitu rupawan, anggun, dan—berkilau. Ketika rambutnya yang keperakan dibelai oleh kelembutan angin, aku seolah mendengar suara dari rerumputan di padang rumput yang sedang tertiup oleh angin musim panas. Dan ketika mata kami bertemu, entah bagaimana iris biru cerah itu seolah menghipnotisku dan melumpuhkan panca indraku. Aku tahu, saat itu aku sudah takluk padanya.

Setiap hari aku selalu datang ke tempat itu, tempat di mana pertama kali kami bertemu, karena hanya di tempat itu aku bisa melihatnya. Gadis itu bukan dari desa tempatku tinggal, aku sudah bertanya pada penduduk, dan tidak ada satupun yang mengenalnya. Sepertinya gadis itu berasal dari desa tetangga. Beruntung, setiap aku datang gadis itu selalu berada di sana. Dan kami jadi dekat. Gadis itu bernama Shasha

Kami sedang duduk di bawah pohon, memandangi rerumputan di hadapan kami. Aku menoleh padanya, menatap wajahnya yang selalu membuatku terbuai. “Bolehkah aku meminta sesuatu padamu? “

Ia menoleh, menatapku penasaran. “Tentu.” Suaranya—aku selalu senang mendengar suara jernihnya, seperti mendengar petikan harpa yang merdu.

“I-Izinkan aku melukismu.”

Ia mengalihkan pandangan matanya sejenak, tampak ragu untuk menjawab.

“Kumohon.” Aku harus melukisnya. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan apapun.

“Baiklah.” Putusnya membuat senyum menggantung di wajahku.

Kuputuskan untuk membawanya ke rumah karena aku tidak membawa alat lukis. Aku membawanya pada satu ruangan yang cukup luas di dalam rumah. Satu ruangan khusus yang kugunakan untuk melukis dan menaruh semua hasil lukisan yang dominan dengan lukisan pemandangan dan beberapa lukisan abtrak, dan alat-alat lukis. Ada beberapa kanvas yang hanya dipenuhi sketsa buram dan kubiarkan begitu saja.

“Apa kau yang melukis semuanya?” Shasha menatap tertarik pada lukisan-lukisan pemandanagn yang ku tata rapi di dinding ruangan.

“Ya. Bagaimana menurutmu?” Jawabku sambil menatap alat lukisku, menaruh kanvas di penyangga, dan mempersiapkan cat minyak yang akan kugunakan.

“Aku baru pertama kali melihat lukisan. Ternyata sangat indah.”

Aku tersenyum dan meliriknya, masih berkutat dengan cat minyak. Tersanjung dengan pujian yang diberikannya, meski aku sudah sering mendengar kata itu. “Terima kasih.”

Berikutnya aku menuntunya, menyuruhnya untuk berdiri bersandar pada dinding tepat di samping jendela dan menatap apapun di arah kanan dengan tangan yang bertautan di depan. Siluet matahari yang menembus jendela ruangan membuat warna langit di matanya dan juga rambut keperakannya tampak berkilau. Sangat cantik.

Aku mulai menggoreskan pensil di atas kanvas, membuat sketsa buram terlebih dahulu. Setelah selesai dengan sketsa, aku mulai melukisnya. Entah bagaimana setiap coretan minyak yang kutorehkan, sosoknya terlihat semakin cantik sekaligus indah di mataku. Jantungku terasa berpacu dengan cepat. Aku jadi tidak yakin apakah lukisan ini akan lebih indah dari aslinya ketika lukisan ini telah selesai.

Lukisan ini akan jadi, sebentar lagi. Ya, sebentar lagi akan berakhir dan gadis itu akan pergi. Aku menggenggam erat kuas yang hampir menyentuh kanvas. Pikiranku menjadi kalut. Jika aku menyelesaikan lukisan ini, tidak akan ada lagi yang kesempatan kedua untukku. Aku ingin memilikinya.

“Sepertinya harus selesai sampai sini.” Ujarku, menarik kuasku dan meletakkannya.

“Apa lukisannya sudah selesai?” tanyanya, lalu menghampiri lukisan dirinya yang kubuat. Matanya menatap kagum.

“Belum. Aku kehabisan cat. Dan aku harus membelinya ke kota.” Jawabku, bohong. Sejujurnya, masih ada cukup untuk membuat dua lukisan.

“Kalau begitu sudah saatnya aku pulang.”

Belum sempat Shasha beranjak, aku segera menahan tangannya. “Tinggalah sampai lukisan ini selesai.”

Aku bisa melihat wajahnya yang terkejut. “Maaf, tapi aku tidak bisa.”

‘Tidak bisa’. Dua kata itu yang kutakutkan keluar dari mulutnya. “Kumohon, tinggalah sampai lukisan ini selesai.”

“Ta-Tapi—“ Shasha berusaha menarik tangannya yang kugenggam erat, tidak berniat untuk kulepaskan.

“Kumohon, kumohon. Hanya sampai lukisan ini selesai.” Aku berlutut di depannya, meyakinkannya. Mungkin aku terlihat sangat bodoh, membuang harga diriku dengan berlutut di depannya. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak ingin membiarkannya pergi. Aku ingin memilikinya, untuk diriku sendiri.

Shasha terlihat ragu dan takut. Aku mempererat genggaman tanganku, aku ingin benar-benar meyakinkannya. Dan kemudian senyum lebar menggantung di bibirkku ketika melihat gadis itu mengangguk, setuju. Aku tidak menyadari bahwa keegoisanku ini nantinya akan membawa kehancuran sekaligus penyesalan besar dalam hidupku.

~~~~~~~~~~

Empat hari berlalu sejak aku ‘memiliki’nya. Bagaikan berlian murni, bagaikan kaca tipis yang rapuh, aku menjaganya dengan sangat hati-hati. Sangat berhati-hati. Aku ‘menempatkan’nya di satu kamar, tepat di samping kamarku. Aku mengunci jendela kamar, melarangnya untuk menginjakkan kaki selain di luar kamar, bahkan aku menguncinya. Bagaikan terkurung di dalam sangkar. Aku sadar aku begitu posesif, tapi aku tidak peduli selama aku bisa memilikinya untuk diriku sendiri.

“Bukankah cahaya sore sangat indah, Shasha?” Seperti biasa, aku mengunjunginya ketika aku telah menyelesaikan lukisan, meski tidak benar-benar selesai. Aku terlalu terfokus pada dirinya. Sosoknya menghantuiku setiap waktu, setiap detik dan menit.

Shasha yang sedang menatap langit dari jendela, seperti biasa, menoleh dan tersenyum ketika mendengar suaraku. “Ya, sangat indah. Langit juga sangat cerah.” Gadis itu kembali menatap keluar jendela.

Aku mendekatinya, dan meraih satu tangannya yang bebas. Gadis itu menoleh, menatapku dan tersenyum. Aku tidak mengerti dengan apa yang dipikirkannya. Dikurung di tempat sebuah kamar selama beberapa hari, oleh seorang pemuda yang hanya dikenalnya dalam seminggu. Tapi tidak ada ketakutan ataupun penyesalan ketika aku menatap mata birunya yang cerah. Terkadang aku berharap dapat membaca pikirannya hanya dengan menyentuhnya.

“Bagaimana dengan lukisan? Dan cat?” Shasha menatap ke mataku. Aku segera mengalihkan panandanganku ke luar jendela, menatap kosong. “Aku—“

“Bukankah sangat menyenangkan jika kita bisa berlari di atas rumput seperti dulu, David?” Gadis itu menatap kembali ke luar jendela, ke apapun yang tidak dipandangi olehku. Aku menggenggam tangannya lebih erat, yang dapat diartikan “Tidak” olehnya.

Tujuh hari berlalu, aku sudah menyimpannya selama seminggu. Tentu ada perubahan pada diri Shasha selama kusimpan di dalam kamar. Tetap tidak terlihat ketakutan ataupun penyesalan dari tatapan matanya, tapi kini yang terlihat adalah tatapan sendu. Dia tidak pernah menunjukkannya ketika sedang menatapku, tapi aku bisa melihatnya dengan jelas ketika tatapan itu berpaling.

Aku selalu mengelak dan berbohong ketika gadis itu menanyakan hal yang sama, “lukisan” dan “cat”.  Aku tahu dia ingin terlepas dari kurungan ini. Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak ingin dia pergi dariku.

Tapi, akhir-akhir ini berbeda. Setiap malam aku selalu mendengar suara bisikan dari dalam kamarnya. Awalnya kupikir dia hanya sedang berbicara pada dirinya sendiri, ketika aku menengoknya, tidak ada siapapun. Tapi semakin hari suara itu semakin keras saja. Dengan jelas aku bisa mendengar itu suara milik orang lain.

Malam itu, mendekati pergantian malam, aku memergokinya. Seseorang bertudung hitam yang sedang berdiri di hadapan Shasha—yang juga sedang berdiri di samping tempat tidur. Bagaimana dia bisa masuk? Aku selalu mengunci kamar Shasha, dan memastikan jendela tidak bisa terbuka. Dan yang terpenting, “Siapa kau?” Teriakku.

Keduanya menatapku, Shasha menatapku terkejut. Tanpa berpikir panjang, aku segera meraih vas bunga di meja dan melemparkannya ke sosok bertudung itu. Sosok itu bergerak cepat, menghindari vas yang kulempar sehingga menghantam tembok dan pecah berkeping-keping. Sementara Shasha yang terkejut, jatuh terduduk di tempat tidur ketika menghindari lemparanku.

Tidak ada benda lain yang bisa kulempar, aku segera menerjangnya dengan tubuhku. Tapi sekali lagi sosok misterius itu bergerak lebih cepat. Sangat cepat, bahkan aku tidak bisa melihatnya ketika menghindari terjanganku. Dan sedetik kemudian aku sudah  tertahan di tembok, dengan kedua tangan di punggung. Aku mengerang. Kedua tanganku dicengkeram oleh satu tangan, sementara tangan lainnya mencengkeram leherku dari belakang. Aku bisa merasakan kuku-kukunya yang akan merobek kulitku jika cengeraman itu diperkuat.

“Eol, hentikan! Jangan lakukan ini. Kumohon.” Aku bisa suara Shasha yang lirih.

Dan saat itu juga cengkeraman di leher dan kedua tanganku mengendur. Aku segera mengambil kesempatan ini, ketika sosok mesterius itu lengah. Aku segera berbalik dan menerjangnya dengan kuat. Sosok misterius itu mengerang dan terdorong beberapa langkah. Dan saat itu pula tudungnya turun dari kepalanya. Aku bisa melihat dengan jelas wajahnya. Meski penerangan yang terbatas, aku bisa tahu dengan pasti rambutnya yang keperakan dan mata biru yang cerah. Aku seperti melihat Shasha, tapi dengan rambut yang pendek, dan tatapan mata yang tajam dan berkilat.

“Eol, pergi!” perintah Shasha pada sosok misterius yang bernama Eol.

Eol berdecak kesal, lalu memakai tudungnya, tapi aku masih bisa melihat dengan jelas tatapannya yang berkilat kepadaku. “Aku akan membunuhmu, suatu hari, dan secepatnya.”

“Eol!”

Kemudian sosok itu perlahan berubah menjadi asap kelabu dan menghilang, setelah terdengar dentinagn lonceng kecil. Yang bisa kulakukan hanya terpaku, berusaha tidak percaya pada apa yang telah kulihat di hadapanku. Sesosok misterius yang berhasil masuk ke dalam ruangan terkunci secara misterius, dan berusaha membunuhku. Sosok misterius yang dapat berubah menjadi asap, dan menghilang. Dan, dia mengenal Shasha. Aku menoleh, menatap Shasha yang tertunduk.

“Shasha, jelaskan padaku, apa sebenarnya yang terjadi!”

7 komentar:

  1. Balasan
    1. Lanjutannya lagi disusun.
      nyari alur yang pas.

      Hapus
    2. woww...

      penasaran dengan lanjutannya...

      Hapus
  2. bagus sih,,tp mana mh lanjutanx, sudah hampirmh 1/2 tahun,,hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha sabar ya, udah ada sih. cuma lagi nyusun kata-katanya aja.

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus