Selasa, 17 Januari 2012

Simfoni Hitam



(c)Kazumazu Tokugawa, Kikyo.
Inspired song: Sherina Munaf - Simfoni Hitam
Fanfic kedua yang kubuat untuk Naruto-Indo
Selamat menikmati.

--------------------------------------------

Perkenalkan, namaku—
“Kikyo, apa yang kau lakukan di sana? Melamun? Kita sudah hampir terlambat.”

Aku mengerjap, dan berikutnya berlari kecil hingga berdiri bersejajar dengan pria berambut hitam di sampingku. Ya, namaku Kikyo. Kiyo Zaoldyeck. Gadis SMA yang biasa saja. Dan kenalkan pemuda di sampingku, Kazumazu Tokugawa. Aku memanggilnya Kazu. Pemuda berambut hitam berantakan bermata sayu ini teman sepermainanku sejak kecil. Meski penampilannya yang berantakan, dia popular di sekolah. Penampilannya yang berantakan yang menjadi kharismanya.

“Kulihat kau sering melamun akhir-akhir ini. Apa yang kau lamunkan?” tanyanya, melirikku dari sudut matanya.

Aku menunduk, menatapi langkah kakiku yang berusaha menjejali langkah Kazu yang lebar. Sedetik kemudian aku menatapnya lalu tersenyum dan menggeleng pelan, sebagai jawaban atas pertanyaannya. Kazu mendesah pelan, lalu melirikku lagi dari sudut mata sayunya.

“Jangan sering-sering melamun, apalagi di jalan. Berbahaya.” Ujarnya, lalu mengacak rambutku.

Malam sunyi kuimpikanmu
Kulukiskan, kita bersama
Namun selalu aku bertanya
Adakah aku di mimpimu

Dia tidak tahu bahwa aku melamunkan dirinya. Dirinya yang menjadi kekasihku. Jujur saja, aku menyukai Kazu. Ralat, aku mencintainya. Perasaan ini tumbuh sudah sejak lama. Dan terus saja tumbuh. Sayangnya, aku terlalu takut untuk mengutarakan perasaanku. Aku takut rasa ini suatu saat merusak persahabatan kami.

Pernah aku mencoba untuk membuang perasaan ini, tapi itu sangat sulit. Semakin berusaha untuk menghilangkannya, semakin kuat pula perasaan ini melekat. Apalagi sikapnya padaku yang terlalu perhatian. Membuatku bingung, apa dia mencintaiku, atau hanya menganggapku sebagai seorang adik?

Dihatiku, terukir namamu
Cinta rindu beradu satu
Namun selalu aku bertanya
Adakah aku di hatimu

“Kikyo-chan,” Kazu berbisik, berusaha membuat panggilan itu terdengar merdu. Di kelas, dia duduk di depanku. Kini dia sedang membalik bangkunya sehingga kami berhadapan.

“Hm?” Aku bergumam sambil menatap pemandangan di luar jendela kelas. Kalau dia memanggilku dengan panggilan seperti itu, aku sudah tahu tujuannya.

“Ya?” tanyanya. Aku sudah mendengar pertanyaan ini berkali-kali sejak tadi. Kazu tidak mau menyerah. Melihatnya seperti itu membuatku ingin terus mengerjainya. Jujur, aku sedang mengerjainya saat ini. Aku meliriknya sebentar. Pandangannya tampak memelas. Lalu aku kembali melirik ke luar jendela.

“Kikyo-chan..” lagi-lagi dia memanggilku seperti itu. Kazu menarik tanganku yang menopang dagu, membuatku harus melihatkan wajahku kepadanya. Pandangannya masih tampak memelas, membuatku benar-benar tak tega untuk terus mengerjainya.

“Ayolah, Kikyo-chan.” Kazu mendekatkan wajahnya padaku, jarak kami tidak lebih sejengkal. Aku melirik ke bawah, ke tanganku yang digenggamnya, lalu kembali ke mata sayunya. Terlalu dekat.

Aku mendorong bahunya dengan tanganku yang bebas untuk memberi jarak yang lebih di antara kami, lalu menarik tanganku yang di pegangnya. Aku menghela napas. Aku merogoh sesuatu dari dalam tasku dan mengeluarkan sebuah buku yang kuletakkan di atas meja.

“Tugasmu sudah kukerjakan kok. Tenang saja.” Ujarku tersenyum.

Matanya sedikit melebar, tampak senang. Dan senyumnya tertarik saat mengambil buku yang kuberikan. “Sudah kuduga kau mengerjakannya, Kikyo.” See? ‘Kikyo-chan’ hanya panggilan jika ada maunya. Tak apalah, melihatnya tersenyum senang membuatku senang.

“Terima kasih ya, Kikyo.” Ujarnya menarik kedua pipiku, gemas, membuat mataku membulat kaget.

Wajahku memanas. Aku tidak yakin apakah wajahku sekarang memerah atau tidak. Wajahku terus saja memanas saat dia memainkan pipiku, menaik turunkan dengan gemas. Aku bingung, apa aku harus menahan rasa sakit di pipi atau rasa sakit di dada. Tingkahnya yang seperti ini yang selalu membuatku harus berusaha ekstra keras menutupi perasaanku.

“Aih aih, ternyata kalian sedang bermesraan.”

Aku menoleh, melihat Hidan sedang menyilangkan tangannya di dada. Dengan cepat aku melepas kedua tangan Kazu yang masih menempel di pipiku. Aku kembali menopang dagu dan menatap keluar jendela kelas meski sesekali kulirik dua sahabat baikku ini.

“Kazu, kau dicari sensei di ruangannya.”

Kulihat dari sudut mataku Kazu berdiri, hendak pergi. Tapi kemudian di tahan oleh Hidan. Kulirik Hidan, dan Hidan melirikku, dan dengan cepat aku menoleh kembali keluar jendela. Meski aku tetapmencuri pandang pada mereka.

“Ada surat lagi untukmu.” Bisik Hidan sambil memberikan secarik kertas.

“Bisa tidak, kau memberitahukan pada gadis-gadis pemujamu di luar sana untuk tidak menjadikanku kurir surat cinta mereka? Sangat menyebalkan, kau tahu.” Bisik Hidan, terlihat mengancam. Sementara Kazu hanya cengengesan menerima surat yang diberikan Hidan, lalu Kazu pergi.

Hidan kini mengalihkan pandangannya padaku, lalu menghela napas. Kemudian, dia duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Kazu dan menatapku lama, sebelum akhirnya membuka suara.  

“Kau tidak apa-apa?” tanyanya.

Tentu aku tahu apa yang dimaksudkannya. Aku menghela napas, lalu mengalihkan pandanganku ke Hidan.

“Aku baik-baik saja, tenanglah.”

“Jangan bohongi perasaanmu, Kikyo. Aku bisa melihatnya dari matamu.”

Aku menghela napas lagi. Benar, aku tidak bisa menutupi perasaanku dari Hidan. Gadis di depanku ini, entah bagaimana, bisa membaca ekpresiku dengan sangat mudah. Mungkin karena kami berteman sejak lama, membuatnya mudah untuk membacaku. Hidan menjadi tempatku untuk menuangkan perasaanku yang tidak terbalas pada Kazu.

“Kau masih setia mengharapkannya, mengharapkan cinta si bodoh itu.”

Ugh! Aku tidak sudi jika Kazu dikatain bodoh. Tapi Hidan ada benarnya juga. Apa Kazu begitu bodoh sampai tidak menyadari perasaanku?

“Kau juga bodoh Kikyo, sudah tahu si bodoh itu playboy, tapi kau malah menyukainya. Untuk mendapatkannya akan sulit, Kikyo”

Oke, seratus untukmu Hidan. Kau benar dalam segala hal. Aku heran, bagaimana bisa Hidan mengetahui segalanya. Aku curiga dia bisa membaca pikiran orang lain. Kurasa aku harus berhari-hati untuk berpikir saat ini. Kalau benar Hidan bisa membaca pikiran, seperti dugaanku, aku takut dia bisa membaca pikiranku hingga yang terdalam.

Aku menunduk, lalu mengangkat wajahku dan mentap Hidan. Kemudian aku tersenyum, membuatnya bingung. “Tidak apa, aku akan berusaha. Aku akan mencoba dan terus mencoba. Meski sulit, aku akan terus berusaha untuk mendapatkannya.”

Hidan diam, menatapku cukup lama. Berikutnya dia mendesah. Dia tahu, dia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk melawan perkataanku. Kemudian dia menatap keluar jendela, begitu pula aku. Kami melakukan hal yang sama dalam diam.

Keheningan ini membuatku teringat pada saat dimana aku berusaha untuk membuatnya melihatku. Aku berusaha sekeras mungkin untuk membuatkan bekal makan siang, padahal aku tidak pandai masak, mengerjakan tugasnya, membantunya dalam belajar, dan memberi perhatian padanya.

Apa dia tidak pernah melihatku?

---

Istirahat siang, kami berdua, aku dan Kazu sedang berjalan di koridor dalam diam.

“Kikyo,” ujarnya memecah keheningan di antara kami.

“Hmm…?”

“Kurasa aku menyukai seseorang.”

Aku berhenti berjalan. Apa benar yang dikatakannya? Kazu memang playboy, tapi selama dia berpacaran dengan banyak gadis, baru kali ini dia mengatakan kata ‘suka’. Itu berarti, Kazu serius, dia sedang menyukai seseorang sekarang.

“Ada apa?” tanyanya bingung melihatku berhenti.

“Tidak, kurasa tadi ada kecoa yang lewat.” Ujarku bohong. Mana ada kecoa lewat di koridor. Kulihat dia mengernyitkan dahi, bingung. “Lalu, siapa orang beruntung itu?” tanyaku.

Kazu tertawa ketika mendengar kata beruntung itu. “Kau mengenalnya, sangat mengenalnya.” Ujarnya sambil memandangku dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan.

Aku mengenalnya? Siapa? Siapa gadis itu? Seingatku, aku hanya mengenal dekat satu orang gadis saja. Dia –

“Hai teman-teman.” Kudengar seseorang menyapa kami. Suara yang sangat ku kenal.

Hidan!

“Hai Hidan.” Kazu membalas sapaan Hidan, tampak senang. Aku hanya diam. Lidahku terasa kaku. “Hidan, boleh aku bicara denganmu?”

“Boleh saja, kita sedang berbicara sekarang kan?”

“Tidak, maksudku berdua saja.”

Tidak, kumohon jangan katakan bahwa apa yang kupikirkan ini adalah benar. Ini menakutkan, terlalu menakutkan untukku. Kulihat Kazu menarik tangan Hidan, membawa Hidan cukup jauh, sehingga memberi jarak diantara kami. Meski begitu, samar-samar aku bisa mendengar percakapan mereka. Kulihat Hidan melirikku, dan kembali melihat Kazu. Kemudian Hidan mengangguk pelan. Dan dengan cepat Kazu memeluknya erat, membuat Hidan sangat terkejut. Begitu juga denganku, sangat terkejut.

Ini bohong kan? Apa yang kulihat ini bohong kan? Pasti aku sedang bermimpi buruk sekarang. Kurasa dengan mencubit tanganku aku bisa terbangun dari mimpi buruk ini. Tapi cubitanku terasa sakit, dan aku sadar semua ini nyata. Benar-benar nyata. Aku mundur beberapa langkah. “Kurasa… aku harus pergi. Sensei mencariku.” Ujarku, lambat-lambat.

Aku berbalik dan segera berlari meninggalkan tempat itu. Aku terus berlari, tidak peduli aku menabrak orang, tidak peduli dengan sumpah serapah yang mereka lemparkan padaku. Aku tidak peduli. Kurasakan pandanganku kabur, tertutupi oleh air mata yang terus kutahan sejak tadi, sejak aku berlari. Dan tanpa sadar, kini aku berada di UKS. Berdiri bersandar pada pintu UKS yang kututup dan kukunci dari dalam. Untungnya aku tidak melihat siapapun di dalam sini.

Aku sudah tidak kuat berdiri, kakiku terasa lemas. Dan kemudian aku jatuh terduduk. Aku mulai terisak. Kubiarkan air mataku yang sejak tadi kutahan mengalir deras di pipiku.  Kusentuh dadaku yang terasa sakit. Hatiku terasa seperti dibanting dengan kasar menjadi serpihan yang sangat kecil oleh sahabatmu sendiri. Aku tidak menyangka ini terjadi kepadaku. Tuhan, ini terlalu menyakitkan untukku. Aku seperti dipermainkan oleh sahabatku sendiri. Aku tidak sanggup menahan rasa sakit ini.

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Menangisi perasaanku. Menangisi kebodohanku, kebodohan karena mempercayai orang yang salah, dan kebodohan karena telah mencintai seseorang yang tidak pernah mencintaiku.

Telah kunyanyikan alunan-alunan senduku
Telah kubisikkan cerita-cerita gelapku
Telah kuabaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu   

2 komentar:

  1. huweh..
    terus ini bagaimana?
    bagaimana kelanjutannya??
    ada kelanjutannya kan??
    ayo dong jangan buat penasaran
    itu si hidan ama kazu bohongan kan?
    ayolah..


    aku kira hidan itu cowok ternyata cewek.
    ck

    BalasHapus
  2. kelanjutannya?
    masih saya pikirkan.
    Mungkin ada, mungkin gak.
    Hidan dan Kazu? err-- I can't say anything *sokbule*

    ah! saya lupa kalau di Naruto asli, Hidan itu cowok. hahaha
    di sini Hidan-nya cewek. soalnya member yang bernama Hidan di NI aslinya cewek. hahaha

    BalasHapus