Fanfiction for
Naruto-Indo – Naruto Roleplay Forum
Lanjutan dari
Expression
Please Enjoy~
Ketika apa yang
diharapkan terwujud, dan semuanya menjadi tidak terkendali.
Sejak keputusan yang secara tiba-tiba kukeluarkan dua hari lalu di bawah pohon sakura, sudah dua hari pula aku tidak melihat Misa datang ke sekolah. Khawatir? Sangat. Meski aku memutuskan untuk berpisah sementara, tetap saja Misa masih pacarku. Dan aku masih sayang padanya. Dua hari ini pula aku ke rumahnya. Hasilnya? Nihil. Misa tidak ingin ditemui olehku. Oleh pacarnya sendiri.
Aku menoleh ke
belakang, melihat meja yang berada di sudut paling belakang. Disitulah Misa
duduk. Biasanya, di pagi hari seperti ini dia sudah datang lebih cepat dari
yang lainnya, dan menatap di luar jendela kelas, entah apa yang dilihatnya. Itu
tanda tanya besar di kepalaku, selain
tanda tanya – tanda tanya lain yang berseliweran di kepalaku tentang dirinya.
Kalau sudah istirahat
siang pun, selain ke perpustakaan, ke pohon sakura, atau menemaniku ke kantin,
dia akan tetap berada di bangkunya sambil menatap keluar jendela. Melihat
sesuatu-entah-apa. Dan aku akan duduk di depannya sambil menatap wajahnya, terutama
mata ruby-nya yang menawan, menikmati pemandangan terindah yang diciptakan
Tuhan untukku. Berlebihan? Tertawalah.
BRAK!
Terdengar suara pintu
yang dibanting dengan keras. Aku segera tersadar dari lamunanku, lalu menoleh
ke arah pintu kelas. Loh?
“Selamat pagi, semua~”
Suara itu terdengar ceria dan penuh semangat.
Aku segera berdiri,
berlari menghampiri sosok yang masih berdiri di pintu kelas. “Misa! Kenap—“
Aku berhenti berbicara,
mengamati sosoknya dari rambut sampai kaki. Ujung bawah seragam dibiarkan
berada di luar, dengan kancing teratas dibuka, memperlihatkan leher putihnya.
Dasi diikatkan secara longgar di lehernya. Lalu roknya, lima senti di atas
lutut. Membuatku harus bersusah payah menelan ludah melihat pahanya yang putih
dan terlihat mulus. Apa yang terjadi padanya?
“Pagi, Sora-kun”
suaranya terdengar manja.
Kurasakan sesuatu
melingkar di leherku. Tangan Misa. Eh? Bener nih? Wajah Misa begitu dekat, Aku
melirik ke samping, semuanya menatap kami tidak percaya. Lalu melirik lagi ke
Misa. Wajahnya semakin dekat dan dekat, membuatku harus memundurkan kepalaku.
Dan aku sadar satu hal lain yang berbeda darinya. Kemana mata ruby-nya?
Aku melepaskan kedua
tangannya dari leherku. “Kita harus bicara.” Putusku. Lalu menariknya keluar
kelas.
Aku baru saja hendak
membuka mulutku, tapi kuhentikan saat kulihat banyak kepala muncul dari pintu.
Aku menoleh ke belakang, ke pintu lainnya melihat banyaknya kepala yang
menyembul. Kuperkirakan seluruh siswa di kelas mengintip kami. Mereka ingin
mengetahui apa yang terjadi, lebih tepatnya penasaran dengan Misa yang
sekarang.
“Apa yang terjadi
padamu?”
“Loh, kan sora sendiri
yang menginginkan seperti ini.” Ujarnya terdengar manja. Kalau orang lain akan
meleleh mendengarnya, tapi aku merasa risih mendengar suara yang dibuat-buatnya
itu. Ini bukan Misa. Aku sendiri yang menginginkannya seperti itu? Benarkah?
Aku teringat ucapanku tentangnya yang pasif. Tidak kusangka dia akan berubah
sedrastis ini. Aku mengacak rambutku.
“Nah, sudah kuberikan
kan apa yang kau mau.” ujarnya lambat-lambat, sambil meraih leherku dengan
kedua tangannya. Aku berusaha mundur, tapi dia berhasil mengalungkan tangannya
di leherku. Membuat jarak kami menjadi sangat dekat. Bukan! Ini bukan Misa! Aku
yakin 100%. Kemana Misa, pemilik mata Ruby yang kusayang?
“Lalu, kenapa kau
memakai kontak lens kuning?”
“Kenapa? Kau tidak
suka? Padahal kan aku terlihat imut.” Ujarnya, cemberut sambil memanyunkan
bibir. Dia terlihat Imut. Kuulangi, imut.
Aku memundurkan
tubuhnya dengan mendorong bahunya pelan, berusaha menjauhkan wajahnya yang
terus mendekat kepadaku. Kurasa dia akan menciumku. Bukan berarti aku tidak
mau, tapi aku tidak suka dalam situasi seperti ini. “Aku lebih suka matamu yang
merah.”
Misa memundurkan
wajahnya dan kulihat ekspresi wajahnya berubah menjadi seperti terkejut. Lalu
melepas kedua tangannya dari leherku, membuatku mendesah lega. “Kau tidak
suka?” nada suaranya terdengar melemah. Kulihat matanya tampak berkaca-kaca.
Dia akan menangis? Menangis? Bagamana bisa emosinya berubah secepat itu?
“Kau tidak—suka?”
ujarnya terbata-bata.
“Bu-Bukan tidak suka.
Tapi tidak cocok untukmu.”
“Tidak—cocok?” ugh! Dia
benar-benar akan menangis.
“Oke, oke. Aku suka.
Sangat suka dengan mata kuningmu.” Ujarku, terpaksa berbohong. Padahal aku
lebih suka mata merahnya itu.
“Benarkah?” Matanya
yang berkaca-kaca berganti menjadi berbinar-binar. Bagaimana bisa dia mengubah
emosi secepat itu dalam waktu singkat? Ini bukan Misa yang kukenal.
Misa lagi-lagi mendekat,
memelukku dan dengan cepat mencium pipiku. “Terima kasih, Sora-kun. Aku
mencintaimu.” Ujarnya lalu berbalik dan kembali masuk ke dalam kelas sambil
berlari riang. Aku menyentuh pipiku yang diciumnya. Hangat, membuat darahku
berdesir. Dia tidak pernah menciumku sebelumnya. Apa yang terjadi dengan
Misa-ku?
Tapi kurasa aku akan
menyukai keadaan seperti ini. “Aku juga mencintaimu.” Desahku, masih berdiri
mematung di luar kelas.
Bel istirahat baru saja
berbunyi. Baru saja aku hendak memasukkan buku-bukuku ke laci meja, sepasang
tangan melingkar di leherku. Kurasakan desahan napas yang hangat dari
seseorang. Siapa? “Sora-kun~” suara ini, Misa. Aku sedikit menolehkan wajahku,
melihatnya dari sudut mataku. “A-Ada apa, Misa?” tanyaku gugup. Aku tidak
terbiasa dengan tingkah manja Misa. Baru kali ini dia seperti ini. Biasanya aku
yang menghampirinya. Tapi sekarang dia yang mendekatiku. Malahan lebih dari
yang kubayangkan.
Misa melepaskan
tangannya dari leherku, lalu berdiri di sampingku. Dia tersenyum, tapi
senyumannya malah membuatku risih. Sepertinya ada sesuatu yang tidak enak. Misa
lalu duduk di atas pahaku, membuatkku kaget. Aku mengangkat kedua tanganku,
tidak berani menyentuhnya.
“A-apa yang kau
lakukan?” tanyaku.
“Aku hanya ingin
duduk.” Jawabnya enteng.
“Tapi kan masih ada
kursi yang lain.”
“Kau tidak suka?”
tanyanya, lagi-lagi menunjukkan wajah cemberutnya.
“Bukan gitu. Tapi—yang
lain memperhatikan loh.” Ujarku melirik ke arah di mana belasan pasang mata
menatap kami. Ada pandangan iri, kaget dan tidak percaya.
“Tidak apa kan. Biarkan
mereka melihat kemesraan kita.” Lalu menyandarkan kepalanya di lenganku.
“Lagipula, kau juga menginginkan yang seperti ini, bukan?” ujarnya sambil
memainkan kancing kemeja seragamku, lalu memainkan jari-jemarinya di dadaku,
memberikan sensasi aneh.
Glek!
Napasku memburu,
jantungku berdegup dengan cepat. Aku seperti sedang menaiki roller coaster
tercepat di dunia. Misa tidak pernah melakukan ini. Tidak pernah. Bukan berarti
tidak senang, tapi ini tidak seperti Misa yang kukenal. Apa dia sedang
mengerjaiku? Tapi dia tidak pernah mengerjaiku sekalipun, dan sepertinya tidak
mungkin dilakukannya. Lalu siapa yang duduk di pahaku sekarang kalau bukan
Misa? Saudara kembarnya? Tidak mungkin, dia hanya punya dia saudara laki-laki.
Kulirik Misa yang masih
asik duduk di pahaku sambil menyandarkan kepalanya. “Misa, lebih baik kita ke
kantin sekarang, sebelum kantinnya penuh.”
“Benar juga.” Ujarnya,
lalu berdiri, membuatku dapat bernapas dengan lega.
“Ayo, kita segera
pergi.” Ujarnya penuh semangat, lalu menarik tanganku.
Loh? Loh? Selama ini
aku yang menarik tangannya, sekarang malah sebaliknya.
Perubahan 180 derajat
dari Misa tentunya menarik perhatian. Apalagi sepanjang jalan orang-orang
melihat kami dengan pandangan penuh tanya dan saling berbisik. Jika biasanya
mereka melihat aku menggandeng tangan Misa yang tanpa ekspresi seolah sedang
diseret, sekarang pemandangan yang mereka lihat Misa bergelayut manja di
lenganku. Ada rasa senang karena Misa yang bermanja-manja, tapi ada juga
perasaan risih karena pandangan orang-orang kepada kami.
“Aaaaa….”
“Apa yang kau lakukan?”
tanyaku melihatnya menyodorkan sumpit dengan segulung shusi. Kami sudah berada
di kantin, duduk di bangku yang biasa kami duduki.
“Aku menyuapimu.”
Ujarnya santai. Aku mengangkat alis. Benarkah? Menyuapi? Menyuapiku? Aku
ulangi, Misa menyuapiku. Selama ini dia hanya menikmati makanannya sendiri
dalam diam, tapi sekarang dia mau menyuapiku? Apa aku berada di dalam mimpi?
Aw! Aku mencubit diriku sendiri, meyakinkan bahwa ini nyata.
“Nah, aaaaaa…..” Misa
kembali menyodorkannya makanannya padaku. Tentu saja aku langsung menerimanya
dengan senang hati. Siapa sih yang tidak
mau disuapin sama pacarnya? Aku melakukan hal yang sama padanya. Yang seperti
inilah yang selama ini kuinginkan. Tidak apalah jika Misa berubah menjadi
seperti ini. Setidaknya menguntungkanku kan.
“Sora”
Aku mendongak, melihat
dua orang bermata kuning menatapku tajam. “Otsuki? Ryuujin senpai?”
“Neechan? Mau makan
bersama kami?”
Kulihat kedua orang itu
menatap Misa dengan lembut dan tersenyum. “Tidak, Misa-chan. Kami hanya perlu
berbicara dengan sora.” Ujarnya, lalu menatapku. Ketika menatapku, wajah mereka
kembalil stoic. Kedua pasang mata itu kembali menatapku tajam.
“Ikut kami.” Lalu
keduanya berbalik sambil tersenyum. Aku tidak yakin jika itu benar-benar suatu
senyuman.
“Misa, aku harus—“ aku
tidak meneruskan kata-kataku. Aku berdiri lalu mengikuti mereka hingga keluar
dari kantin, dan berhenti di sudut koridor yang tidak jauh dari kantin.
Jujur saja, aku tidak
mau berurusan dengan dua saudara bermata kuning ini. Tapi mau bagaimana lagi?
Aku berpacaran dengan adik mereka. Keduanya bermata kuning dan berwajah datar.
Ryuujin senpai dan Otsuki sangat menyayangi adiknya. Aku berasumsi mereka
mengidap penyakit sister complex.
Dan sekarang, keduanya
sedang memojokkanku di tembok dan menatapku dengan tatapan kuning mereka seolah
aku ini mangsa yang sudah siap untuk disantap. “Apa yang kau lakukan pada
Misa?” Ryuujin senpai membuka suara. Aku menggeleng cepat. “Kalau kau tidak
melakukan apapun padanya, kenapa dia berubah seperti itu sekarang?” tanyanya
lagi. Dan lagi-lagi aku menggeleng cepat sebagai jawaban.
“Apa kau bisu? Sejak
tadi menggeleng saja. Katakan sesuatu” Otsuki yang berbicara.
“Aku tidak melakukan
apapun padanya.”
“Benarkah?” Ryuujin senpai
menaikkan kedua alisnya, tidak percaya pada perkataanku.
“Terakhir kali kulihat
kau menggoda gadis-gadis lain di depan Misa.” Ujar Otsuki.
“Be—Benarkah?” aku
melirik ke kiri, berpura-pura tidak ingat.
“Bahkan kau menggoda
Ai.” Ryuujin mengepalkan kedua tangannya dan menyatukan kepalannya di depan
wajahku. Ini yang kutakutkan.
“Bu-bukan seperti itu.
Aku—“
“Mencoba mencari
alasan, eh?” Otsuki mencengkram satu bahuku dan mendorongnya hingga bersentuhan
dengan tembok. Sepertinya dia tidak ingin aku kabur sebelum mendapatkan pukulan
dari Ryuujin. Damn.
“Apa yang sedang kalian
lakukan?”
Kami menoleh ke sumber
suara. Mendapati Misa menatap kami dengan pandangan bertanya. Dengan cepat
Ryuujin menurunkan tangannya, dan Otsuki melepaskan cengkraman tangannya dari
bahuku. Aku bisa bernapas lega.
“Kami tidak melakukan
apapun kok, Misa-chan.” Otsuki menghampiri Misa sambil tersenyum. Bohong!
Mereka hampir memukulku.
“Ya, kami tidak
melakukan apapun Misa-chan.” Ryuujin juga menghampiri Misa lalu memeluknya.
See? Sudah kuduga
mereka sister complex. Belum lagi mereka seperti punya dua wajah. Wajah pertama
sering mereka tunjukkan, wajah stoic yang selalu menatap datar dengan mata
kuning mereka. Dan wajah kedua mereka tunjukkan kalau bersama Misa. Mereka akan
memasang senyum termanis mereka sambil menatap dengan lembut.
“Kenapa kalian begitu
lama?”
“Kami hanya sedang
bermain-main.” Ujar Ryuujin masih memeluk Misa. Ugh! Ini membuatku cemburu.
Lalu Ryuujin menatapku tajam, memasang wajah stoic-nya. “Ya kan, Sora?” Aku
memutar mataku. Otsuki melakukan hal yang sama, lalu aku mengangguk cepat.
Sebaiknya jangan memancing emosi mereka lagi.
Misa melepaskan tangan
Ryuujin yang memeluknya, membuat wajah Ryuujin tampak kesal. Misa lalu
menghampiriku. “Kalau begitu selesai dengan main-mainnya. Sora, ayo kembali ke
kantin.” Ujarnya lalu menarik tanganku dan membawaku pergi. Aku menoleh ke
belakang, melihat kedua bersaudara itu menatapku dengan penuh kekesalan. Aku
memalingkan wajahku, sebaiknya jangan menatap mereka lagi.
Kupikir sifat Misa yang
seperti ini hanya bertahan sehari. Tidak kusangka sudah 3 hari ini dia seperti
itu. Oke, jujur saja, Misa yang sekarang ini lebih menyenangkan. Sifatnya yang
manja padaku dan lebih agresif membuat semangatku lebih naik.
Awalnya kuduga dia
hanya seperti itu padaku. Tidak kuduga dia juga melakukannya pada laki-laki
yang lain. Misalnya seperti sekarang ini, ketika kami sedang berada di kantin,
dia menyapa laki-laki yang berjalan melewati meja kami. Kalau dia menyapanya
dengan cara biasa, aku sih tidak masalah. Tapi, dia menyapa mereka dengan suara
manja yang dibuat-buat, seolah sedang—menggoda mereka.
“Misa, makanlah, dan
berhenti menyapa mereka.” Ujarku
Misa memakan
makanannya, tapi hanya tiga suapan. Lalu berikutnya kembali menyapa laki-laki
yang lewat. Aku ingat situasi seperti ini, ketika aku menyapa gadis-gadis yang
lewat di meja kami. Jadi seperti ini rasanya menjadi Misa pada waktu itu?
Sakit. Tapi, Misa bilang dia tidak cemburu. Apa sekarang dia sedang
mengerjaiku?
Bukan hanya di kantin.
Di kelas pun begitu. Dia sedang duduk di bangkunya yang berada di sudut
belakang kelas, tapi dikelilingi oleh beberapa laki-laki. Aku tidak menyangka
perubahannya membuatnya menjadi populer. Sebelumnya dia tidak pernah
dikelilingi oleh lelaki manapun, kecuali kedua saudaranya. Terlihat mereka asik
bercanda dan Misa tertawa dengan riang. Sebelumnya aku tidak pernah melihatnya
seperti itu. Hatiku terasa panas. Sangat panas. Aku terbakar cemburu.
Aku harus
menasehatinya. Aku segera menghampirinya lalu menariknya keluar kelas. “Misa,
berhenti melakukan itu.” Perintahku.
“Melakukan apa?”
tanyanya, terlihat seolah-olah dia tidak mengerti apa yang kumaksud.
“Menyapa mereka, duduk
bersama mereka.” Ujarku, lalu dia tertawa membuatku mengernyitkan dahi melihat
tingkahnya.
“Jangan tertawa, Misa.
Aku serius. Berhenti melakukan semua itu. Kau itu pacarku.”
Dan lagi-lagi dia
tertawa. “Benarkah?” ujarnya di sela tawanya. “Bukannya kita tidak berhubungan
untuk sementara saat ini? Kau sendiri yang memintanya kan?” ujarnya setelah
berhenti dari tawanya.
“Apa!? Aku tidak—“ Oh,
tidak. Aku teringat pada ucapanku yang terakhir padanya. Damn!
“Meski begitu kau masih
pacarku, Misa”
“Sudahlah, aku harus
kembali. Mereka menungguku.” Ujarnya, lalu berbalik dan masuk ke dalam kelas.
“MISA! DENGARKAN
KATA-KATAKU!” teriakku. Dan sepertinya dia tidak mempedulikannya, karena aku
mendengar tawanya bersama laki-laki yang mengelilinginya.
Misa jahat! putusin Misa, gue yang nyuruh, cepet putusin dia! Aaaaarghh...
BalasHapusyang komen diatas lagi galau mohon maaf ya wkwkwk
BalasHapushahahahaha
BalasHapusmas feby lagi galau karena menjelang malam mingguan tuh. jomblo ngenes *eaaa
kalau Misa diputusin, kasihan Sora. kayaknya Sora masih cinta tuh.