Minggu, 29 Januari 2012

Air Mata Terakhir

Genre: Romance, Friendship
Rate: K+
Cast: Sora x Misa
Lagi-lagi ini fanfiction untuk Naruto-Indo

Itulah air mata terakhir untuknya



Air Mata Terakhir


“Misa!”

Aku berhenti berjalan lalu berbalik, dan melihat seorang wanita seumuran denganku berlari menghampiriku. Wanita itu berhenti, menarik napas panjang untuk memenuhi paru-parunya dengan oksigen. Napasnya memburu dan perlahan menjadi normal. Aku berbalik, dan kembali berjalan. Wanita itu berjalan di sampingku, mengikuti langkahku.

“Kemarin apa kau bersama sora?” tanyanya lalu menarik napas panjang. Napasnya masih belum teratur.

Aku menoleh, menatapnya bingung. “Tidak.” Jawabku singkat.

Wanita itu tampak bingung. Raut wajahnya berubah menjadi seperti sedang berpikir. Mata wanita itu menatap lurus ke depan, menatap ujung koridor sekolah, meski tidak fokus.  “Lalu, yang kulihat kemarin siapa? Dia bersama seorang wanita di toko pakaian dan tampak mesra.”

Aku kembali menolehkan wajahku ke depan, dan mendesah pelan. Lagi-lagi pertanyaan seperti ini. Sudah berkali-kali aku mendengar yang seperti ini, dan selalu saja sama. Sora bersama gadis lain. Aku tidak habis pikir, apa mereka tidak pernah bosan memberikanku gosip murahan yang dilebih-lebihkan seperti itu? Aku saja yang berpacaran dengan Sora tidak pernah menanggapinya serius. Aku percaya padanya.

“Misa, kau tahu, kau seharusnya memutuskannya segera. Pria itu bejat dan tidak setia. Dia berani berselingkuh di belakangmu.” Ucapannya seperti sandiwara di acara tv. Membuatku ingin tertawa geli.

 Aku berhenti melangkah, ketika kami tepat berada di depan pintu kelas. Lalu menghadap pada wanita itu. “Krystal, dengar. Terima kasih sudah memberitahuku. Tapi, aku percaya pada Sora. Dia tidak mungkin seperti itu.” Ujarku. Aku ingin tertawa saat mengucapkannya, aku terlalu mendramatisirnya.

“Misa, percayalah. Sudah banyak saksi. Mereka melihatnya. Kau harus membuka matamu lebar-lebar.” Ujarnya lagi tampak serius. Kedua tangannya menyentuh bahuku.

Melihatnya tampak serius seperti itu membuatku benar-benar ingin tertawa keras sekarang, jika tidak melihat lokasi kami saat ini di depan kelas. Aku segera menggelengkan kepala, lalu melepaskan kedua tangannya dari bahuku.

“Maaf, tapi aku baru akan percaya jika aku melihatnya sendiri.” Ujarku, tersenyum. Lalu berbalik.

“Kau sudah melihatnya!”

Teriakan krystal menghentikan langkahku di ambang pintu kelas. Ucapan itu seperti rantai yang tertanam jauh di dalam tanah dan menjerat kakiku.

“Kau sudah melihatnya, Misa. Tapi kau tidak mau membuka matamu lebih lebar lagi.”

Aku tidak mau mendengar kebohongan ini. Kebohongan yang mereka ciptakan hanya untuk memisahkanku dengan Sora. Aku tidak mau. Aku segera menarik napasku dalam-dalam, mencoba membuat tubuhku menjadi lebih rileks. Dan tanpa sepatah kata pun aku kembali berjalan memasuki kelas. Tapi ucapan Krystal masih terngiang di kepalaku. Benarkah aku sudah melihatnya?

-----------------------

Aku menatap buku pelajaranku dengan enggan, pikiranku tidak focus untuk saat ini. Ucapan Krystal sejak tadi terus mempermainkan pikiranku, membuat kepalaku terasa sakit. Benarkah aku telah melihatnya sendiri? Tapi di mana? Aku tidak pernah mengingatnya. Mengingatnya hanya membuat kepalaku menjadi lebih sakit.

“Ugh!” Tiba-tiba nyeri menyerang kepalaku, memberikan rasa sakit yang hebat seolah dicengkram dengan kuat.

“Misa, kau tidak apa-apa?” Sensei (guru) menatapku heran, begitu pula dengan seluruh murid dalam kelas.

“Maaf, sensei. Saya harus ke ruang kesehatan sekarang. Kepala saya—“

“Ya, pergilah.”

Dengan cepat aku bergegas keluar kelas. Berlari di sepanjang koridor sekolah, berlomba dengan nyeri di kepalaku. Apakah aku akan mengalahkan nyeri ini atau nyeri yang mengalahkanku dan menjatuhkanku?

-----------------------------------

“Maaf, aku harus pergi.”

“Tidak, kumohon jangan pergi.” Dan kulihat sosok itu pergi jauh tanpa bisa kuraih. Aku sadar bahwa aku terikat oleh rantai yang tertanam dengan kuat jauh di dalam tanah. Dan kurasakan tetesan hangat mengalir dipipiku perlahan dan semakin deras.

-----------------------------------

Aku membuka mata tiba-tiba dan melihat langit-langit ruangan yang berwarna putih. Aku berada di ruang kesehatan sekarang, dan terbaring lemas. Aku ingat, aku berhasil mencapai ruang kesehatan sebelum aku terkapar pingsan di lantai. Aku bangkit dari pembaringan, dan merasakan kepalaku terasa pusing. Tapi nyeri itu sudah pergi.

“Misa, kau tidak apa-apa?”

Aku menoleh dan kulihat sosok pria berambut hitam model emo duduk di samping tempat tidurku memandangiku dengan khawatir. “Sora? Sejak kapan di situ?”

“Sejak tadi. Kudengar kau pingsan, dan aku segera berlari kemari.” Ujarnya tersenyum. Senyumannya selalu membatku merasa tenang.

“Kenapa kau bisa seperti ini?” tanyanya.

Aku menunduk, bingung. Aku tidak bisa mengatakan bahwa yang membuatku seperti ini karena gosip-gosip murahan itu. Aku kembali menatapnya, dan menggeleng pelan sambil tersenyum. Aku tidak ingin membuatnya khawatir.

“Kalau begitu beristirahatlah. Aku ingin kau segera pulih sebelum jam sekolah selesai.” Ujarnya sembali membaringkanku pelan, dan menyelimutiku dengan selimut putih yang tipis.

Dan kulihat dia berbalik. Tiba-tiba mimpi itu datang, mengingatkanku pada mimpi yang baru saja kualami. Spontan, aku menarik ujung seragamnya, menahannya untuk pergi. Sora berbalik, menatapku heran.

“Kumohon, jangan pergi. Aku—takut.” Jujur, ucapanku terlalu drama. Tapi, aku tidak bisa mengatakan hal lainnya.

Sora melepaskan tanganku dari seragamnya dengan pelan, lalu kembali duduk di samping tempat tidur. Sora mendekatkan wajahnya dan mengecup keningku pelan. Hangat.

“Tidurlah, aku akan menemanimu. Kau tidak perlu takut.”

Ucapannya membuatku menjadi lebih tenang. Gosip-gosip murahan itu kini sudah hilang dari kepalaku sekarang. Itu hanya gossip, aku yakin. Kenyataannya, Sora sangat mencintaiku. Lihat saja, kini dia menggenggam tanganku, membuatku menjadi lebih tenang. Aku segera menutup mataku, kurasa mimpi itu tidak akan datang di tidurku sekarang.

Aku membuka mataku pelan, sepertinya aku tertidur belum terlalu lama. Genggamanku terasa kosong. Sora tidak ada di sampingku. Ya, tentu saja. Dasar Misa bodoh. Sora kan harus belajar, jadi kurasa sekarang dia berada di kelas. Aku segera turun dari tempat tidur setelah memastikan bahwa kondisiku baik-baik saja sekarang, lalu berjalan keluar ruang kesehatan.

Aku baru saja hendak berbelok menuruni tangga untuk ke kelas, saat kudengar suara yang sangat familiar terdengar di telingaku. Aku berhenti, dan kudengar dua suara berbeda. Suara Sora dan satu suara yang halus. Siapa? Aku mengintip, mendapati dua sosok sejoli sedang duduk di tangga, membelakangiku. Meski membelakangiku, tapi aku kenal gaya rambut seperti itu, hanya gaya rambut Sora seorang. Keduanya tampak begitu dekat, begitu mesra. Suara mereka terdengar merdu-yang-dibuat-buat, memberikan kesan manja. Benarkah apa yang kulihat? Sora berselingkuh. Ini bohong kan? Aku tahu, ini hanya kebohongan. Aku yakin itu.

Dan saat melihat keduanya lagi, aku yakin ini bukan kebohongan.

Aku berlari, berlari di sepanjang koridor. Membiarkan napasku memburu. Membiarkan rasa nyeri di kepala menyerangku lagi. Kata-kata Krystal, “Kau sudah melihatnya!” terngiang di kepalaku, seolah bergema di sepanjang koridor. Ucapan kedua Krytal, “Tapi kau tidak mau membuka matamu lebih lebar lagi.” Juga terdengar seolah bergema di sepanjang koridor. Kedua kalimat itu terdengar secara bergantian, semakin cepat seolah saling mengejar. Dan kurasakan tetesan hangat mengalir di pipiku. Aku sadar, aku menangis.

Aku berbelok dan segera memasuki kamar mandi wanita. Kuraih westafel terdekat dan membasuhkan wajahku dengan air. Kubiarkan air itu menyatu dengan air mataku, aku tidak ingin melihat diriku menangis. Aku terlalu takut untuk sedih. Tapi tetap saja, melihat wajahku di cermin, wajah yang mudah diperbodohi ini membuat air mataku terus mengalir.

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, berusaha menahan tangisku agar tidak terisak. Aku tidak ingin siapapun mendengar tangisanku ini. Tangisan kebodohanku. Aku mengigit bibir bawahku, berusaha menahan suara yang keluar. Tapi sekeras apapun usahaku, sederas apapun darah yang mengalir dari bibirku, luka yang kutimbulkan karena kebodohanku, aku tetap saja tidak bisa menahan air mata dan isak tangisku. Hingga akhirnya aku tidak sanggup untuk berdiri, dan kubiarkan tubuhku yang lemas jatuh terduduk. Lalu menangis terisak.

Yang membuatku takut untuk menangis, aku akan kembali mengingat kejadian menyakitkan ini. Segala kejadian yang kucoba untuk lupakan. Benar kata Krystal, aku telah melihat perselingkuhan itu. Aku telah melihatnya berkali-kali. Tapi aku berusaha menyangkalnya karena aku terlalu mencintainya, hingga menimbunnya di bagian terdalam memoriku. Tapi, tangisan ini, tangisan ini membuat semua ingatan kebohongan itu terhempas keluar. Mengalir bersama tiap tetes air mata yang mengalir dari mataku.

Semua kebodohan yang seharusnya telah kulupakan itu beputar di kepalaku, memperlihatkan bagaimana orang yang kusayangi mempermainkanku tepat di depan mataku, melakukannya berkali-kali, di tempat berbeda, bersama wanita berbeda. Teringat tiap kali aku melihat kebodohan itu, aku akan menangis seperti ini hingga akhirnya tangisan itu reda bersama dengan tenggelamnya kebodohan itu di bagian terdalam memoriku. Tapi sekarang, aku bahkan tidak sanggup untuk meredakan tangisanku. Segala ingatan itu memberontak untuk keluar, dan memberikan rasa sakit yang teramat jelas tepat di hatiku.

“Misa?”

Aku membuka kedua tangan yang menghalangi wajahku dan menoleh, tapi pandanganku buram. Tapi aku kenal siapa pemilik suara itu. Krystal.

“Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa—“

Aku segera berdiri dan berlari memeluknya. Tangisanku semakin kencang, dan air mataku mengalir dengan derasnya. Aku memeluknya dengan erat, berusaha untuk memberitahukan padanya ketakutan dan betapa sakitnya hatiku. Kurasakan Krystal membalas pelukanku, dan membelai rambutku, membuatku menjadi lebih nyaman.

“Menangislah, tidak apa. Menangislah untuk dirimu sendiri.”

Ucapannya membuat hatiku menjadi lebih tenang. Aku melepas pelukanku, begitu pula dengan Krystal. Tatapannya begitu sendu, memperlihatkan kekhawatirannya kepadaku. Aku mengusap air mataku, dengan sedikit bantuan dari Krystal. Dan kemudian dia menggenggam kedua tanganku, memberikan kehangatan yang menentramkan.

“Jangan menangis. Jangan menangisi orang sebodoh itu.”

Aku tersenyum mendengar perkataannya. Orang bodoh? Ya, tepat sekali orang bodoh itu.

“Kau begitu baik dan penuh kasih. Orang seperti dia tidak pantas untuk memilikimu, tidak pantas untuk memiliki hatimu.” Ujarnya membuatku tersipu malu.

“Seperti itu, tersenyumlah. Seorang Misa tidak pantas untuk menangis. Kau lebih cocok untuk tersenyum, mengerti?” ujarnya sambil menyentuhkan kedua tangannya di pipiku.

Aku mengangguk pelan, dan kembali memeluknya. Ku bisikkan padanya “terima kasih, kau memang sahabat terbaikku.” Lalu menikmati pelukan hangat kami untuk beberapa saat. Lalu aku melepaskan pelukan kami, dan berkata “Kurasa aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang.” Dan Krystal mengangguk mantap.

------------------------------------

Nah, aku menemukan si bodoh itu tengah berada di samping tangga, bersama dengan seorang gadis yang sepertinya kali ini berbeda. Dasar playboy. Keduanya berpegang tangan, saling menautkan jari. Ada rasa sakit saat melihatnya, tapi ada juga rasa kesal. Keduanya bercampur menjadi satu, menjadi perasaan teramat aneh yang pernah kurasakan. Aku menarik napas.

“Ehem—!”

Keduanya menoleh, dan kulihat wajah Sora berubah menjadi sangat terkejut. Seperti ekspresi maling yang ketahuan mencuri. Ya, tidak jauh berbedalah antara dia dan maling. Dengan cepat Sora melepaskan tautan jari mereka, dan keduanya menjadi salah tingkah.

“Misa, bisa kujelaskan—“ ujarnya, berusaha mendekat dengan langkah pelan, seolah penuh kehati-hatian.

Aku mengangkat jari telunjukku, isyarat untuk menyuruhnya berhenti berbicara sekaligus berhenti bergerak. Aku memang tidak ingin mendengar apapun darinya. Tidak lagi, aku tidak butuh kebohongan. Sudah jelas semua sekarang. Apa yang kulihat selama ini, dan sekarang dia berusaha untuk menjelaskan, menjelaskan kebodohannya? Betapa bodohnya dia, membuatku ingin tertawa.

“Tidak apa, aku mengerti. Sangat mengerti.” Ujarku.

“Benarkah?”

“Ya, kita putus.” Singkat, padat, dan jelas. Kalau dia tidak mengerti, berarti dia orang yang sangat bodoh.

Sora tersentak. “Tapi—“

Aku tidak peduli ucapannya lagi, dan segera berbalik. Tiba-tiba satu tanganku ditarik oleh Sora. “Misa, dengarkan dulu penjelasanku.” Aku menoleh, melihat wajahnya, dan melihat tangannya yang menggenggam pergelangan tanganku. Kehangatan genggamannya selalu membuatku nyaman. Jujur, aku masih menyimpan rasa padanya, Sora adalah cinta pertamaku, dia yang memberikanku kasih yang jauh lebih banyak dari yang diperkirakan. Tapi dia juga memberikan rasa sakit yang sama banyaknya. Sudah cukup bagiku untuk memilikinya, biarkan kepingan-kepingan perasaan yang tersisa ini kutimbun di bagian terdalam hatiku. Aku tidak mau merasakan lagi sakit yang teramat sangat.

Aku melepaskan genggaman tangannya, dan menatapnya sambil tersenyum. Setidaknya aku tidak ingin perpisahan ini menjadi perpisahan yang buruk untuk ku dan dirinya. Betapa baiknya aku. “Aku mengerti. Tapi, sudah cukup Sora. Hubungan ini sudah berakhir.” Ujarku, tidak kusangka kalimat drama ada juga gunanya di saat seperti ini.  Dan kulihat tatapannya menjadi sendu.

“Selamat tinggal.” Ujarku,  kembali melemparkan senyuman termanisku untuknya, untuk terakhir kalinya. Aku segera berbalik, meninggalkan Sora yang terpaku melihat kepergianku. Kurasakan setetes air mata mengalir di kedua pipiku. Aku mengusap keduanya pelan.

Itulah air mata terakhir untuknya.

4 komentar: