Lanjutan dari Butterfly
Hope you enjoy.
Heart
"Aku akan mengikat kontrak dengannya, dan jangan pernah memanggilku!"
Ryube berbaring di kasurnya yang dirasanya tidak begitu nyaman saat ini. Matanya menatap tidak fokus pada langit-langit kamarnya. Di kepalanya terus berputar kejadian pagi tadi, yang terus mengganggunya. Bukan ucapan gadis itu yang mengganggunya, tapi air mata itu yang terus mengusik ketenangan pikirannya seharian, bahkan senja telah lewat.
Sangat jelas terpancar rasa sakit dari iris hijau itu, dan mengingatnya membuat dada Ryube terasa lebih panas dan sakit. Jauh lebih sakit ketimbang pukulan bocah kembar yang telah menghajarnya siang tadi. Ya, kedua bocah itu sudah menghajarnya hingga tidak berkutik saat Ryube mencoba memanggil Ai. Bukannya gadis pemilik sayap hijau yang muncul, tapi dua bocah kembar bersurai pirang yang langsung memukul sekuat tenaga pada perut dan wajahnya berkali-kali, tidak lupa dengan tendangan, yang jika tidak berhasil dihindarinya, dapat mematahkan tulang pahanya.
"Ryu-chan jahat!" kedua bocah itu berteriak. Dan sekali lagi menghantamkan pukulan mereka bersamaan tepat di perut Ryube, membuatnya dapat mengeluarkan takoyaki yang sudah dimakannya pagi tadi. Kedua bocah bertenaga gorila itu menghilang setelah mengejeknya.
Ryube menyentuh perutnya, masih terasa sedikit nyeri. Benar-benar, pukulan kedua bocah itu memberikan rasa bersalah yang besar padanya. Ryube sudah menganggap kedua bocah itu sebagai adiknya sendiri, dan begitupula sebaliknya. Menerima kemarahan mereka, itu artinya Ryube berada di posisi yang salah. Ryube menghela napas, tidak seharusnya kekesalan menguasainya. Ini bukan dirinya yang biasa. Dia tidak tau apa yang terjadi pada dirinya. Dia hanya secara spontan kesal dan mengucapkan kalimat yang tidak seharusnya. Dia hanya—
Ryube bangkit dan duduk di tepi tempat tidurnya, dan sedikit meringis saat nyeri di perut dan pipinya menyerangnya. Dia membuat segel darah di telapak tangannya, memanggil satu-satunya yang ingin ditemuinya saat ini. Saat kepulan asap itu muncul, Ryube harus sedikit waspada, jangan sampai kedua bocah kembar itu kembali muncul dan menghajarnya dan merenggut nyawanya. Tapi sepertinya Ryube bisa bernapas lega ketika matanya bertemu dengan sepasang sayap hijau yang menghadap padanya.
Hening. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari gadis yang di sampingnya, di tepi tempat tidurnya. Gadis itu lebih memilih menghadapkan sayapnya pada Ryube. Ryube sendiri berpikir bahwa ini tidak seperti yang seharusnya, dia jadi rindu pada ucapan jutek yang selalu menyambutnya setiap kali dia memanggil gadis itu. Sekali lagi tidak ada suara, gadis itu bahkan tidak mengepakkan sayap hijaunya, seperti yang biasa dilakukannya.
"Mengenai sore tadi—" Ryube memutuskan membuka suara. Jika dia lebih lama lagi, masalah ini tidak akan selesai. "—aku tidak bermaksud mengatakannya."
"Tapi kau mengatakannya."
Ryube menoleh, menatap punggung Ai. Senyum lega terukir di wajahnya. Setidaknya gadis itu sudah mau berbicara padanya. "Aku tidak bermaksud, sungguh." Ryube menunduk, rasa bersalah menumpuk di kepalanya. "Aku—minta maaf"
"Tidak apa." Ryube segera mengangkat wajahnya, kembali menatap lega punggung Ai, dan kemudian kelegaan itu sirna ketika gadis itu mengatakan "Kau bisa mengikat kontrak dengan yang lain selain aku. Kami bangsa Chou tidak sedikit."
Jelas dia dapat mendengar nada kekesalan dari ucapan gadis itu. Dia tahu gadis itu belum memaafkannya. "Aku tidak bisa"
"Kau bisa saja melakukannya, memindahkan kontrak sangat mudah."
Ryube segera meraih kedua bahu Ai, menghadapkan gadis itu padanya. "Aku tidak ingin melakukannya, dan tidak akan pernah melakukannya!".
Iris hijau itu menatapnya dalam diam, kemudian menunduk. Ryube bisa merasakan bahu gadis itu bergetar di tangannya. "Kau tahu, saat kau mengatakan untuk menyuruhku mengikat kontrak dengannya, aku benar-benar terkejut. Dan rasanya sangat menyakitkan. Aku tidak pernah menyangka kata itu keluar dari mulutmu."
"Aku minta maaf. Saat itu, aku, aku—" Ryube menelan ludahnya dengan susah payah, berusaha mengumpulkan keberaniannya. "—cemburu"
Bahu gadis itu berhenti bergetar, dan untuk kedua kalinya iris hijau itu menatapnya, mencoba mencari kebohongan yang mungkin saja bisa ditemukannya di iris ungu pria di hadapannya. Tapi gadis itu hanya menemukan keyakinan yang kuat, yang menegaskan perkataannya. Terlarut dalam keheningan, iris ungu itu semakin mendekat ke wajahnya. Dan dapat dirasakan olehnya, bibirnya yang menghangat. Iris hijaunya tertutup, sayapnya terkepak pelan, menikmati sentuhan pada bibirnya yang singkat dan lembut.
"Suki..." Suara yang berat terdengar di telinganya yang hampir tertutupi surai pirangnya. Satu kata sederhana yang menjelaskan semuanya, memberikan jawaban dan balasan pada perasaannya selama ini. Dan untuk kedua kalinya bibir keduanya bertemu. Kedua mata mereka terpejam, menikmati sentuhan kehangatan yang lembut dan—kali ini lebih lama.
Ryube mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan dengan cahaya matahari yang menembus jendela kamarnya. Tangannya meraba salah satu sisi tempat tidurnya yang kosong. Seingatnya sejak semalam dia masih memeluk seseorang. Tapi entah kemana gadis itu sekarang, kembali keduanya kah? Perasaan kecewa tergambar jelas di wajahnya.
Tok.. tok.. tok..
Suara ketukan pelan terdengar. Bukan dari pintu apartemennya. Suara itu terdengar dari dapur apartemennya. Ryube segera menyibakkan selimut yang menutupi separuh tubuhnya, dan segera bangkit dari duduknya. Diraihnya kaus yang tergeletak di lantai di samping tempat tidurnya, dan memakainya.
Ryube tersenyum menatap punggung tanpa sayap dari gadis pirang yang kini sedang sibuk memotong lobak. Pria itu berjalan mendekat dengan perlahan. Kedua tangannya memeluk pinggang gadis itu dari belakang, dan menyandarkan dagunya di bahu kanan Ai. "Apa yang sedang kau lakukan?"
Ai hampir saja menjatuhkan pisau ditangannya jika saja dia tidak menggenggam benda tajam itu erat. Sepasang tangan mengejutkannya, belum lagi suara berat yang tiba-tiba terdengar di telinganya, dan hembusan napas yang menggelitik lehernya. "Aku sedang memasak sarapan untukmu."
"Tumben kau mau memasak untukku." Ryube masih memeluk Ai, seolah tidak ingin gadis itu lepas darinya.
Ai tertawa pelan, dan kembali memotong lobak yang tadi tertunda. "Bagaimana perut dan pipimu? Apa masih sakit?"
Ryube bergumam, lebih memilih menenggelamkan wajahnya di surai pirang Ai. Menikmati wangi yang selalu sama, madu dan mawar. "Tidak. Terima kasih padamu." Ryube tersenyum dan mengecup rambut Ai dan menghirup aroma rambutnya. "Beritahu pada kedua bocah itu, untuk tidak menghajarku lagi. Aku tidak menyangka mereka mempunyai kekuatan seperti itu." ujar Ryube, melepas pelukannya.
Ai sedikit tidak rela ketika pelukan itu terlepas dari pinggannya. Padahal dia masih ingin menikmatinya. Kemudian tertawa geli saat mendengar penuturan Ryube tentang kedua adik kembarnya.
"Hei, Ai."
Ai menoleh, dan mendapatkan sensasi yang sama dengan sensasi yang dirasakannya semalam. Lembut, hangat, namun singkat. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan wajahnya yang merona dan terasa panas.
"Mengambil morning kiss ku. Kurasa aku akan selalu membutuhkannya sebelum sarapan." Dengan santainya Ryube berbalik, berjalan mendekati meja rendah yang satu-satunya berada di ruangan yang juga merangkap sebagai kamarnya. Seringai terukir diwajahnya. Tidak perlu berbalik untuk tahu bahwa wajah Ai kini merona merah.
############
Fly
Dua hari berlalu setelah perjanjian damai telah dilanggar oleh desa shinobi tetangga. Dan tidak dapat dielak lagi perang di antara kedua desa berkecamuk. Menyadari posisinya, demi melindungi desa, Ryube turut maju ke medan perang. Dengan kemampuan penyerangan yang tidak dapat diragukan, Ryube harus berdiri di garis depan, bersama shinobi lain yang menjadi ujung tombak penyerangan.
"Ugh!"
Ryube melirik dari sudut matanya. Salah satu temannya terkena serangan. Untuk menolong pun sulit, melihat dirinya sendiri yang cukup kewalahan melawan beberapa penyerang yang langsung menyerangnya sekaligus. Ini tidak bisa dianggap remeh. Tempat tim medis pun cukup jauh, mereka membutuhkan tim penengah, tapi semua tim kewalahan saat ini. Musuh menyergap dari berbagai arah, target mereka adalah tim penyerang tengah, yang akan memutuskan hubungan tim penyerang utama dengan tim medis. Tidak disangka desa mereka kalah dalam strategi.
"Terpaksa harus kulakukan."
Ryube menurunkan kedua senjatanya, memposisikan tubuhnya dengan berdiri tegap, tapi masih penuh wapada. Matanya menatap tajam pada tiga penyerang yang langsung menerjang bersamaan ke arahnya. Dan sedetik kemudian iris ungunya berganti iris kuning yang berkilat tajam. Ketiga musuhnya berhenti bergerak, ketiga pasang mata itu menatap tepat pada iris kuning yang menatap masuk ke dalam benak mereka. Dan kemudian terdengar rintihan, kesedihan, dan kesengsaraan yang memekik dari mulut mereka. Bukan, ini bukan Ryuujin. Ini hanya dirinya. Dia tidak ingin membebaskan Ryuujin saat ini demi menghindari pertarungan yang sia-sia.
"Nii! San!"
Ryube memanggil kedua bocah kembar yang langsung muncul di hadapannya dalam posisi siap tempur. Pisau kecil tergenggam erat di tangan mereka. Mereka tentu sudah tahu posisi mereka saat ini. "Bawa Kuroki-san ke tim medis segera!" perintahnya. Kedua bocah itu mengangguk, dengan gerakan yang jauh lebih cepat dibandingkan shinobi biasa, keduanya sudah berada di samping Kuroki, pria yang terkena serangan itu. Nii dan San segera membopong pria itu, membawanya berhati-hati tapi bergerak cepat. Ryube tidak perlu mengkhawatirkan kedua bocah kembar itu, karena mereka cukup kuat untuk melindungi diri.
Ryube kembali ke posisi siap tempurnya. Kali ini dia mengaktifkan mata kuningnya, melumpuhkan beberapa musuh dengan mimpi buruk mereka sendiri. Beberapa kali dia harus mengayunkan pedangnya, menebas beberapa musuh yang tidak dapat dijangkau dengan matanya. Atau menggunakan teknik raiton dengan penggabungkan teknik suiton dari rekam satu timnya untuk mempertahankan diri dari serangan berkelompok.
Ryube menatap medan pertemuran yang dipenuhi dengan korban peperangan. Beberapa di antaranya adalah rekannya sendiri. Kepalanya menengadah menatap langit, lalu menarik napas sedalam yang dia bisa, napasnya terengah-engah, rasa lelah hampir menggerogoti tubuhnya. Meski chakranya masih lebih banyak dibandingkan shinobi lainnya, tapi tidak dapat dipungkiri staminanya hampir diambang batas jika dia harus terus bertarung hanya dengan beberapa rekan saja yang juga tampak lelah. Jika perang ini berakhir, dia akan meminta cuti jangka panjang pada Raikage untuk berlibur, setidaknya dua bulan tanpa misi, atau lebih dari itu.
Kembali diedarkan matanya pada medan pertempuran. Ada yang aneh dan tidak seharusnya. Sepertinya ada yang salah dengan kondisi medan di tempat ini. Jumlah korbannya, dia harus bersyukur dari pihaknya tidak begitu banyak. Tapi dari pihak musuh sendiri, begitu aneh. Jumlah korbannya lebih sedikit dari yang diperkirakan. Shinobi yang bergerak di garis depan bahkan tidak separuh dari yang dilaporkan.
"Ryube-san!"
Ryube berbalik, seorang pembawa pesan menghampirinya. Terlihat terengah-engah dan panik. "Ini jebakan! Tim medis diserang dari sisi lain!"
Ryube membulatkan matanya, tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.Tentu ini menjelaskan semuanya. Jumlah penyerang di garis depan dan yang menembus untuk menyerang tim penengah hanya sedikit. Dan mereka menggunakan situasi dimana semua tim sibuk bertarung sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan tim medis. Jadi, tujuan mereka bukan tim penengah, tapi tim medis. Ini hanya pengecohan sehingga tim ketiga dari musuh dapat menyerang tim medis. Mereka ingin melumpuhkan tim medis untuk menghilangkan penyembuh dalam perang sehingga memudahkan untuk melumpuhkan tim lainnya. Sial!
Jika tim medis diserang—Ai!
"Aki-san, bawa sebagian tim dan bantu tim penengah! Yang lainnya, ikut denganku ke tim medis!" Perintahnya dengan suara lantang. "Sekarang!" Dan dalam satu perintah, seluruh penyerang di garis depan bergerak.
Sial, dia harus cepat. Pikirannya kalut, dipenuhi oleh gadis bersayap hijau itu. Andai saja desa tidak kekurangan tim medis, dia tidak akan memanggil gadis itu untuk membantu. Seandainya saja dia tidak menyetujui permintaan gadis itu.
Chouchou bunsin no jutsu
Satu serangan yang hampir mengenainya dihindarinya. Tubuhnya berhamburan menjadi ratusan kupu-kupu yang beterbangan menuju ketempat penyerang, mengurungnya dalam kegelapan. Ketika kupu-kupu itu pergi jauh, berkumpul kembali, menyisakan tubuh yang dipenuhi oleh darah. Dari ratusan kupu-kupu itu, menyatu kembali menjadi satu tubuh yang terus berlari menggunakan teknik yang mempercepat gerakan. Tunggu aku, Ai.
Kacau. Tenda tim medis tampak berantakan. Beberapa orang yang terluka mencoba menyerang, tim medis sendiri mencoba untuk melawan, meski mereka yakin tidak sanggup untuk menang. Dengan isyarat, Ryube memerintahkan timnya untuk bergerak membantu melindungi tim medis. Tidak jauh dari tempatnya, dilihatnya Nii dan San yang dikepung oleh 4 shinobi yang jauh lebih besar dari tubuhnya. Ryube yakin dia tidak perlu menolong kedua bocah kembar itu ketika dilihatnya kedua bocah itu membentuk segel yang sama, dan dalam hitungan detik, empat tubuh itu tumbang tidak berdaya.
"Nii, San. Di mana Ai?"
"Ryu-chan! Tolong Ai! Kami kehilangannya!"
Panik. Ryube mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Berusaha mencari sosok gadis pirang bersayap hijau di antara keributan yang memekikkan telinga. "Bantu yang lain, aku akan mencari Ai." perintahnya, dan kedua bocah itu untuk kedua kalinya bergerak dengan cepat. Sementara Ryube terus mengedarkan pandangannya, mencari ke segala arah dengan panik. Dia harus menemukan gadis itu segera. Dia tahu gadis itu tidak bisa melakukan pertarungan.
Di antara dentingan besi yang saling bertemu, di antara teknik ninjutsu yang saling beradu, dari jauh Ryube dapat melihat sayap hijau yang mengepak cepat. Gadis itu terkadang melompat dengan bantuan sayap hijaunya yang terus terkepak, berusaha menghindari sesuatu yang mencoba menyerangnya. Dan dapat dilihatnya sayap itu terkepak semakin cepat dan lebih cepat dari sebelumnya. Ini tanda bahaya bagi Ryube. Dengan teknik percepatan, Ryube segera menghampiri.
Ryube berhenti tepat dibelakang gadis pirang itu. Terlihat sayapnya yang mengepak semakin pelan dan pelan. Dan satu hal yang disadarinya saat itu, sayap hijau itu ternoda oleh warna yang tidak seharusnya, merah. Dapat dilihatnya dengan jelas sebuah pedang yang panjang dengan noda merah diujungnya menembus tubuh gadis itu. Kalut, Ryube segera memotong pedang itu dengan pedang petirnya, dan menebas si pemilik pedang tanpa ragu.
Ryube meraih tubuh yang hampir jatuh tersungkur ke dalam pelukannya. Gadis itu meringis ketika Ryube mencabut dengan perlahan dan berhati-hati potongan pedang yang masih tertancap di dada kiri gadis itu. Tubuh gadis itu bergetar, dan terengah. Napasnya tidak teratur, dan darah segar mengalir dari sudut bibir dan luka di dadanya, mengotori warna hijaunya yang indah.
"Ai, maaf." lirih Ryube.
"Aku akan segera membawakan tim medis untukmu. Bertahanlah, kumohon," Suara pria itu bergetar, begitupula tangannya yang berusaha menutupi luka di dada kiri gadis itu, berusaha menghentikan darah yang terus mengalir meski dia tahu itu sia-sia.
Ai dengan susah payah mengangkat tangannya, meraih pipi pemuda itu. Tangannya bergetar karena rasa takut dan sakit yang menyelimuti tubuh dan hatinya. Ryube menutup matanya ketika tangan itu menyentuh pipinya, tidak peduli dengan darah yang menodai wajahnya. Saat ia membuka kembali matanya, menampilkan iris ungunya, air matanya mengalir.
"Tidak... apa... Ryu..." Ai mencoba bersuara meski itu sulit baginya saat ini. Napasnya terasa sesak setiap dia mencoba untuk berbicara. "Aku... baik.baik saja..."
Tidak, Ryube tahu gadis itu tidak baik-baik saja. Napas gadis itu semakin tidak teratur. Gadis itu terkadang terbatuk, memuntahkan cairan merah yang dia tahu itu darah. Tangannya yang tadinya digunakannya untuk menutupi luka di dada Ai kini beralih menggenggam tangan Ai di pipinya, menggenggamnya dengan erat dan penuh kasih. Kini dapat terdengar suara isakan dari mulut pemuda itu.
Iris hijau itu tertutup pelan, gadis itu tersenyum meski sulit, dan gadis itu menampilkan iris hijaunya sekali lagi. "Ryu... kau tampak jelek kalau menangis." Gadis itu tersenyum dan tertawa pelan, meski sulit. Mendengarnya membuat isakan Ryube semakin menjadi, air matanya tidak berhenti mengalir, tangannya menggenggam tangan Ai semakin erat.
"Terima kasih untuks semuanya, Ryu. Terima kasih untuk mencintaiku." Sekali lagi iris hijau itu tertutup, dan senyum terukir di wajahnya. Kristal bening mengalir dari sudut matanya. "Aku selalu mencintaimu."
Perlahan, untuk terakhir kalinya gadis itu menarik napas, dan saat itu pula tubuh gadis itu menjadi ratusan kupu-kupu berawarna hijau, hitam, dan kuning. Terbang ke langit yang dipenuhi dengan awan kekacauan, teriakan dan dentingan logam yang bertemu. Ryube merengkuh udara kosong di kedua tangannya, memeluk tubuhnya dalam isakan tangis. Dan kemudian teriakan keputusasaan meluncur keluar dari mulutnya, merajai keributan di medan pertempuran itu.
Seiring dengan teriakannya, dia membiarkan dirinya terbawa ke dalam kegelapan, membebaskan sisi kelam dalam dirinya yang selama ini meronta untuk keluar. Tidak ada belas kasih yang akan terpancar dari iris kuningnya. Hanya emosi, nafsu membunuh, dan kemarahan yang akan menuntunnya untuk tetap hidup.
--------------------------------------------------oo
Setahun berlalu,
"Selamat pagi, Ai."
Ryube menancapkan kincir angin kecil berwarna hijau di samping nisan abu-abu. Kincir itu berputar pelan, lalu cepat ketika semilir angin berhembus. Ryube berjongkok, menatap pada kincir angin yang berputar, lalu pada batu nisa abu-abu dengan tulisan AI dan bercorak sayap kupu-kupu di kedua sisinya. Ini makam Ai, tapi tidak ada apapun di dalamnya. Hanya sebuah nisan, sebagai penghargaan sekaligus pengingat bahwa pernah ada kuchiyose bangsa Chou yang telah membantu dalam peperangan.
"Seperti biasa, Nii dan San selalu semangat. Kau tahu tidak? Lagi-lagi mereka menghajarku dan merusak dapurku." ujar Ryube, mengingat kejadian tadi pagi dan tertawa pelan. Ryube mengelus batu nisan itu pelan.
"Hari ini aku ada misi. Jadi aku akan kembali beberapa hari lagi. Tapi sebagai gantinya, aku akan membawakan lily putih untukmu. Itu kesukaanmu, bukan?" Ryube tersenyum lembut, dan kemudian mengecup batu nisan itu pelan. "Suki..."
Dua hari berlalu setelah perjanjian damai telah dilanggar oleh desa shinobi tetangga. Dan tidak dapat dielak lagi perang di antara kedua desa berkecamuk. Menyadari posisinya, demi melindungi desa, Ryube turut maju ke medan perang. Dengan kemampuan penyerangan yang tidak dapat diragukan, Ryube harus berdiri di garis depan, bersama shinobi lain yang menjadi ujung tombak penyerangan.
"Ugh!"
Ryube melirik dari sudut matanya. Salah satu temannya terkena serangan. Untuk menolong pun sulit, melihat dirinya sendiri yang cukup kewalahan melawan beberapa penyerang yang langsung menyerangnya sekaligus. Ini tidak bisa dianggap remeh. Tempat tim medis pun cukup jauh, mereka membutuhkan tim penengah, tapi semua tim kewalahan saat ini. Musuh menyergap dari berbagai arah, target mereka adalah tim penyerang tengah, yang akan memutuskan hubungan tim penyerang utama dengan tim medis. Tidak disangka desa mereka kalah dalam strategi.
"Terpaksa harus kulakukan."
Ryube menurunkan kedua senjatanya, memposisikan tubuhnya dengan berdiri tegap, tapi masih penuh wapada. Matanya menatap tajam pada tiga penyerang yang langsung menerjang bersamaan ke arahnya. Dan sedetik kemudian iris ungunya berganti iris kuning yang berkilat tajam. Ketiga musuhnya berhenti bergerak, ketiga pasang mata itu menatap tepat pada iris kuning yang menatap masuk ke dalam benak mereka. Dan kemudian terdengar rintihan, kesedihan, dan kesengsaraan yang memekik dari mulut mereka. Bukan, ini bukan Ryuujin. Ini hanya dirinya. Dia tidak ingin membebaskan Ryuujin saat ini demi menghindari pertarungan yang sia-sia.
"Nii! San!"
Ryube memanggil kedua bocah kembar yang langsung muncul di hadapannya dalam posisi siap tempur. Pisau kecil tergenggam erat di tangan mereka. Mereka tentu sudah tahu posisi mereka saat ini. "Bawa Kuroki-san ke tim medis segera!" perintahnya. Kedua bocah itu mengangguk, dengan gerakan yang jauh lebih cepat dibandingkan shinobi biasa, keduanya sudah berada di samping Kuroki, pria yang terkena serangan itu. Nii dan San segera membopong pria itu, membawanya berhati-hati tapi bergerak cepat. Ryube tidak perlu mengkhawatirkan kedua bocah kembar itu, karena mereka cukup kuat untuk melindungi diri.
Ryube kembali ke posisi siap tempurnya. Kali ini dia mengaktifkan mata kuningnya, melumpuhkan beberapa musuh dengan mimpi buruk mereka sendiri. Beberapa kali dia harus mengayunkan pedangnya, menebas beberapa musuh yang tidak dapat dijangkau dengan matanya. Atau menggunakan teknik raiton dengan penggabungkan teknik suiton dari rekam satu timnya untuk mempertahankan diri dari serangan berkelompok.
Ryube menatap medan pertemuran yang dipenuhi dengan korban peperangan. Beberapa di antaranya adalah rekannya sendiri. Kepalanya menengadah menatap langit, lalu menarik napas sedalam yang dia bisa, napasnya terengah-engah, rasa lelah hampir menggerogoti tubuhnya. Meski chakranya masih lebih banyak dibandingkan shinobi lainnya, tapi tidak dapat dipungkiri staminanya hampir diambang batas jika dia harus terus bertarung hanya dengan beberapa rekan saja yang juga tampak lelah. Jika perang ini berakhir, dia akan meminta cuti jangka panjang pada Raikage untuk berlibur, setidaknya dua bulan tanpa misi, atau lebih dari itu.
Kembali diedarkan matanya pada medan pertempuran. Ada yang aneh dan tidak seharusnya. Sepertinya ada yang salah dengan kondisi medan di tempat ini. Jumlah korbannya, dia harus bersyukur dari pihaknya tidak begitu banyak. Tapi dari pihak musuh sendiri, begitu aneh. Jumlah korbannya lebih sedikit dari yang diperkirakan. Shinobi yang bergerak di garis depan bahkan tidak separuh dari yang dilaporkan.
"Ryube-san!"
Ryube berbalik, seorang pembawa pesan menghampirinya. Terlihat terengah-engah dan panik. "Ini jebakan! Tim medis diserang dari sisi lain!"
Ryube membulatkan matanya, tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.Tentu ini menjelaskan semuanya. Jumlah penyerang di garis depan dan yang menembus untuk menyerang tim penengah hanya sedikit. Dan mereka menggunakan situasi dimana semua tim sibuk bertarung sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan tim medis. Jadi, tujuan mereka bukan tim penengah, tapi tim medis. Ini hanya pengecohan sehingga tim ketiga dari musuh dapat menyerang tim medis. Mereka ingin melumpuhkan tim medis untuk menghilangkan penyembuh dalam perang sehingga memudahkan untuk melumpuhkan tim lainnya. Sial!
Jika tim medis diserang—Ai!
"Aki-san, bawa sebagian tim dan bantu tim penengah! Yang lainnya, ikut denganku ke tim medis!" Perintahnya dengan suara lantang. "Sekarang!" Dan dalam satu perintah, seluruh penyerang di garis depan bergerak.
Sial, dia harus cepat. Pikirannya kalut, dipenuhi oleh gadis bersayap hijau itu. Andai saja desa tidak kekurangan tim medis, dia tidak akan memanggil gadis itu untuk membantu. Seandainya saja dia tidak menyetujui permintaan gadis itu.
Chouchou bunsin no jutsu
Satu serangan yang hampir mengenainya dihindarinya. Tubuhnya berhamburan menjadi ratusan kupu-kupu yang beterbangan menuju ketempat penyerang, mengurungnya dalam kegelapan. Ketika kupu-kupu itu pergi jauh, berkumpul kembali, menyisakan tubuh yang dipenuhi oleh darah. Dari ratusan kupu-kupu itu, menyatu kembali menjadi satu tubuh yang terus berlari menggunakan teknik yang mempercepat gerakan. Tunggu aku, Ai.
Kacau. Tenda tim medis tampak berantakan. Beberapa orang yang terluka mencoba menyerang, tim medis sendiri mencoba untuk melawan, meski mereka yakin tidak sanggup untuk menang. Dengan isyarat, Ryube memerintahkan timnya untuk bergerak membantu melindungi tim medis. Tidak jauh dari tempatnya, dilihatnya Nii dan San yang dikepung oleh 4 shinobi yang jauh lebih besar dari tubuhnya. Ryube yakin dia tidak perlu menolong kedua bocah kembar itu ketika dilihatnya kedua bocah itu membentuk segel yang sama, dan dalam hitungan detik, empat tubuh itu tumbang tidak berdaya.
"Nii, San. Di mana Ai?"
"Ryu-chan! Tolong Ai! Kami kehilangannya!"
Panik. Ryube mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Berusaha mencari sosok gadis pirang bersayap hijau di antara keributan yang memekikkan telinga. "Bantu yang lain, aku akan mencari Ai." perintahnya, dan kedua bocah itu untuk kedua kalinya bergerak dengan cepat. Sementara Ryube terus mengedarkan pandangannya, mencari ke segala arah dengan panik. Dia harus menemukan gadis itu segera. Dia tahu gadis itu tidak bisa melakukan pertarungan.
Di antara dentingan besi yang saling bertemu, di antara teknik ninjutsu yang saling beradu, dari jauh Ryube dapat melihat sayap hijau yang mengepak cepat. Gadis itu terkadang melompat dengan bantuan sayap hijaunya yang terus terkepak, berusaha menghindari sesuatu yang mencoba menyerangnya. Dan dapat dilihatnya sayap itu terkepak semakin cepat dan lebih cepat dari sebelumnya. Ini tanda bahaya bagi Ryube. Dengan teknik percepatan, Ryube segera menghampiri.
Ryube berhenti tepat dibelakang gadis pirang itu. Terlihat sayapnya yang mengepak semakin pelan dan pelan. Dan satu hal yang disadarinya saat itu, sayap hijau itu ternoda oleh warna yang tidak seharusnya, merah. Dapat dilihatnya dengan jelas sebuah pedang yang panjang dengan noda merah diujungnya menembus tubuh gadis itu. Kalut, Ryube segera memotong pedang itu dengan pedang petirnya, dan menebas si pemilik pedang tanpa ragu.
Ryube meraih tubuh yang hampir jatuh tersungkur ke dalam pelukannya. Gadis itu meringis ketika Ryube mencabut dengan perlahan dan berhati-hati potongan pedang yang masih tertancap di dada kiri gadis itu. Tubuh gadis itu bergetar, dan terengah. Napasnya tidak teratur, dan darah segar mengalir dari sudut bibir dan luka di dadanya, mengotori warna hijaunya yang indah.
"Ai, maaf." lirih Ryube.
"Aku akan segera membawakan tim medis untukmu. Bertahanlah, kumohon," Suara pria itu bergetar, begitupula tangannya yang berusaha menutupi luka di dada kiri gadis itu, berusaha menghentikan darah yang terus mengalir meski dia tahu itu sia-sia.
Ai dengan susah payah mengangkat tangannya, meraih pipi pemuda itu. Tangannya bergetar karena rasa takut dan sakit yang menyelimuti tubuh dan hatinya. Ryube menutup matanya ketika tangan itu menyentuh pipinya, tidak peduli dengan darah yang menodai wajahnya. Saat ia membuka kembali matanya, menampilkan iris ungunya, air matanya mengalir.
"Tidak... apa... Ryu..." Ai mencoba bersuara meski itu sulit baginya saat ini. Napasnya terasa sesak setiap dia mencoba untuk berbicara. "Aku... baik.baik saja..."
Tidak, Ryube tahu gadis itu tidak baik-baik saja. Napas gadis itu semakin tidak teratur. Gadis itu terkadang terbatuk, memuntahkan cairan merah yang dia tahu itu darah. Tangannya yang tadinya digunakannya untuk menutupi luka di dada Ai kini beralih menggenggam tangan Ai di pipinya, menggenggamnya dengan erat dan penuh kasih. Kini dapat terdengar suara isakan dari mulut pemuda itu.
Iris hijau itu tertutup pelan, gadis itu tersenyum meski sulit, dan gadis itu menampilkan iris hijaunya sekali lagi. "Ryu... kau tampak jelek kalau menangis." Gadis itu tersenyum dan tertawa pelan, meski sulit. Mendengarnya membuat isakan Ryube semakin menjadi, air matanya tidak berhenti mengalir, tangannya menggenggam tangan Ai semakin erat.
"Terima kasih untuks semuanya, Ryu. Terima kasih untuk mencintaiku." Sekali lagi iris hijau itu tertutup, dan senyum terukir di wajahnya. Kristal bening mengalir dari sudut matanya. "Aku selalu mencintaimu."
Perlahan, untuk terakhir kalinya gadis itu menarik napas, dan saat itu pula tubuh gadis itu menjadi ratusan kupu-kupu berawarna hijau, hitam, dan kuning. Terbang ke langit yang dipenuhi dengan awan kekacauan, teriakan dan dentingan logam yang bertemu. Ryube merengkuh udara kosong di kedua tangannya, memeluk tubuhnya dalam isakan tangis. Dan kemudian teriakan keputusasaan meluncur keluar dari mulutnya, merajai keributan di medan pertempuran itu.
Seiring dengan teriakannya, dia membiarkan dirinya terbawa ke dalam kegelapan, membebaskan sisi kelam dalam dirinya yang selama ini meronta untuk keluar. Tidak ada belas kasih yang akan terpancar dari iris kuningnya. Hanya emosi, nafsu membunuh, dan kemarahan yang akan menuntunnya untuk tetap hidup.
--------------------------------------------------oo
Setahun berlalu,
"Selamat pagi, Ai."
Ryube menancapkan kincir angin kecil berwarna hijau di samping nisan abu-abu. Kincir itu berputar pelan, lalu cepat ketika semilir angin berhembus. Ryube berjongkok, menatap pada kincir angin yang berputar, lalu pada batu nisa abu-abu dengan tulisan AI dan bercorak sayap kupu-kupu di kedua sisinya. Ini makam Ai, tapi tidak ada apapun di dalamnya. Hanya sebuah nisan, sebagai penghargaan sekaligus pengingat bahwa pernah ada kuchiyose bangsa Chou yang telah membantu dalam peperangan.
"Seperti biasa, Nii dan San selalu semangat. Kau tahu tidak? Lagi-lagi mereka menghajarku dan merusak dapurku." ujar Ryube, mengingat kejadian tadi pagi dan tertawa pelan. Ryube mengelus batu nisan itu pelan.
"Hari ini aku ada misi. Jadi aku akan kembali beberapa hari lagi. Tapi sebagai gantinya, aku akan membawakan lily putih untukmu. Itu kesukaanmu, bukan?" Ryube tersenyum lembut, dan kemudian mengecup batu nisan itu pelan. "Suki..."
FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar