Jumat, 21 Juni 2013

The Last

Kehidupan memang seperti kotak kejutan, tidak akan tahu apa di dalamnya sebelum membukanya. Kau tidak akan tahu apa yang terjadi padamu nantinya. Tidak akan tahu, dan kau harus tetap menghadapinya.


Awalnya semua baik-baik saja, tidak ada yang aneh sedikit pun. Kondisi tubuhku pun baik-baik saja. Tapi suatu hari, rasa sakit menyerang kepalaku. Kepalaku seperti dicengkeram dengan kuat, dihantamkan dengan sebuah batu berkali-kali. Rasanya kepalaku mau pecah saja. Rasa sakit itu terkadang menghilang, dan kemudian muncul di saat tidak terduga.

Kupikir ini hanya sakit kepala biasa, dan setablet aspirin mampu menenangkannya, meski hanya untuk sementara.  Tapi semakin waktu berjalan, obat pereda nyeri itu tidak lagi mampu memberikan efek yang kuinginkan. Kemunculannya yang tidak terduga, dan rasa sakit yang sangat membuatku memutuskan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit.

Dan tidak kuduga, hasilnya begitu mengejutkan. Melihat hasil rontgen, terdapat sebuah benjolan kecil di kepalaku. Dokter mendiagnosis benjolan kecil itu adalah tumor otak, penyebab dari sakit kepala yang terus kuderita. Aku hanya bisa terpaku melihat hasil rontgen di depan mataku, tidak dapat kubayangkan penyakit ini akan bersarang di kepalaku, di umurku yang masih terbilang muda. Tidak dapat kubayangkan bagaimana reaksi kedua orang tuaku saat tahu benjolan ini bersarang di kepalaku.

“Apa – apa ini bisa disembuhkan?” Aku menatap dokter yang duduk di depanku, menatap tepat kematanya. Aku ingin memperoleh kepastian.

“Ya, kita dapat melakukan operasi pengangkatan.” Jawabnya.

Entah bagaimana raut dokter tidak dapat membuatku lega. Seolah pria paruh baya itu menyembunyikan sesuatu yang penting.

“Tidak ada yang berjalan dengan baik, kan? Dok?” kurasakan tanganku bergetar. Aku tahu, aku takut.

“Resikonya sangat besar. Sangat kecil kemungkinan untuk bertahan hidup.” Ujarnya.

Aku menunduk, menatap hasil rontgen di tanganku. Tanganku bergetar hebat, perasaanku benar-benar berkecamuk. Aku takut. Sangat takut. Dan aku teringat satu hal. Umur. Ya, seperti di film-film, dokter mendiagnosa umur pasien kan?

“Perkembangan kanker sangat cepat. Dapat diperkirakan, hanya dapat bertahan hingga 6 bulan.”

“6 bulan?” 6 bulan? Hanya 6 bulan?

“Ini hanya hipotesis saja, karena saya tidak bisa menduga secara tepat. Jika anda menjalani kemoterapi, ada kemungkinan waktu akan menjadi lebih lama. Tapi terserah pada anda. Tapi saya menyarankan anda untuk ikut kemoterapi.”

Kemoterapi, teknik penyembuhan untuk menghambat atau menghentikan perkembangan sel kanker. Dan kurasa aku membutuhkannya sebelum operasi.

“Kemoterapi… apa akan menyakitkan?”

“Tidak.” Jawabnya, meski aku sendiri ragu dengan apa yang dia katakan. 

“Baiklah…” Aku menarik napas dan menghembuskannya pelan. Ini tidak bisa dibilang lega. Apa yang harus kulakukan? "Saya akan mempertimbangkannya, dok."

Semenjak pulang dari pemeriksaan, kepalaku dipenuhi dengan masalah ini. Aku tidak mengerti, kenapa ini bisa terjadi padaku?  Apa hanya segini umur yang dititipkan Tuhan kepadaku? Jika aku mati, bagaimaimana dengan kedua orang tua dan adik-adikku? Apa mereka akan sangat sedih? Bagaimana dengan teman-temanku? Aku menutup mataku, memikirkan semuanya. Air mataku mengalir perlahan dari kedua sudut mataku. Aku tahu, aku takut. Apakah begini rasanya saat mengetahui kapan kau akan mati?

Beberapa hari kemudian aku kembali ke kampus. Aku membutuhkan beberapa hari untuk menenangkan pikiranku. Tidak ada yang berubah. Seperti biasa, kuliah. Teman-teman bertanya, kemana aku beberapa hari ini, membolos kuliah? Aku hanya menjawab mereka sambil tersenyum. “Hanya sedikit urusan.”

“Bagiamana ya kalau aku mati?” Aku bertanya pada seorang teman saat pergantian waktu. Pandanganku tidak lepas dari pohon besar yang kutatap dari lantai dua gedung fakultas. Angin bertiup pelan, membuatku merasakan hembusan lembut yang kembali mengingatkanku pada selembar kertas hitam yang kini kusembunyikan di bawah lipatan baju di lemari.

Yang kutanya menatapku heran, tentu saja, mungkin dia sedang berpikir, setan mana yang merasukiku untuk bertanya seperti itu? 

“Apa dunia akan tetap berjalan seperti biasa?” 

Dapat kudengar dia menghela napas pelan, lalu menatap pada pohon besar yang juga sedang kutatap saat ini. “Ya, lagipula hanya satu orang, dan kau juga bukan presiden hingga tidak begitu penting untuk diingat.” Dan aku hanya bisa diam.

Ya, hanya satu orang, tidak ada pengaruhnya. Hanya aku yang akan mati, bukan orang terkenal, bukan seorang presiden, sehingga satu negeri tidak akan menangis jika kehilanganku. Hanya aku.

“Kalau aku mati, jadi setan dong?” Dan perbincangan itu diakhiri dengan tawa dengan sedikit candaan bahwa aku akan menghantuinya kelak.

#####

"Bagaimana kuliahmu di sana?" 

"Seperti biasa." Jawabku singkat.

Jeda yang cukup lama lalu kembali terdengar suara di seberang sana. "Jaga diri baik-baik, jaga kesehatan, dan belajar yang rajin." Seperti biasa, petuah itu terdengar hampir setiap pagi. 

Aku tersenyum. Meski pembicaraan ini terdengar canggung, aku akui aku selalu merindukan pemilik suara yang sudah hampir setahun tidak kutemui. "Ya, bu." jawabku singkat. 

"Ya sudah, pagi ini ke kampus kan? Siap-siap ya, jangan lupa sarapan. Ibu juga harus ke kantor." Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum mendengar segala perhatian bertubi-tubi yang diberikan. Sungguh, aku senang. "Sampai nant–"

"Bu." 

"Ya?" 

Aku menggigit bibir bawahku, menimbang ingin memberitahukan pada beliau atau tidak. Aku terlalu takut membayangkan apa yang akan terjadi jika beliau mengetahuinya. Aku tahu Ibuku orang yang seperti apa, terlalu khawatiran, dan itu membuatku ragu untuk memberitahukannya. Terlalu buruk, dan beresiko. Aku menghela napas. "Sampai nanti"

"Ya, akan ku telepon lagi nanti." Dan yang terdengar hanya sambungan suara telpon yang diputus.

"Maaf, bu." Gumamku, menatap kosong pada layar ponselku yang menjadi gelap.

########


Thanks for enjoy, dan kurasa akan berlanjut.

3 komentar: