Jumat, 27 Januari 2012

Expression 2


Lanjutan dari Expression
Please Enjoy~

Ketika apa yang diharapkan terwujud, dan semuanya menjadi tidak terkendali.





Sejak keputusan yang secara tiba-tiba kukeluarkan dua hari lalu di bawah pohon sakura, sudah dua hari pula aku tidak melihat Misa datang ke sekolah. Khawatir? Sangat. Meski aku memutuskan untuk berpisah sementara, tetap saja Misa masih pacarku. Dan aku masih sayang padanya. Dua hari ini pula aku ke rumahnya. Hasilnya? Nihil. Misa tidak ingin ditemui olehku. Oleh pacarnya sendiri.

Aku menoleh ke belakang, melihat meja yang berada di sudut paling belakang. Disitulah Misa duduk. Biasanya, di pagi hari seperti ini dia sudah datang lebih cepat dari yang lainnya, dan menatap di luar jendela kelas, entah apa yang dilihatnya. Itu tanda tanya besar di  kepalaku, selain tanda tanya – tanda tanya lain yang berseliweran di kepalaku tentang dirinya.

Kalau sudah istirahat siang pun, selain ke perpustakaan, ke pohon sakura, atau menemaniku ke kantin, dia akan tetap berada di bangkunya sambil menatap keluar jendela. Melihat sesuatu-entah-apa. Dan aku akan duduk di depannya sambil menatap wajahnya, terutama mata ruby-nya yang menawan, menikmati pemandangan terindah yang diciptakan Tuhan untukku. Berlebihan? Tertawalah.

BRAK!

Terdengar suara pintu yang dibanting dengan keras. Aku segera tersadar dari lamunanku, lalu menoleh ke arah pintu kelas. Loh?

“Selamat pagi, semua~” Suara itu terdengar ceria dan penuh semangat.

Aku segera berdiri, berlari menghampiri sosok yang masih berdiri di pintu kelas. “Misa! Kenap—“

Aku berhenti berbicara, mengamati sosoknya dari rambut sampai kaki. Ujung bawah seragam dibiarkan berada di luar, dengan kancing teratas dibuka, memperlihatkan leher putihnya. Dasi diikatkan secara longgar di lehernya. Lalu roknya, lima senti di atas lutut. Membuatku harus bersusah payah menelan ludah melihat pahanya yang putih dan terlihat mulus. Apa yang terjadi padanya?

“Pagi, Sora-kun” suaranya terdengar manja.

Kurasakan sesuatu melingkar di leherku. Tangan Misa. Eh? Bener nih? Wajah Misa begitu dekat, Aku melirik ke samping, semuanya menatap kami tidak percaya. Lalu melirik lagi ke Misa. Wajahnya semakin dekat dan dekat, membuatku harus memundurkan kepalaku. Dan aku sadar satu hal lain yang berbeda darinya. Kemana mata ruby-nya?

Aku melepaskan kedua tangannya dari leherku. “Kita harus bicara.” Putusku. Lalu menariknya keluar kelas.

Aku baru saja hendak membuka mulutku, tapi kuhentikan saat kulihat banyak kepala muncul dari pintu. Aku menoleh ke belakang, ke pintu lainnya melihat banyaknya kepala yang menyembul. Kuperkirakan seluruh siswa di kelas mengintip kami. Mereka ingin mengetahui apa yang terjadi, lebih tepatnya penasaran dengan Misa yang sekarang.

“Apa yang terjadi padamu?”

“Loh, kan sora sendiri yang menginginkan seperti ini.” Ujarnya terdengar manja. Kalau orang lain akan meleleh mendengarnya, tapi aku merasa risih mendengar suara yang dibuat-buatnya itu. Ini bukan Misa. Aku sendiri yang menginginkannya seperti itu? Benarkah? Aku teringat ucapanku tentangnya yang pasif. Tidak kusangka dia akan berubah sedrastis ini. Aku mengacak rambutku.

“Nah, sudah kuberikan kan apa yang kau mau.” ujarnya lambat-lambat, sambil meraih leherku dengan kedua tangannya. Aku berusaha mundur, tapi dia berhasil mengalungkan tangannya di leherku. Membuat jarak kami menjadi sangat dekat. Bukan! Ini bukan Misa! Aku yakin 100%. Kemana Misa, pemilik mata Ruby yang kusayang?

“Lalu, kenapa kau memakai kontak lens kuning?”

“Kenapa? Kau tidak suka? Padahal kan aku terlihat imut.” Ujarnya, cemberut sambil memanyunkan bibir. Dia terlihat Imut. Kuulangi, imut.

Aku memundurkan tubuhnya dengan mendorong bahunya pelan, berusaha menjauhkan wajahnya yang terus mendekat kepadaku. Kurasa dia akan menciumku. Bukan berarti aku tidak mau, tapi aku tidak suka dalam situasi seperti ini. “Aku lebih suka matamu yang merah.”

Misa memundurkan wajahnya dan kulihat ekspresi wajahnya berubah menjadi seperti terkejut. Lalu melepas kedua tangannya dari leherku, membuatku mendesah lega. “Kau tidak suka?” nada suaranya terdengar melemah. Kulihat matanya tampak berkaca-kaca. Dia akan menangis? Menangis? Bagamana bisa emosinya berubah secepat itu?

“Kau tidak—suka?” ujarnya terbata-bata.

“Bu-Bukan tidak suka. Tapi tidak cocok untukmu.”

“Tidak—cocok?” ugh! Dia benar-benar akan menangis.

“Oke, oke. Aku suka. Sangat suka dengan mata kuningmu.” Ujarku, terpaksa berbohong. Padahal aku lebih suka mata merahnya itu.

“Benarkah?” Matanya yang berkaca-kaca berganti menjadi berbinar-binar. Bagaimana bisa dia mengubah emosi secepat itu dalam waktu singkat? Ini bukan Misa yang kukenal.

Misa lagi-lagi mendekat, memelukku dan dengan cepat mencium pipiku. “Terima kasih, Sora-kun. Aku mencintaimu.” Ujarnya lalu berbalik dan kembali masuk ke dalam kelas sambil berlari riang. Aku menyentuh pipiku yang diciumnya. Hangat, membuat darahku berdesir. Dia tidak pernah menciumku sebelumnya. Apa yang terjadi dengan Misa-ku?

Tapi kurasa aku akan menyukai keadaan seperti ini. “Aku juga mencintaimu.” Desahku, masih berdiri mematung di luar kelas.

Bel istirahat baru saja berbunyi. Baru saja aku hendak memasukkan buku-bukuku ke laci meja, sepasang tangan melingkar di leherku. Kurasakan desahan napas yang hangat dari seseorang. Siapa? “Sora-kun~” suara ini, Misa. Aku sedikit menolehkan wajahku, melihatnya dari sudut mataku. “A-Ada apa, Misa?” tanyaku gugup. Aku tidak terbiasa dengan tingkah manja Misa. Baru kali ini dia seperti ini. Biasanya aku yang menghampirinya. Tapi sekarang dia yang mendekatiku. Malahan lebih dari yang kubayangkan.

Misa melepaskan tangannya dari leherku, lalu berdiri di sampingku. Dia tersenyum, tapi senyumannya malah membuatku risih. Sepertinya ada sesuatu yang tidak enak. Misa lalu duduk di atas pahaku, membuatkku kaget. Aku mengangkat kedua tanganku, tidak berani menyentuhnya.

“A-apa yang kau lakukan?” tanyaku.

“Aku hanya ingin duduk.” Jawabnya enteng.

“Tapi kan masih ada kursi yang lain.”

“Kau tidak suka?” tanyanya, lagi-lagi menunjukkan wajah cemberutnya.

“Bukan gitu. Tapi—yang lain memperhatikan loh.” Ujarku melirik ke arah di mana belasan pasang mata menatap kami. Ada pandangan iri, kaget dan tidak percaya.

“Tidak apa kan. Biarkan mereka melihat kemesraan kita.” Lalu menyandarkan kepalanya di lenganku. “Lagipula, kau juga menginginkan yang seperti ini, bukan?” ujarnya sambil memainkan kancing kemeja seragamku, lalu memainkan jari-jemarinya di dadaku, memberikan sensasi aneh.

Glek!

Napasku memburu, jantungku berdegup dengan cepat. Aku seperti sedang menaiki roller coaster tercepat di dunia. Misa tidak pernah melakukan ini. Tidak pernah. Bukan berarti tidak senang, tapi ini tidak seperti Misa yang kukenal. Apa dia sedang mengerjaiku? Tapi dia tidak pernah mengerjaiku sekalipun, dan sepertinya tidak mungkin dilakukannya. Lalu siapa yang duduk di pahaku sekarang kalau bukan Misa? Saudara kembarnya? Tidak mungkin, dia hanya punya dia saudara laki-laki.

Kulirik Misa yang masih asik duduk di pahaku sambil menyandarkan kepalanya. “Misa, lebih baik kita ke kantin sekarang, sebelum kantinnya penuh.”

“Benar juga.” Ujarnya, lalu berdiri, membuatku dapat bernapas dengan lega.

“Ayo, kita segera pergi.” Ujarnya penuh semangat, lalu menarik tanganku.

Loh? Loh? Selama ini aku yang menarik tangannya, sekarang malah sebaliknya.

Perubahan 180 derajat dari Misa tentunya menarik perhatian. Apalagi sepanjang jalan orang-orang melihat kami dengan pandangan penuh tanya dan saling berbisik. Jika biasanya mereka melihat aku menggandeng tangan Misa yang tanpa ekspresi seolah sedang diseret, sekarang pemandangan yang mereka lihat Misa bergelayut manja di lenganku. Ada rasa senang karena Misa yang bermanja-manja, tapi ada juga perasaan risih karena pandangan orang-orang kepada kami.

“Aaaaa….”

“Apa yang kau lakukan?” tanyaku melihatnya menyodorkan sumpit dengan segulung shusi. Kami sudah berada di kantin, duduk di bangku yang biasa kami duduki.

“Aku menyuapimu.” Ujarnya santai. Aku mengangkat alis. Benarkah? Menyuapi? Menyuapiku? Aku ulangi, Misa menyuapiku. Selama ini dia hanya menikmati makanannya sendiri dalam diam, tapi sekarang dia mau menyuapiku? Apa aku berada di dalam mimpi? Aw! Aku mencubit diriku sendiri, meyakinkan bahwa ini nyata.

“Nah, aaaaaa…..” Misa kembali menyodorkannya makanannya padaku. Tentu saja aku langsung menerimanya dengan senang hati. Siapa sih yang  tidak mau disuapin sama pacarnya? Aku melakukan hal yang sama padanya. Yang seperti inilah yang selama ini kuinginkan. Tidak apalah jika Misa berubah menjadi seperti ini. Setidaknya menguntungkanku kan.

“Sora”

Aku mendongak, melihat dua orang bermata kuning menatapku tajam. “Otsuki? Ryuujin senpai?”

“Neechan? Mau makan bersama kami?”

Kulihat kedua orang itu menatap Misa dengan lembut dan tersenyum. “Tidak, Misa-chan. Kami hanya perlu berbicara dengan sora.” Ujarnya, lalu menatapku. Ketika menatapku, wajah mereka kembalil stoic. Kedua pasang mata itu kembali menatapku tajam.

“Ikut kami.” Lalu keduanya berbalik sambil tersenyum. Aku tidak yakin jika itu benar-benar suatu senyuman.

“Misa, aku harus—“ aku tidak meneruskan kata-kataku. Aku berdiri lalu mengikuti mereka hingga keluar dari kantin, dan berhenti di sudut koridor yang tidak jauh dari kantin.

Jujur saja, aku tidak mau berurusan dengan dua saudara bermata kuning ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku berpacaran dengan adik mereka. Keduanya bermata kuning dan berwajah datar. Ryuujin senpai dan Otsuki sangat menyayangi adiknya. Aku berasumsi mereka mengidap penyakit sister complex.

Dan sekarang, keduanya sedang memojokkanku di tembok dan menatapku dengan tatapan kuning mereka seolah aku ini mangsa yang sudah siap untuk disantap. “Apa yang kau lakukan pada Misa?” Ryuujin senpai membuka suara. Aku menggeleng cepat. “Kalau kau tidak melakukan apapun padanya, kenapa dia berubah seperti itu sekarang?” tanyanya lagi. Dan lagi-lagi aku menggeleng cepat sebagai jawaban.

“Apa kau bisu? Sejak tadi menggeleng saja. Katakan sesuatu” Otsuki yang berbicara.

“Aku tidak melakukan apapun padanya.”

“Benarkah?” Ryuujin senpai menaikkan kedua alisnya, tidak percaya pada perkataanku.

“Terakhir kali kulihat kau menggoda gadis-gadis lain di depan Misa.” Ujar Otsuki.

“Be—Benarkah?” aku melirik ke kiri, berpura-pura tidak ingat.

“Bahkan kau menggoda Ai.” Ryuujin mengepalkan kedua tangannya dan menyatukan kepalannya di depan wajahku. Ini yang kutakutkan.

“Bu-bukan seperti itu. Aku—“

“Mencoba mencari alasan, eh?” Otsuki mencengkram satu bahuku dan mendorongnya hingga bersentuhan dengan tembok. Sepertinya dia tidak ingin aku kabur sebelum mendapatkan pukulan dari Ryuujin. Damn.

“Apa yang sedang kalian lakukan?”

Kami menoleh ke sumber suara. Mendapati Misa menatap kami dengan pandangan bertanya. Dengan cepat Ryuujin menurunkan tangannya, dan Otsuki melepaskan cengkraman tangannya dari bahuku. Aku bisa bernapas lega.

“Kami tidak melakukan apapun kok, Misa-chan.” Otsuki menghampiri Misa sambil tersenyum. Bohong! Mereka hampir memukulku.

“Ya, kami tidak melakukan apapun Misa-chan.” Ryuujin juga menghampiri Misa lalu memeluknya.

See? Sudah kuduga mereka sister complex. Belum lagi mereka seperti punya dua wajah. Wajah pertama sering mereka tunjukkan, wajah stoic yang selalu menatap datar dengan mata kuning mereka. Dan wajah kedua mereka tunjukkan kalau bersama Misa. Mereka akan memasang senyum termanis mereka sambil menatap dengan lembut.

“Kenapa kalian begitu lama?”

“Kami hanya sedang bermain-main.” Ujar Ryuujin masih memeluk Misa. Ugh! Ini membuatku cemburu. Lalu Ryuujin menatapku tajam, memasang wajah stoic-nya. “Ya kan, Sora?” Aku memutar mataku. Otsuki melakukan hal yang sama, lalu aku mengangguk cepat. Sebaiknya jangan memancing emosi mereka lagi.

Misa melepaskan tangan Ryuujin yang memeluknya, membuat wajah Ryuujin tampak kesal. Misa lalu menghampiriku. “Kalau begitu selesai dengan main-mainnya. Sora, ayo kembali ke kantin.” Ujarnya lalu menarik tanganku dan membawaku pergi. Aku menoleh ke belakang, melihat kedua bersaudara itu menatapku dengan penuh kekesalan. Aku memalingkan wajahku, sebaiknya jangan menatap mereka lagi.

Kupikir sifat Misa yang seperti ini hanya bertahan sehari. Tidak kusangka sudah 3 hari ini dia seperti itu. Oke, jujur saja, Misa yang sekarang ini lebih menyenangkan. Sifatnya yang manja padaku dan lebih agresif membuat semangatku lebih naik.

Awalnya kuduga dia hanya seperti itu padaku. Tidak kuduga dia juga melakukannya pada laki-laki yang lain. Misalnya seperti sekarang ini, ketika kami sedang berada di kantin, dia menyapa laki-laki yang berjalan melewati meja kami. Kalau dia menyapanya dengan cara biasa, aku sih tidak masalah. Tapi, dia menyapa mereka dengan suara manja yang dibuat-buat, seolah sedang—menggoda mereka.

“Misa, makanlah, dan berhenti menyapa mereka.” Ujarku

Misa memakan makanannya, tapi hanya tiga suapan. Lalu berikutnya kembali menyapa laki-laki yang lewat. Aku ingat situasi seperti ini, ketika aku menyapa gadis-gadis yang lewat di meja kami. Jadi seperti ini rasanya menjadi Misa pada waktu itu? Sakit. Tapi, Misa bilang dia tidak cemburu. Apa sekarang dia sedang mengerjaiku?

Bukan hanya di kantin. Di kelas pun begitu. Dia sedang duduk di bangkunya yang berada di sudut belakang kelas, tapi dikelilingi oleh beberapa laki-laki. Aku tidak menyangka perubahannya membuatnya menjadi populer. Sebelumnya dia tidak pernah dikelilingi oleh lelaki manapun, kecuali kedua saudaranya. Terlihat mereka asik bercanda dan Misa tertawa dengan riang. Sebelumnya aku tidak pernah melihatnya seperti itu. Hatiku terasa panas. Sangat panas. Aku terbakar cemburu.

Aku harus menasehatinya. Aku segera menghampirinya lalu menariknya keluar kelas. “Misa, berhenti melakukan itu.” Perintahku.

“Melakukan apa?” tanyanya, terlihat seolah-olah dia tidak mengerti apa yang kumaksud.

“Menyapa mereka, duduk bersama mereka.” Ujarku, lalu dia tertawa membuatku mengernyitkan dahi melihat tingkahnya.

“Jangan tertawa, Misa. Aku serius. Berhenti melakukan semua itu. Kau itu pacarku.”

Dan lagi-lagi dia tertawa. “Benarkah?” ujarnya di sela tawanya. “Bukannya kita tidak berhubungan untuk sementara saat ini? Kau sendiri yang memintanya kan?” ujarnya setelah berhenti dari tawanya.

“Apa!? Aku tidak—“ Oh, tidak. Aku teringat pada ucapanku yang terakhir padanya. Damn!

“Meski begitu kau masih pacarku, Misa”

“Sudahlah, aku harus kembali. Mereka menungguku.” Ujarnya, lalu berbalik dan masuk ke dalam kelas.

“MISA! DENGARKAN KATA-KATAKU!” teriakku. Dan sepertinya dia tidak mempedulikannya, karena aku mendengar tawanya bersama laki-laki yang mengelilinginya.

Damn! Aku kesal. Aku menendang pintu kelas dengan keras, tidak peduli dengan sumpah serapah yang mereka lontarkan kepadaku. Dan aku berakhir di toilet dengan alat pembersih ditanganku karena seorang guru melihatku menendang pintu kelas.

3 komentar:

  1. Misa jahat! putusin Misa, gue yang nyuruh, cepet putusin dia! Aaaaarghh...

    BalasHapus
  2. yang komen diatas lagi galau mohon maaf ya wkwkwk

    BalasHapus
  3. hahahahaha
    mas feby lagi galau karena menjelang malam mingguan tuh. jomblo ngenes *eaaa
    kalau Misa diputusin, kasihan Sora. kayaknya Sora masih cinta tuh.

    BalasHapus