(c)Kazumazu Tokugawa, Kikyo.
Inspired song: Sherina Munaf - Simfoni Hitam
Fanfic kedua yang kubuat untuk Naruto-Indo
Selamat menikmati.
--------------------------------------------
Perkenalkan, namaku—
“Kikyo, apa yang kau lakukan di
sana? Melamun? Kita sudah hampir terlambat.”
Aku mengerjap, dan berikutnya
berlari kecil hingga berdiri bersejajar dengan pria berambut hitam di
sampingku. Ya, namaku Kikyo. Kiyo Zaoldyeck. Gadis SMA yang biasa saja. Dan
kenalkan pemuda di sampingku, Kazumazu Tokugawa. Aku memanggilnya Kazu. Pemuda
berambut hitam berantakan bermata sayu ini teman sepermainanku sejak kecil.
Meski penampilannya yang berantakan, dia popular di sekolah. Penampilannya yang
berantakan yang menjadi kharismanya.
“Kulihat kau sering melamun
akhir-akhir ini. Apa yang kau lamunkan?” tanyanya, melirikku dari sudut
matanya.
Aku menunduk, menatapi langkah
kakiku yang berusaha menjejali langkah Kazu yang lebar. Sedetik kemudian aku
menatapnya lalu tersenyum dan menggeleng pelan, sebagai jawaban atas
pertanyaannya. Kazu mendesah pelan, lalu melirikku lagi dari sudut mata
sayunya.
“Jangan sering-sering melamun,
apalagi di jalan. Berbahaya.” Ujarnya, lalu mengacak rambutku.
Malam sunyi kuimpikanmu
Kulukiskan, kita bersama
Namun selalu aku bertanya
Adakah aku di mimpimu
Dia tidak tahu bahwa aku
melamunkan dirinya. Dirinya yang menjadi kekasihku. Jujur saja, aku menyukai
Kazu. Ralat, aku mencintainya. Perasaan ini tumbuh sudah sejak lama. Dan terus
saja tumbuh. Sayangnya, aku terlalu takut untuk mengutarakan perasaanku. Aku
takut rasa ini suatu saat merusak persahabatan kami.
Pernah aku mencoba untuk membuang
perasaan ini, tapi itu sangat sulit. Semakin berusaha untuk menghilangkannya,
semakin kuat pula perasaan ini melekat. Apalagi sikapnya padaku yang terlalu
perhatian. Membuatku bingung, apa dia mencintaiku, atau hanya menganggapku
sebagai seorang adik?
Dihatiku, terukir namamu
Cinta rindu beradu satu
Namun selalu aku bertanya
Adakah aku di hatimu
“Kikyo-chan,” Kazu berbisik,
berusaha membuat panggilan itu terdengar merdu. Di kelas, dia duduk di depanku.
Kini dia sedang membalik bangkunya sehingga kami berhadapan.
“Hm?” Aku bergumam sambil menatap
pemandangan di luar jendela kelas. Kalau dia memanggilku dengan panggilan
seperti itu, aku sudah tahu tujuannya.
“Ya?” tanyanya. Aku sudah
mendengar pertanyaan ini berkali-kali sejak tadi. Kazu tidak mau menyerah.
Melihatnya seperti itu membuatku ingin terus mengerjainya. Jujur, aku sedang
mengerjainya saat ini. Aku meliriknya sebentar. Pandangannya tampak memelas.
Lalu aku kembali melirik ke luar jendela.
“Kikyo-chan..” lagi-lagi dia
memanggilku seperti itu. Kazu menarik tanganku yang menopang dagu, membuatku
harus melihatkan wajahku kepadanya. Pandangannya masih tampak memelas,
membuatku benar-benar tak tega untuk terus mengerjainya.
“Ayolah, Kikyo-chan.” Kazu
mendekatkan wajahnya padaku, jarak kami tidak lebih sejengkal. Aku melirik ke
bawah, ke tanganku yang digenggamnya, lalu kembali ke mata sayunya. Terlalu dekat.
Aku mendorong bahunya dengan
tanganku yang bebas untuk memberi jarak yang lebih di antara kami, lalu menarik
tanganku yang di pegangnya. Aku menghela napas. Aku merogoh sesuatu dari dalam
tasku dan mengeluarkan sebuah buku yang kuletakkan di atas meja.
“Tugasmu sudah kukerjakan kok.
Tenang saja.” Ujarku tersenyum.
Matanya sedikit melebar, tampak
senang. Dan senyumnya tertarik saat mengambil buku yang kuberikan. “Sudah
kuduga kau mengerjakannya, Kikyo.” See? ‘Kikyo-chan’ hanya panggilan jika ada
maunya. Tak apalah, melihatnya tersenyum senang membuatku senang.
“Terima kasih ya, Kikyo.” Ujarnya
menarik kedua pipiku, gemas, membuat mataku membulat kaget.
Wajahku memanas. Aku tidak yakin
apakah wajahku sekarang memerah atau tidak. Wajahku terus saja memanas saat dia
memainkan pipiku, menaik turunkan dengan gemas. Aku bingung, apa aku harus
menahan rasa sakit di pipi atau rasa sakit di dada. Tingkahnya yang seperti ini
yang selalu membuatku harus berusaha ekstra keras menutupi perasaanku.
“Aih aih, ternyata kalian sedang
bermesraan.”
Aku menoleh, melihat Hidan sedang
menyilangkan tangannya di dada. Dengan cepat aku melepas kedua tangan Kazu yang
masih menempel di pipiku. Aku kembali menopang dagu dan menatap keluar jendela
kelas meski sesekali kulirik dua sahabat baikku ini.
“Kazu, kau dicari sensei di
ruangannya.”
Kulihat dari sudut mataku Kazu
berdiri, hendak pergi. Tapi kemudian di tahan oleh Hidan. Kulirik Hidan, dan
Hidan melirikku, dan dengan cepat aku menoleh kembali keluar jendela. Meski aku
tetapmencuri pandang pada mereka.
“Ada surat lagi untukmu.” Bisik
Hidan sambil memberikan secarik kertas.
“Bisa tidak, kau memberitahukan
pada gadis-gadis pemujamu di luar sana untuk tidak menjadikanku kurir surat cinta
mereka? Sangat menyebalkan, kau tahu.” Bisik Hidan, terlihat mengancam.
Sementara Kazu hanya cengengesan menerima surat yang diberikan Hidan, lalu Kazu
pergi.
Hidan kini mengalihkan
pandangannya padaku, lalu menghela napas. Kemudian, dia duduk di kursi yang
sebelumnya diduduki Kazu dan menatapku lama, sebelum akhirnya membuka suara.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya.
Tentu aku tahu apa yang
dimaksudkannya. Aku menghela napas, lalu mengalihkan pandanganku ke Hidan.
“Aku baik-baik saja, tenanglah.”
“Jangan bohongi perasaanmu,
Kikyo. Aku bisa melihatnya dari matamu.”
Aku menghela napas lagi. Benar,
aku tidak bisa menutupi perasaanku dari Hidan. Gadis di depanku ini, entah
bagaimana, bisa membaca ekpresiku dengan sangat mudah. Mungkin karena kami berteman
sejak lama, membuatnya mudah untuk membacaku. Hidan menjadi tempatku untuk
menuangkan perasaanku yang tidak terbalas pada Kazu.
“Kau masih setia mengharapkannya,
mengharapkan cinta si bodoh itu.”
Ugh! Aku tidak sudi jika Kazu
dikatain bodoh. Tapi Hidan ada benarnya juga. Apa Kazu begitu bodoh sampai
tidak menyadari perasaanku?
“Kau juga bodoh Kikyo, sudah tahu
si bodoh itu playboy, tapi kau malah menyukainya. Untuk mendapatkannya akan
sulit, Kikyo”
Oke, seratus untukmu Hidan. Kau
benar dalam segala hal. Aku heran, bagaimana bisa Hidan mengetahui segalanya.
Aku curiga dia bisa membaca pikiran orang lain. Kurasa aku harus berhari-hati
untuk berpikir saat ini. Kalau benar Hidan bisa membaca pikiran, seperti
dugaanku, aku takut dia bisa membaca pikiranku hingga yang terdalam.
Aku menunduk, lalu mengangkat
wajahku dan mentap Hidan. Kemudian aku tersenyum, membuatnya bingung. “Tidak
apa, aku akan berusaha. Aku akan mencoba dan terus mencoba. Meski sulit, aku
akan terus berusaha untuk mendapatkannya.”
Hidan diam, menatapku cukup lama.
Berikutnya dia mendesah. Dia tahu, dia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi
untuk melawan perkataanku. Kemudian dia menatap keluar jendela, begitu pula
aku. Kami melakukan hal yang sama dalam diam.
Keheningan ini membuatku teringat
pada saat dimana aku berusaha untuk membuatnya melihatku. Aku berusaha sekeras
mungkin untuk membuatkan bekal makan siang, padahal aku tidak pandai masak,
mengerjakan tugasnya, membantunya dalam belajar, dan memberi perhatian padanya.
Apa dia tidak pernah melihatku?
---
Istirahat siang, kami berdua, aku
dan Kazu sedang berjalan di koridor dalam diam.
“Kikyo,” ujarnya memecah
keheningan di antara kami.
“Hmm…?”
“Kurasa aku menyukai seseorang.”
Aku berhenti berjalan. Apa benar
yang dikatakannya? Kazu memang playboy, tapi selama dia berpacaran dengan
banyak gadis, baru kali ini dia mengatakan kata ‘suka’. Itu berarti, Kazu
serius, dia sedang menyukai seseorang sekarang.
“Ada apa?” tanyanya bingung
melihatku berhenti.
“Tidak, kurasa tadi ada kecoa
yang lewat.” Ujarku bohong. Mana ada kecoa lewat di koridor. Kulihat dia
mengernyitkan dahi, bingung. “Lalu, siapa orang beruntung itu?” tanyaku.
Kazu tertawa ketika mendengar
kata beruntung itu. “Kau mengenalnya, sangat mengenalnya.” Ujarnya sambil
memandangku dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan.
Aku mengenalnya? Siapa? Siapa
gadis itu? Seingatku, aku hanya mengenal dekat satu orang gadis saja. Dia –
“Hai teman-teman.” Kudengar
seseorang menyapa kami. Suara yang sangat ku kenal.
Hidan!
“Hai Hidan.” Kazu membalas sapaan
Hidan, tampak senang. Aku hanya diam. Lidahku terasa kaku. “Hidan, boleh aku
bicara denganmu?”
“Boleh saja, kita sedang
berbicara sekarang kan?”
“Tidak, maksudku berdua saja.”
Tidak, kumohon jangan katakan
bahwa apa yang kupikirkan ini adalah benar. Ini menakutkan, terlalu menakutkan
untukku. Kulihat Kazu menarik tangan Hidan, membawa Hidan cukup jauh, sehingga
memberi jarak diantara kami. Meski begitu, samar-samar aku bisa mendengar
percakapan mereka. Kulihat Hidan melirikku, dan kembali melihat Kazu. Kemudian
Hidan mengangguk pelan. Dan dengan cepat Kazu memeluknya erat, membuat Hidan
sangat terkejut. Begitu juga denganku, sangat terkejut.
Ini bohong kan? Apa yang kulihat
ini bohong kan? Pasti aku sedang bermimpi buruk sekarang. Kurasa dengan
mencubit tanganku aku bisa terbangun dari mimpi buruk ini. Tapi cubitanku
terasa sakit, dan aku sadar semua ini nyata. Benar-benar nyata. Aku mundur
beberapa langkah. “Kurasa… aku harus pergi. Sensei mencariku.” Ujarku,
lambat-lambat.
Aku berbalik dan segera berlari
meninggalkan tempat itu. Aku terus berlari, tidak peduli aku menabrak orang,
tidak peduli dengan sumpah serapah yang mereka lemparkan padaku. Aku tidak
peduli. Kurasakan pandanganku kabur, tertutupi oleh air mata yang terus kutahan
sejak tadi, sejak aku berlari. Dan tanpa sadar, kini aku berada di UKS. Berdiri
bersandar pada pintu UKS yang kututup dan kukunci dari dalam. Untungnya aku
tidak melihat siapapun di dalam sini.
Aku sudah tidak kuat berdiri,
kakiku terasa lemas. Dan kemudian aku jatuh terduduk. Aku mulai terisak.
Kubiarkan air mataku yang sejak tadi kutahan mengalir deras di pipiku. Kusentuh dadaku yang terasa sakit. Hatiku
terasa seperti dibanting dengan kasar menjadi serpihan yang sangat kecil oleh
sahabatmu sendiri. Aku tidak menyangka ini terjadi kepadaku. Tuhan, ini terlalu
menyakitkan untukku. Aku seperti dipermainkan oleh sahabatku sendiri. Aku tidak
sanggup menahan rasa sakit ini.
Aku menutup wajahku dengan kedua
tanganku. Menangisi perasaanku. Menangisi kebodohanku, kebodohan karena
mempercayai orang yang salah, dan kebodohan karena telah mencintai seseorang
yang tidak pernah mencintaiku.
Telah kunyanyikan alunan-alunan senduku
Telah kubisikkan cerita-cerita gelapku
Telah kuabaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu
huweh..
BalasHapusterus ini bagaimana?
bagaimana kelanjutannya??
ada kelanjutannya kan??
ayo dong jangan buat penasaran
itu si hidan ama kazu bohongan kan?
ayolah..
aku kira hidan itu cowok ternyata cewek.
ck
kelanjutannya?
BalasHapusmasih saya pikirkan.
Mungkin ada, mungkin gak.
Hidan dan Kazu? err-- I can't say anything *sokbule*
ah! saya lupa kalau di Naruto asli, Hidan itu cowok. hahaha
di sini Hidan-nya cewek. soalnya member yang bernama Hidan di NI aslinya cewek. hahaha