Rate: K+
Cast: Sora x Misa
Lagi-lagi ini fanfiction untuk Naruto-Indo
Itulah air mata terakhir untuknya
Air Mata Terakhir
“Misa!”
Aku berhenti berjalan lalu
berbalik, dan melihat seorang wanita seumuran denganku berlari menghampiriku.
Wanita itu berhenti, menarik napas panjang untuk memenuhi paru-parunya dengan
oksigen. Napasnya memburu dan perlahan menjadi normal. Aku berbalik, dan
kembali berjalan. Wanita itu berjalan di sampingku, mengikuti langkahku.
“Kemarin apa kau bersama sora?”
tanyanya lalu menarik napas panjang. Napasnya masih belum teratur.
Aku menoleh, menatapnya bingung.
“Tidak.” Jawabku singkat.
Wanita itu tampak bingung. Raut
wajahnya berubah menjadi seperti sedang berpikir. Mata wanita itu menatap lurus
ke depan, menatap ujung koridor sekolah, meski tidak fokus. “Lalu, yang kulihat kemarin siapa? Dia
bersama seorang wanita di toko pakaian dan tampak mesra.”
Aku kembali menolehkan wajahku ke
depan, dan mendesah pelan. Lagi-lagi pertanyaan seperti ini. Sudah berkali-kali
aku mendengar yang seperti ini, dan selalu saja sama. Sora bersama gadis lain.
Aku tidak habis pikir, apa mereka tidak pernah bosan memberikanku gosip
murahan yang dilebih-lebihkan seperti itu? Aku saja yang berpacaran dengan Sora
tidak pernah menanggapinya serius. Aku percaya padanya.
“Misa, kau tahu, kau seharusnya
memutuskannya segera. Pria itu bejat dan tidak setia. Dia berani berselingkuh
di belakangmu.” Ucapannya seperti sandiwara di acara tv. Membuatku ingin
tertawa geli.
Aku berhenti melangkah, ketika kami tepat
berada di depan pintu kelas. Lalu menghadap pada wanita itu. “Krystal, dengar.
Terima kasih sudah memberitahuku. Tapi, aku percaya pada Sora. Dia tidak
mungkin seperti itu.” Ujarku. Aku ingin tertawa saat mengucapkannya, aku
terlalu mendramatisirnya.
“Misa, percayalah. Sudah banyak saksi. Mereka melihatnya. Kau harus membuka matamu lebar-lebar.” Ujarnya lagi tampak serius. Kedua tangannya menyentuh bahuku.
Melihatnya tampak serius seperti
itu membuatku benar-benar ingin tertawa keras sekarang, jika tidak melihat
lokasi kami saat ini di depan kelas. Aku segera menggelengkan kepala, lalu
melepaskan kedua tangannya dari bahuku.
“Maaf, tapi aku baru akan percaya
jika aku melihatnya sendiri.” Ujarku, tersenyum. Lalu berbalik.
“Kau sudah melihatnya!”
Teriakan krystal menghentikan
langkahku di ambang pintu kelas. Ucapan itu seperti rantai yang tertanam jauh
di dalam tanah dan menjerat kakiku.
“Kau sudah melihatnya, Misa. Tapi
kau tidak mau membuka matamu lebih lebar lagi.”
Aku tidak mau mendengar
kebohongan ini. Kebohongan yang mereka ciptakan hanya untuk memisahkanku dengan
Sora. Aku tidak mau. Aku segera menarik napasku dalam-dalam, mencoba membuat
tubuhku menjadi lebih rileks. Dan tanpa sepatah kata pun aku kembali berjalan
memasuki kelas. Tapi ucapan Krystal masih terngiang di kepalaku. Benarkah aku
sudah melihatnya?
-----------------------
Aku menatap buku pelajaranku
dengan enggan, pikiranku tidak focus untuk saat ini. Ucapan Krystal sejak tadi
terus mempermainkan pikiranku, membuat kepalaku terasa sakit. Benarkah aku
telah melihatnya sendiri? Tapi di mana? Aku tidak pernah mengingatnya.
Mengingatnya hanya membuat kepalaku menjadi lebih sakit.
“Ugh!” Tiba-tiba nyeri menyerang
kepalaku, memberikan rasa sakit yang hebat seolah dicengkram dengan kuat.
“Misa, kau tidak apa-apa?” Sensei (guru) menatapku heran, begitu pula dengan seluruh murid dalam kelas.
“Maaf, sensei. Saya harus ke
ruang kesehatan sekarang. Kepala saya—“
“Ya, pergilah.”
Dengan cepat aku bergegas keluar
kelas. Berlari di sepanjang koridor sekolah, berlomba dengan nyeri di kepalaku.
Apakah aku akan mengalahkan nyeri ini atau nyeri yang mengalahkanku dan
menjatuhkanku?
“Maaf, aku harus pergi.”
“Tidak, kumohon jangan pergi.” Dan
kulihat sosok itu pergi jauh tanpa bisa kuraih. Aku sadar bahwa aku terikat
oleh rantai yang tertanam dengan kuat jauh di dalam tanah. Dan kurasakan tetesan
hangat mengalir dipipiku perlahan dan semakin deras.
-----------------------------------
Aku membuka mata tiba-tiba dan
melihat langit-langit ruangan yang berwarna putih. Aku berada di ruang
kesehatan sekarang, dan terbaring lemas. Aku ingat, aku berhasil mencapai ruang
kesehatan sebelum aku terkapar pingsan di lantai. Aku bangkit dari pembaringan,
dan merasakan kepalaku terasa pusing. Tapi nyeri itu sudah pergi.
“Misa, kau tidak apa-apa?”
Aku menoleh dan kulihat sosok
pria berambut hitam model emo duduk di samping tempat tidurku memandangiku
dengan khawatir. “Sora? Sejak kapan di situ?”
“Sejak tadi. Kudengar kau
pingsan, dan aku segera berlari kemari.” Ujarnya tersenyum. Senyumannya selalu
membatku merasa tenang.
“Kenapa kau bisa seperti ini?”
tanyanya.
Aku menunduk, bingung. Aku tidak
bisa mengatakan bahwa yang membuatku seperti ini karena gosip-gosip murahan
itu. Aku kembali menatapnya, dan menggeleng pelan sambil tersenyum. Aku tidak
ingin membuatnya khawatir.
“Kalau begitu beristirahatlah.
Aku ingin kau segera pulih sebelum jam sekolah selesai.” Ujarnya sembali
membaringkanku pelan, dan menyelimutiku dengan selimut putih yang tipis.
Dan kulihat dia berbalik.
Tiba-tiba mimpi itu datang, mengingatkanku pada mimpi yang baru saja kualami.
Spontan, aku menarik ujung seragamnya, menahannya untuk pergi. Sora berbalik,
menatapku heran.
“Kumohon, jangan pergi.
Aku—takut.” Jujur, ucapanku terlalu drama. Tapi, aku tidak bisa mengatakan hal
lainnya.
Sora melepaskan tanganku dari
seragamnya dengan pelan, lalu kembali duduk di samping tempat tidur. Sora
mendekatkan wajahnya dan mengecup keningku pelan. Hangat.
“Tidurlah, aku akan menemanimu.
Kau tidak perlu takut.”
Ucapannya membuatku menjadi lebih
tenang. Gosip-gosip murahan itu kini sudah hilang dari kepalaku sekarang. Itu
hanya gossip, aku yakin. Kenyataannya, Sora sangat mencintaiku. Lihat saja,
kini dia menggenggam tanganku, membuatku menjadi lebih tenang. Aku segera
menutup mataku, kurasa mimpi itu tidak akan datang di tidurku sekarang.
Aku membuka mataku pelan,
sepertinya aku tertidur belum terlalu lama. Genggamanku terasa kosong. Sora
tidak ada di sampingku. Ya, tentu saja. Dasar Misa bodoh. Sora kan harus
belajar, jadi kurasa sekarang dia berada di kelas. Aku segera turun dari tempat
tidur setelah memastikan bahwa kondisiku baik-baik saja sekarang, lalu berjalan
keluar ruang kesehatan.
Aku baru saja hendak berbelok
menuruni tangga untuk ke kelas, saat kudengar suara yang sangat familiar
terdengar di telingaku. Aku berhenti, dan kudengar dua suara berbeda. Suara
Sora dan satu suara yang halus. Siapa? Aku mengintip, mendapati dua sosok
sejoli sedang duduk di tangga, membelakangiku. Meski membelakangiku, tapi aku
kenal gaya rambut seperti itu, hanya gaya rambut Sora seorang. Keduanya tampak
begitu dekat, begitu mesra. Suara mereka terdengar merdu-yang-dibuat-buat,
memberikan kesan manja. Benarkah apa yang kulihat? Sora berselingkuh. Ini
bohong kan? Aku tahu, ini hanya kebohongan. Aku yakin itu.
Dan saat melihat keduanya lagi, aku yakin ini bukan kebohongan.
Dan saat melihat keduanya lagi, aku yakin ini bukan kebohongan.
Aku berlari, berlari di sepanjang
koridor. Membiarkan napasku memburu. Membiarkan rasa nyeri di kepala menyerangku lagi. Kata-kata Krystal, “Kau sudah melihatnya!” terngiang di
kepalaku, seolah bergema di sepanjang koridor. Ucapan kedua Krytal, “Tapi kau tidak
mau membuka matamu lebih lebar lagi.” Juga terdengar seolah bergema di
sepanjang koridor. Kedua kalimat itu terdengar secara bergantian, semakin cepat
seolah saling mengejar. Dan kurasakan tetesan hangat mengalir di pipiku. Aku
sadar, aku menangis.
Aku berbelok dan segera memasuki
kamar mandi wanita. Kuraih westafel terdekat dan membasuhkan wajahku dengan
air. Kubiarkan air itu menyatu dengan air mataku, aku tidak ingin melihat
diriku menangis. Aku terlalu takut untuk sedih. Tapi tetap saja, melihat
wajahku di cermin, wajah yang mudah diperbodohi ini membuat air mataku terus
mengalir.
Aku menutup wajahku dengan kedua
tanganku, berusaha menahan tangisku agar tidak terisak. Aku tidak ingin
siapapun mendengar tangisanku ini. Tangisan kebodohanku. Aku mengigit bibir
bawahku, berusaha menahan suara yang keluar. Tapi sekeras apapun usahaku,
sederas apapun darah yang mengalir dari bibirku, luka yang kutimbulkan karena
kebodohanku, aku tetap saja tidak bisa menahan air mata dan isak tangisku.
Hingga akhirnya aku tidak sanggup untuk berdiri, dan kubiarkan tubuhku yang
lemas jatuh terduduk. Lalu menangis terisak.
Yang membuatku takut untuk
menangis, aku akan kembali mengingat kejadian menyakitkan ini. Segala kejadian
yang kucoba untuk lupakan. Benar kata Krystal, aku telah melihat perselingkuhan
itu. Aku telah melihatnya berkali-kali. Tapi aku berusaha menyangkalnya karena aku terlalu mencintainya, hingga
menimbunnya di bagian terdalam memoriku. Tapi, tangisan ini, tangisan ini
membuat semua ingatan kebohongan itu terhempas keluar. Mengalir bersama tiap tetes
air mata yang mengalir dari mataku.
Semua kebodohan yang seharusnya
telah kulupakan itu beputar di kepalaku, memperlihatkan bagaimana orang yang
kusayangi mempermainkanku tepat di depan mataku, melakukannya berkali-kali, di
tempat berbeda, bersama wanita berbeda. Teringat tiap kali aku melihat
kebodohan itu, aku akan menangis seperti ini hingga akhirnya tangisan itu reda
bersama dengan tenggelamnya kebodohan itu di bagian terdalam memoriku. Tapi
sekarang, aku bahkan tidak sanggup untuk meredakan tangisanku. Segala ingatan
itu memberontak untuk keluar, dan memberikan rasa sakit yang teramat jelas
tepat di hatiku.
“Misa?”
Aku membuka kedua tangan yang
menghalangi wajahku dan menoleh, tapi pandanganku buram. Tapi aku kenal siapa
pemilik suara itu. Krystal.
“Apa yang kau lakukan di sini?
Kenapa—“
Aku segera berdiri dan berlari
memeluknya. Tangisanku semakin kencang, dan air mataku mengalir dengan
derasnya. Aku memeluknya dengan erat, berusaha untuk memberitahukan padanya
ketakutan dan betapa sakitnya hatiku. Kurasakan Krystal membalas pelukanku, dan
membelai rambutku, membuatku menjadi lebih nyaman.
“Menangislah, tidak apa.
Menangislah untuk dirimu sendiri.”
Ucapannya membuat hatiku menjadi
lebih tenang. Aku melepas pelukanku, begitu pula dengan Krystal. Tatapannya
begitu sendu, memperlihatkan kekhawatirannya kepadaku. Aku mengusap air mataku,
dengan sedikit bantuan dari Krystal. Dan kemudian dia menggenggam kedua
tanganku, memberikan kehangatan yang menentramkan.
“Jangan menangis. Jangan
menangisi orang sebodoh itu.”
Aku tersenyum mendengar
perkataannya. Orang bodoh? Ya, tepat sekali orang bodoh itu.
“Kau begitu baik dan penuh kasih.
Orang seperti dia tidak pantas untuk memilikimu, tidak pantas untuk memiliki
hatimu.” Ujarnya membuatku tersipu malu.
“Seperti itu, tersenyumlah.
Seorang Misa tidak pantas untuk menangis. Kau lebih cocok untuk tersenyum,
mengerti?” ujarnya sambil menyentuhkan kedua tangannya di pipiku.
Aku mengangguk pelan, dan kembali
memeluknya. Ku bisikkan padanya “terima kasih, kau memang sahabat terbaikku.” Lalu
menikmati pelukan hangat kami untuk beberapa saat. Lalu aku melepaskan pelukan
kami, dan berkata “Kurasa aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang.” Dan Krystal
mengangguk mantap.
------------------------------------
Nah, aku menemukan si bodoh itu
tengah berada di samping tangga, bersama dengan seorang gadis yang sepertinya
kali ini berbeda. Dasar playboy. Keduanya berpegang tangan, saling menautkan
jari. Ada rasa sakit saat melihatnya, tapi ada juga rasa kesal. Keduanya
bercampur menjadi satu, menjadi perasaan teramat aneh yang pernah kurasakan.
Aku menarik napas.
“Ehem—!”
Keduanya menoleh, dan kulihat
wajah Sora berubah menjadi sangat terkejut. Seperti ekspresi maling yang
ketahuan mencuri. Ya, tidak jauh berbedalah antara dia dan maling. Dengan cepat
Sora melepaskan tautan jari mereka, dan keduanya menjadi salah tingkah.
“Misa, bisa kujelaskan—“ ujarnya,
berusaha mendekat dengan langkah pelan, seolah penuh kehati-hatian.
Aku mengangkat jari telunjukku,
isyarat untuk menyuruhnya berhenti berbicara sekaligus berhenti bergerak. Aku
memang tidak ingin mendengar apapun darinya. Tidak lagi, aku tidak butuh
kebohongan. Sudah jelas semua sekarang. Apa yang kulihat selama ini, dan
sekarang dia berusaha untuk menjelaskan, menjelaskan kebodohannya? Betapa
bodohnya dia, membuatku ingin tertawa.
“Tidak apa, aku mengerti. Sangat
mengerti.” Ujarku.
“Benarkah?”
“Ya, kita putus.” Singkat, padat,
dan jelas. Kalau dia tidak mengerti, berarti dia orang yang sangat bodoh.
Sora tersentak. “Tapi—“
Aku tidak peduli ucapannya lagi,
dan segera berbalik. Tiba-tiba satu tanganku ditarik oleh Sora. “Misa,
dengarkan dulu penjelasanku.” Aku menoleh, melihat wajahnya, dan melihat
tangannya yang menggenggam pergelangan tanganku. Kehangatan genggamannya selalu
membuatku nyaman. Jujur, aku masih menyimpan rasa padanya, Sora adalah cinta
pertamaku, dia yang memberikanku kasih yang jauh lebih banyak dari yang
diperkirakan. Tapi dia juga memberikan rasa sakit yang sama banyaknya. Sudah
cukup bagiku untuk memilikinya, biarkan kepingan-kepingan perasaan yang tersisa
ini kutimbun di bagian terdalam hatiku. Aku tidak mau merasakan lagi sakit yang
teramat sangat.
Aku melepaskan genggaman
tangannya, dan menatapnya sambil tersenyum. Setidaknya aku tidak ingin
perpisahan ini menjadi perpisahan yang buruk untuk ku dan dirinya. Betapa
baiknya aku. “Aku mengerti. Tapi, sudah cukup Sora. Hubungan ini sudah
berakhir.” Ujarku, tidak kusangka kalimat drama ada juga gunanya di saat seperti
ini. Dan kulihat tatapannya menjadi
sendu.
“Selamat tinggal.” Ujarku, kembali melemparkan senyuman termanisku
untuknya, untuk terakhir kalinya. Aku segera berbalik, meninggalkan Sora yang
terpaku melihat kepergianku. Kurasakan setetes air mata mengalir di kedua
pipiku. Aku mengusap keduanya pelan.
Itulah air mata terakhir
untuknya.
wah kasian juga sora tdk dikasi kesempatan..
BalasHapusauthornya malas ngasih kesempatan haha
Hapusnama karakter Misa seperti di Film Death Note :D
BalasHapusasiik bro (y)
BalasHapus