Kali ini saya buat cerita klise, yang, sepertinya, ceritanya mudah untuk ditebak.
Please Enjoy~
##################
"Kembalikan!" Teriak gadis
berambut hitam itu. Air matanya mulai menggenang. Kedua tangannya yang kecil
berusaha meraih teddy bear kesayangannya yang direbut oleh anak lain yang lebih
tua darinya. Sementara dua anak, satu bertopi dan yang satu berjaket hitam,
yang merebut teddy bearnya itu tertawa mengejek, melihat gadis tujuh tahun yang
terus meloncat berusaha menggapai teddy bear yang direbutnya. Dan keduanya
tertawa semakin keras ketika air mata gadis kecil itu tumpah.
"Dasar ceng—“
Belum selesai bocah bertopi itu mengejek,
satu pukulan mengenai pipinya, membuatnya tersungkur, dan teddy bear coklat yang
dipegangnya terlepas. Sementara bocah berjaket hitam terkaget dan meneriakkan
nama bocah bertopi.
“Jangan mengganggu Misa-chan!” Bocah
laki-laki berambut hitam, yang memukul bocah bertopi itu, berteriak kesal.
Kedua tangannya terkepal erat. Dan sedetik kemudian bocah itu kembali menerjang
bocah bertopi. Tidak tinggal diam, bocah berjaket ikut ke dalam pergemulan,
berusaha menolong temannya. Sementara gadis mungil berambut hitam itu terduduk,
berteriak dan menangis semakin keras.
Lima menit, gadis bernama Misa-chan itu
masih menangis, kini terisak. “Ta-chan—“ isaknya. Kedua bocah yang
mengganggunya sudah pergi. Bocah berambut hitam yang menolongnya terbaring
tidak jauh darinya dengan napas tersengal.
Ta-chan, bocah berambut hitam itu berdiri
perlahan. Dia meringis, merasakan sakit pada pipi, perut, dan tangannya.
Tertatih, berjalan menghampiri boneka beruang yang tidak terlalu jauh darinya.
Kemudian menghampiri Misa-chan yang masih terisak.
“Jangan menangis, Misa-chan. Teddy bearnya
sudah Ta-chan rebut.”
Gadis itu masih terisak. “Tapi Ta-chan,
tapi…” Dia tidak dapat melanjutkan ucapannya dan kembali terisak. Dirasakannya
kepalanya ditepuk pelan beberapa kali, dan isakannya perlahan mereda.
“Tidak apa. Mereka sudah Ta-chan usir.”
Gadis itu mendongak, melihat bocah
berambut hitam yang seumuran dengannya tersenyum lebar. Tampak jejak merah di
pipi bocah itu, dapat diduga esok akan berubah menjadi biru. “Tapi, Ta-chan
terluka.” Dan gadis itu hampir terisak lagi.
“Aku kan laki-laki. Wajar kalau terluka.” Ujar
bocah laki-laki itu, menepuk dadanya dengan bangga. “Nanti Ta-chan akan lebih
kuat untuk melindungi Misa-chan.”
“Sungguh?”
“Tentu”
“Janji?”
“Janji” Bocah berambut hitam itu
mengangkat kelingkingnya, menautkannya dengan kelingking gadis itu. “Yang
melanggar janji akan menelan seribu paku.” Dan gadis itu tersenyum senang.
Ta-chan memberikan boneka teddy bear yang
tadi masih digenggamnya. Tapi gadis itu menggeleng, menolak. “Kuberikan untuk
Ta-chan.” Bocah laki-laki itu tersenyum, dan menggenggam erat boneka teddy
bear, tidak ingin boneka itu lepas dari genggamannya.
“Ayo pulang.” Ta-chan menawarkan
tangannya. Gadis itu berdiri perlahan, menggenggam erat tangan bocah laki-laki
seumuran dengannya. Keduanya tersenyum.
####################
“Mimpi?”
Entah bagaimana, akhir-akhir ini gadis itu
memimpikan hal yang sama, hal yang tidak ingin diingatnya, sedetikpun tidak. Matanya
melirik malas ke arah jam weker di mejanya. Tidak terlalu pagi untuk bangun.
Diputuskannya untuk bagkit dari tempat tidur dan segera mencuci wajah dan
membasuh tubuhnya.
Misaki, namanya, menatap dirinya yang
terpantul jelas di cermin. Pakaian sekolah sudah diekanakannya. Tangannya masih
sibuk mengikat rambut hitamnya yang panjang dengan gaya ekor kuda. Kemudian dia
membingkai matanya dengan kacamata. Dia sudah siap untuk berangkat ke sekolah.
“Aku pergi, ayah.” Teriaknya di ambang
pintu, dibalas dengan sahutan dari dalam.
Saat kakinya melewati pagar rumah, matanya
tidak sengaja bertemu dengan seorang pemuda berambut coklat. Entah kenapa,
gadis ini menyesal sudah bangun terlalu pagi. “Pagi.” Sapanya, basa-basi,
dibalas dengan sapaan yang sama oleh pemuda itu.
Dan kemudian suasana menjadi hening, tidak
ada satupun suara terdengar dari mulut keduanya. Hanya suara langkah kaki
mereka. Terkadang Misaki memperlambat langkahnya, setidaknya memberi jarak dari
pemuda di depannya. Dia tidak ingin terlalu dekat dengannya, sedetik pun tidak.
"Misaki."
Misaki terkejut, menghentikan langkahnya ketika mendengar suara berat terdengar dari pemuda berambut coklat yang berjalan di depannya. Gadis itu hanya diam, tidak ingin berbicara satu katapun. Pemuda itu sedikit menoleh, melirik Misaki dari sudut matanya. Misaki tahu pemuda itu melihatnya, dengan cepat mengalihkan wajahnya, seolah tembok di sampingnya jauh lebih enak dipandang. Sungguh, dia tidak ingin melihat pemuda itu saat ini, atau kapanpun.
Melihat respon Misaki yang seolah menolak keberadaannya, pemuda itu menghela napas, lalu kembali berjalan. Dia sudah tidak peduli lagi, dan tidak mau menoleh lagi. Dia tidak ingin kekesalan merajai hatinya pagi ini. Menyesal pemuda itu memanggil gadis itu. Sementara si gadis menghela napas lega ketika melihat jaraknya sudah jauh dari pemuda itu. Andai saja dia tidak bermimpi seperti itu semalam, suasananya tidak akan seburuk ini. Yah, andai saja gadis itu tahu bahwa takdir tidak akan melepaskannya dari mimpi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar