Jumat, 21 Maret 2014

[Incomplete] Stuck in Friendzone

Sebuah Fanfiction di Forum RPG Shinobi Another Dimension (SAD) 
Diambil dari Karakter Primer (Matsumoto Yume) dan NPC (Aki) yang berseting di sebuah sekolah menengah atas di Sapporo, Jepang.

Bersahabat bukanlah hal yang buruk. Tapi memiliki perasaan lebih membuat perasaan dan hidup Aki dan Yume menjadi sangat buruk.


----


“Apa yang kau lakukan, hah!?” 

Yume menutup telinga mendengar suara Aki yang berteriak tepat di depan mukanya. Jangan lupa hujan lokal yang tersebur di wajahnya. Jika bukan karena wajahnya yang tampan, sudah dipastikan pemuda itu menerima gamparan bolak-balik. Dan hello, ini masih pagi, tapi Aki sudah berteriak-teriak. Sarapan apa sih tuh anak? Semangkuk gula ya? Semangat banget.

“Kau mengecat rambutmu menjadi—menjadi—itu!?” Aki menolak menyebut kata itu, seolah warna itu terlarang untuk mulutnya. Bisa dilihat jelas manik cokelat itu menatapnya tidak percaya bercampur jijik. Yume menyentuh rambutnya yang di highlight merah muda. Ya, merah muda! Pink! 

Agak ragu, gadis itu menyisir surainya yang tergerai dengan jari. “Tapi bagus, kan?”

“Bagus mata lu soek! Norak tauk!”

Dalam hitungan detik, Aki sudah terjatuh dengan kedua tangan yang menyentuh selangkangan. Ya, Yume menendang selangkangan pemuda itu tanpa belas kasih. Gadis itu menghentakkan kaki dan melenggang ke luar kelas, meninggalkan Aki yang sudah menjerit layaknya seorang gadis. Dan seisi kelas, khususnya cowok yang langsung menyentuh selangkangan mereka, mengambil satu kesimpulan:

Jangan pernah menyebut kata Norak di depan Matsumoto Yume jika ingin selangkangan mereka selamat. 

“BakAki!” desisnya. Hentakan kakinya di sepanjang koridor terdengar hingga menarik perhatian siswa lainnya. Jangan lupakan surai merah muda yang berkibar, yang membuat tiap pasang mata membelalak tidak percaya melihatnya. Bahkan Yume bisa dengar jeritan kecil “Pink!”. Tapi gadis itu tidak peduli. Dia tetap melangkah dengan cepat hingga membelok ke dalam toilet.

Yume bisa melihat pantulan dirinya dicermin. Putih matanya nyaris sewarna dengan kedua irisnya. Terasa perih karena ingin menangis, tapi sejak tadi Yume terus menahan agar air matanya tidak menitik. Yume menutup wajah dengan kedua tangan, terus mengumpat dengan berbagai macam hinaan dan makian kepada sahabat berdarah campuran itu. Untungnya toilet sedang kosong.

“Aki bodoh!”

Sebenarnya, bukan tanpa alasan Yume mengubah warna rambutnya menjadi warna senorak ini. Ada cerita di balik itu. Beberapa hari yang lalu, Aki mengajaknya jalan ke pusat perbelanjaan. Katanya, pemuda itu sedang bosan. Dan tiba-tiba saja, pemuda itu nyeletuk sewaktu melihat seorang wanita sedang bercosplay. “Lihat deh, rambutnya merah muda. Lucu.” 

Dengan pertimbangan yang matang, akhirnya Yume mengorbankan rambut hitam legamnya dan menggantinya menjadi merah muda. Dia bahkan rela menerima amarah dan nyaris digampar Tuan Matsumoto hanya agar Aki menyebutnya lucu. Tapi voila!, pemuda tidak peka itu malah menyebutnya norak. 

“Ugh!” Yume mengerang kesal dibalik kedua telapak tangan yang menutupi wajahnya.

Saat menatap kembali dirinya dicermin, menatap surai merah mudanya yang berkilau, bayangan kejadian beberapa menit yang lalu kembali terlintas. “Norak, eh?” gadis itu tertawa, tapi tetap saja dadanya terasa seperti terhimpit. Sesak. 

Aki memang selalu seperti itu padanya. Mereka memang dekat, sangat dekat malah. Tapi, jangankan pujian verbal, pemuda itu tidak pernah sekalipun bersikap manis padanya. 

Tidak kah pemuda itu sadari, Yume rela mengorbankan rambutnya hanya demi satu pujian dari Aki?


==o000o==

Bagi Aki, ditendang di selangkangan jauh lebih baik ketimbang didiamkan seperti ini oleh si gadis bermata merah, Matsumoto Yume. Aki sudah terbiasa dengan segala serangan fisik yang sering diterimanya dari Yume ketika gadis itu marah. Bukan berarti dia Masochist loh. Hanya saja, pemutusan komunikasi secara sepihak ini membuatnya benar-benar nelangsa. Yume tidak pernah melakukan serangan seperti ini padanya.

Sementara bagi Yume, gadis itu berpikir untuk tidak berbicara pada Aki selama sehari ini. Dia perlu menangkan pikirannya yang kalut. Dia tidak ingin melakukan kontak apapun, verbal maupun non verbal, pada pemuda blasteran itu. Jangan sampai pemuda itu kembali memancing amarahnya untuk kesekian kali dan kembali menendang selangkangan Aki. Tendangan pertama mungkin oke-oke saja, tapi Yume tidak menjamin pada tendangan kedua pemuda itu bisa selamat. 

Sejak kembali dari toilet, sejak kakinya menginjak ruang kelas, Yume mulai melakukan aksi perang dingin. Gadis itu langsung menuju ke kursinya, duduk dengan tenang, memandang keluar. Bersikap seolah ia tuli. Tidak peduli pada bisik-bisik yang ia tahu ditujukan padanya, tepatnya pada rambut ngejrengnya. Aki langsung menuju bangku Yume ketika melihat gadis itu berada di sana. Langsung saja ia menangkap gelagat yang aneh ketika Yume menolak untuk memandangnya. Dan seratus persen mengacuhkannya.

Dan entah pikiran dari mana, Aki malah berkata “Itu tadi… tendangan yang bagus.” 

Demi apa, kenapa malah kalimat itu yang keluar. Dia malah terdengar seperti meminta satu tendangan lagi. Membuatnya makin terdengar seperti seorang Masochist. Tamat sudah karir Aki sebagai pemuda-tampan-dan-populer, berganti menjadi pemuda-masochis-yang-minta-ditendang. Tapi dia berhasil menarik perhatian Yume, meski cuma lirikan sedetik. Setelah itu, gadis itu kembali membuang muka.

Sepanjang sekolah, Yume berpura-pura menulikan pendengaran ketika Aki berbicara padanya, melewati Aki begitu saja ketika pemuda itu berusaha menarik perhatiannya, dan menepis, seperti menepis lalat, segala kontak fisik yang Aki berikan. Yume benar-benar menganggapnya totally invisible

Dan Aki benar-benar merasa bersalah. 

“Hei, aku minta maaf.” Tidak ada nada menggoda atau main-main. Kali ini Aki berbicara dengan suara rendah, serius, namun terselip permohonan. Yume melirik sekilas, menangkap tatapan rasa bersalah di kedua manic coklat itu. Namun kembali fokus untuk mengenakan kedua sepatunya. 

Tanpa menanggapi ucapan Aki, memperbaiki posisi tas di bahunya, Yume berbalik dan berjalan pergi. Meninggalkan Aki yang semakin nelangsa. Sungguh, kemarahan kali ini sangat mengerikan. Aki berlari mendahului Yume dan berhenti di depan gadis itu. Aki ingin menahan kedua bahu Yume, namun ragu mengingat gadis itu selalu menepis tangannya. Tapi sepertinya dia tidak perlu menahan gadis itu. Kali ini ia berhasil menarik perhatiannya. Yume menatapnya datar dengan kedua manik merah yang terlihat kelam di bawah bayangan senja.

“Aku benar-benar minta maaf, sungguh.”

Yume bersedekap, mengetukkan jemarinya di lengan atas. Dan Aki tahu sikap seperti itu. Secara tidak sadar Aki menelan ludah. Dia tidak takut. Kan?

“Aku serius. Aku benar-benar minta maaf untuk—“

Sekali lagi dia harus menelan ketakutan ketika gadis itu masih tidak memberikan respon apapun. Kedua manik merah itu malah terlihat seperti menelanjanginya, merobek tubuhnya dan menarik keluar ketakutannya. Hei, dia laki-laki. Masa takut dengan tatapan seperti itu? 

“Untuk?” Yume membuka suara, kedua maniknya memicing tajam.

Oke, dia takut.

“Un—Untuk itu, untuk ucapanku padamu. Aku tidak bermaksud.” Perlahan Aki melepaskan kedua tangan Yume yang bersedekap dan menggenggam kedua tangan itu. “Tolong jangan perang dingin lagi. Jangan anggap aku tidak ada. Kau sahabat terbaikku, mencuekkanku seperti ini sangat menyakitkan. Jadi, maafkan aku. Please.”

Secepatnya ia menambahkan “Aku tidak akan melakukannya lagi, aku janji.” 

Keheningan merajai. Yume sebenarnya masih kesal dengan Aki. Ia tidak kesal pada ucapan Aki yang mengatakannya bahwa matanya soek atau ia norak, tapi pada ketidakpekaan pemuda itu. Apa pemuda itu tidak menyadari alasan dibalik perubahan besar yang dilakukan Yume? Perubahan yang membuatnya mengorbankan mahkota hitamnya, perubahan yang dilakukannya hanya untuk mendapatkan satu hal kecil dari pemuda itu. Satu hal yang seharusnya pemuda itu sadari sejak dulu. 

Kedua manik merah itu menatap sepasang manik coklat yang menatapnya dengan penuh penyesalan dan permohonan. Dan ia menyadari, ia tidak akan pernah mendapatkan satu hal yang diinginkannya dari pemuda itu. Ia hanya akan mendapatkan gelar 'sahabat terbaik Aki', gelar yang tidak pernah berubah dari dulu. 

Sedetik kemudian helaan berat meluncur dari mulut Yume. Ia menarik kedua tangannya dari genggaman Aki. “Baik, kumaafkan.”

“Yess!” Aki melompat senang sekali lagi berteriak yes dengan tinju di udara. “Kau memang sahabat yang baik.”

Yume memutar mata. Sahabat, eh?“Tapi dengan satu syarat.”

Karena terlalu girang, pemuda itu tanpa basa-basi berkata “Sip, apapun!”

“Aku mau parfait jumbo special di toko dekat stasiun.”

“Tentu saja, kita bisa ke sana sekar—“

“Setiap hari selama tiga bulan.”

“Apa!?”

“Kau sudah menyutujuinya, ingat?”

“Tap-tapi, setiap hari? Yume, ayolah, kau sendiri tahu berapa harganya, bukan? Sama dengan dua kali jatah makan siangku!”

Sekali lagi Yume harus memutar mata tidak peduli. Ayolah, Aki itu orang kaya. Untuk segelas parfait jumbo special tidak akan menguras dompetnya.

“Tidak ada tapi-tapian.” Ucap Yume, berjalan melewati pemuda yang kembali mengalami nelangsa untuk kedua kali. 

Aki berbalik, mengejar Yume dan kembali melakukan hal yang biasa ia lakukan. Merangkul pundak gadis itu. “Bagaimana kalau parfait ekstra kiwi? Itu enak loh.” Kali ini Aki ingin melakukan tawar menawar. Berharap makan siangnya bisa selamat.

“Tidak.”

Terkadang dia membenci sikap keras kepala dari si gadis ini. Apa merah muda membuat sifatnya makin keras kepala? “Kalau yang ekstra pisang dan strawberry? Katanya enak loh, kau kan suka strawberry.”

“Tidak.

Sial. “Bagaimana kalau buatanku? Enak loh…” 

“Tidak.”

“Bagaimana kalau bu—bffp—ugh!” Aki bisa merasakan tinju diperutnya. Pemuda itu langsung saja jatuh bersujud, bergetar menahan sakit. Siaaaaaaaaaaal!

“Kalau kubilang tidak, Tidak. Titik.” Dan tanpa rasa bersalah, Yume kembali berjalan. Dia berhenti lalu berbalik. “Apa yang kau lakukan di sana? Jangan mencium tanah, BakAki. Aku sudah tidak sabar untuk makan.”

“Ugh—salah siapa coba. Sial. Cewek tapi tenaga badak.” Geramnya.

“Apa kau bilang?”

“Aku tidak mengatakan apapun!” serunya, segera berdiri. Jangan sampai serangan kedua melayang ke perutnya. 

“Ayo.” Yume berbalik dan berjalan pergi. 

Tanpa sepengetahuan Aki, Yume tersenyum geli. Sesekali menjadi sangat egois tidak apa, kan?

==o000o==

Sebulan berlalu, keadaan tidak berubah. Yume tetap mempertahankan warna ngejreng di rambutnya, menjadikan pengingat untuk tidak berbuat bodoh lagi, untuk berpikir berkali-kali sebelum mengambil keputusan. Aki masih tidak berubah, kepekaan pemuda itu masih berada di level terendah, nol. Hasilnya, Yume terjebak di dalam status yang paling tidak mengenakkan di dunia. Friendzone. Dengan semua kontak fisik yang mereka lakukan, rasanya seperti merasakan tonjokan di perut berkali-kali. 

“Rasanya melelahkan. Ingatkan aku untuk tidak mendapatkan nilai rendah lagi.” Yume menggerutu, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas sekolah dengan kasar. Dia baru saja mengikuti kelas tambahan hanya karena nilainya berada satu angka di bawah standar. 

“Dan ingatkan aku untuk tidak menemanimu lagi mengikuti kelas tambahan. Ini neraka sekolah!” Seru Aki hiperbolis. 

Menemani. Satu lagi tonjokan tak kasat mata mendarat di perut Yume. Satu hal yang paling dibenci namun tidak bisa ditolaknya adalah perhatian Aki. Yume terkadang merasa kesal jika pemuda itu memberikan perhatian tidak langsung padanya, namun dia juga merasa candu dengan segala hal itu. Dia merasa telah terjebak di dalam lingkaran setan. Ya, Aki si setan sialan.

“Huffth—aku ingin parfait jumbo ekstra.” Helanya.

Oh, ada satu hal yang berubah dari Aki. Pemuda itu menjadi lebih sensitif dengan kalimat ‘Parfait Jumbo Ekstra’. Baru saja dia hendak berjalan keluar, telinganya menangkap tiga kata sakral. Dengan cepat dia berbalik. 

“Wow. Tunggu dulu, tunggu dulu. Janjiku sudah berakhir sejak kemarin, ingat? Jangan minta aku mentraktirmu lagi.”

Yume mengibaskan tangan. Serius deh, dia tidak mengatakan nama pemuda itu, bukan? “Aku tidak memintamu untuk mentraktirku kok.” Ucapnya, lalu berjalan melewati pemuda itu keluar dari kelas.

Aki mengikuti langkah si gadis bersurai merah muda di belakang. “Serius deh, bagaimana bisa kau suka makan benda itu? Kau bisa saja jadi gemuk.”

Yume terkesiap lalu berbalik dengan pose menantang, tangan di pinggang dan mata yang lebar. Aki ini benar-benar tidak peka, ya? Tidak tahukan dia betapa sensitifnya seorang gadis dengan kata’gemuk’? “How could you! Bagaimana bisa kau berkata seperti itu di depan seorang gadis. Kau mendoakanku menjadi gemuk?”

Karena kejadian sebulan lalu, Aki refleks menutup selangkangan dengan kedua tangannya. Jangan sampai sepatu itu mendarat di sana, lagi. “Err—aku tidak bermaksud mendoakanmu. Maksudku, sesekali berhentilah makan itu. Kau sudah makan selama sebulan dan kau tidak bosan sedikit pun.” 

“Aku menyukainya, mana mungkin aku bosan. Bodoh.”

“Yeah, yeah, aku memang bodoh. ” Aki memutar mata, lalu menyeringai. “Setidaknya aku tidak cukup bodoh untuk mengikuti kelas tambahan.”

Sekali lagi Yume terkesiap. Dari pose menantang, berganti menjadi bersedekap. Pipinya menggelembung karena kesal. “Ugh—aku tahu aku bodoh.”

“Yah, kau memang bodoh.”

“Aku memang orang bodoh.”

Yes, you are

“Saking bodohnya aku malah menyukaimu.”

“Apa katamu?”

“Hah?”

“Tadi apa katamu?”

Sial. Keceplosan. 

Aki perlahan mendekat. “Tadi kau bilang—“

“Aku tidak mengatakan apapun!” Kilah Yume. Gadis itu segera berbalik, menyembunyikan wajahnya yang terasa panas. Dia tahu sekarang rona wajahnya sama dengan warna rambutnya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Sial, kenapa malah keceplosan.

“Hei!” Aki menyentuh pundak Yume, menarik paksa gadis itu untuk berbalik. “Aku dengar. Kau bilang kau menyukaiku.”

Astaga. Yume benci dengan karakter Aki yang tidak pandang bulu dalam berbicara. Pemuda itu bahkan tidak ragu saat mengatakan ‘Kau bilang kau menyukaiku’. Tidak tahukah dia, si gadis bersurai merah muda ini sudah hampir mengalami hipertensi saking tingginya tekanan darahnya saat ini? Yume bisa mendengar suara jantungnya yang nyaris meledak.

“Tidak. Aku tidak mengatakan apapun.” Sekali lagi Yume berkilah, kali ini dengan tambahan gelengan dari kepalanya yang menunduk malu.

“Jangan bohong. Kau pikir aku tuli?” Aki menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya. Perlahan mengangkat wajah itu untuk menatap sepasang buah ceri di mata si gadis. Aki juga bisa melihat wajah merona Yume, ekspresi yang sangat langka untuk dilihat. Dan ia berpikir, ini ekspresi terlucu Yume yang pernah dilihatnya. “Kau bilang kau menyukaiku, sungguh?” Buru-buru dia kembali berucap ketika sepasang ceri itu mengalihkan pandangan. “lihat aku, dan jawab dengan jujur.”

Yume tidak bisa memberontak. Dia seperti tidak punya daya untuk mengangkat kedua tangannya untuk melepaskan kedua tangan besar di kedua pipinya. Dia ingin mengalihkan pandang, tapi pemuda itu menuntut untuk melihatnya. Jujur saja, Yume tidak sanggup untuk melihat dua coklat yang menatapnya penuh keseriusan seperti itu. Jadi sekali lagi ia memalingkan pandangan dan dengan suara yang nyaris mencicit ia berkata “Hu uh.”

Ini saat yang serius, tapi Aki tidak tahan untuk mempermainkan wajah Yume. Apalagi dengan tambahan suara cicitan itu, membuat gadis itu terlihat bagai kelinci merah muda. Aki menekan kedua pipi gadis itu, membuat mulut gadis itu tampak mengerucut. “Jadi—“ sambil mempermainkan wajah Yume. “kau menyukaiku.” 

Kali ini dia berhenti mempermainkan wajah Yume. “Sejak kapan?”

Butuh waktu beberapa detik bagi Yume untuk menjawab “Aku tidak tahu.” Benar, Yume sendiri tidak tahu kapan dia menyukai Aki. Dulu ia merasa nyaman dengan statusnya sebagai ‘Sahabat Terbaik’, namun perlahan Yume berharap lebih. Lebih dari sekedar terjebak di dalamFriendzone.

“Kau tidak tahu?”

Yume menarik paksa kedua tangan Aki dari wajahnya, lalu berseru “Ya, aku tidak tahu! Bisakah kau tidak bertanya lagi? Kau membuatku jadi tampak memalukan.”

Aki tentu saja terkejut ketika gadis itu berteriak padanya. Hei, dia tidak bermaksud untuk membuat Yume malu. Dia hanya ingin tahu kenapa gadis itu menyukainya. Aki menyentuh bahu Yume. “Aku minta maaf, aku tidak—“ Aki terpaksa menelan ludah saat melihat bagaimana kedua manik merah itu terlihat goyah, dan bagaimana kedua belah bibir itu terlihat begitu menggoda untuk— Tidak! Aki berkedip beberapa kali, berharap dia bisa mempertahankan prinsip yang selama ini dia coba untuk pertahankan. Kenapa sih, fokus untuk menatap mata Yume begitu sulit? “aku tidak bermaksud untuk—“

Persetan dengan prinsip!

Aki perlahan mendekatkan wajah. Yume pun melakukan hal yang sama, tergoda untuk mengikuti keadaan. Kedua pasang manik itu menutup. Kedua wajah saling menipiskan jarak di antara mereka. Sesuatu yang tanpa mereka sadari, selalu mereka nantikan selama ini. Sebuah sentuhkan kasih sayang yang selama ini keduanya anggap tidak akan pernah terjadi.

Hingga saat keduanya nyaris bertemu, Aki menarik diri. “Tidak, ini tidak benar.”

Yume sontak membuka mata. “Tidak benar?”

Pemuda itu hanya diam, tidak memberikan jawaban. Bahkan tidak berani untuk memandangnya.

“Tidak benar katamu?” Yume tidak percaya dengan apa yang dilakukan Aki. Menarik diri darinya? “Kau baru mengatakan ini tidak benar setelah kita nyaris— lucu sekali, Aki. Kau membuatku tertawa.” Namun tidak ada satupun tawa yang keluar dari mulut Yume.

Kali ini pemuda itu berani memandangnya, namun dengan pandangan nelangsa, seperti yang dia lihat sebulan yang lalu. Dengan serius pemuda itu berkata “Aku tidak bermaksud untuk menjadikan ini seperti permainan. Aku hanya merasa bahwa ini tidak benar."

Yume menyadari satu hal. Aki menolaknya. “Harusnya kau mengatakannya sebelum—sebelum semuanya menjadi sejauh ini!” Serunya. Yume bisa merasakan napasnya memburu sekarang. Kedua matanya bahkan terasa panas.

“Aku tidak ingin merusak hubungan persahabatan kita.”

“Tapi kau baru saja merusaknya.” Putusnya. 

Yume berbalik dan segera berjalan pergi. Dia tidak tahan berada di sana. Kedua matanya terasa panas, dan semakin lama dia berada di sana, dia tidak akan bisa menahan air matanya yang akan jatuh. Dia tidak ingin pemuda itu melihatnya menangis. Membuatnya menjadi tampak lemah. 

Aki merasa tidak enak. Sungguh, dia tidak bermaksud melakukannya. Selama ini dia menjaga hubungan mereka, menahan egonya agar mereka berdua tidak terikat dalam hubungan yang mereka anggap lebih baik namun suatu saat dapat merusak hubungan mereka jika semuanya tidak berjalan mulus. Dia ingin semuanya tetap seperti sebelumnya. 

“Kau baik-baik saja?” Tanya pemuda itu ragu.

Aki bisa melihat gadis itu mengangguk. Namun suara yang teredam itu membuatnya khawatir. “Aku ... baik-baik saja.” Bagi Aki, itu tidak terdengar baik.

Yume sendiri tidak dapat menahan air matanya di langkah ketiga. Air matanya mengalir begitu saja tanpa bisa dia tahan. Yume menutup mulut agar pemuda itu tidak mendengar suaranya yang bergetar. 

“Yume—“ Aki hendak mengejar gadis itu. Namun berhenti ketika gadis itu mengangkat tangannya dan tanpa sedikit pun menoleh, berkata. “Aku ingin sendiri.”

Yume terus berjalan tanpa menoleh, berusaha agar dari belakang terlihat tegar. Namun sebenarnya gadis itu terus menangis, bahkan tidak tahu bagaimana menghentikan air matanya. Kedua tangannya menutup mulutnya untuk meredam suara isakan yang keluar. 

Yume merasa bahwa dia telah kehilangan segalanya.

(...to be continued...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar