Selasa, 07 Februari 2012

Expression 3 (END)


Lanjutan dari: Expression, Expression2
Cast: Sora x Misa
Genre: Romance
Rate: K
Please enjoy the last part~

Ketika semuanya menjadi tidak terkendali, hanya dengan memahami membuat semuanya menjadi lebih baik.
-------------------------------------------------------

Selesai dengan masalah membersihkan toilet, aku harus berurusan dengan Nei bersaudara lagi. Mereka mencegatku yang hendak ke kelas, menyudutkanku di tembok koridor di dekat tangga, dan mengurungkan di antara tangan mereka. Dan seperti biasa, jika melihatku mereka selalu memasang wajah datar mereka dan tidak lupa dengan tatapan tajam dari mata kuning mereka.

“Sekarang, apa yang kau lakukan pada Misa?” Tanya Ryuujin, suaranya terdengar berat. Dia benar-benar kesal.

“Melakukan—apa?” tanyaku berhati-hati.

“Jangan pura-pura tidak tahu, bocah emo jelek.” Ujar Otsuki. Hei! Bocah emo jelek!? Jangan meledekku seperti itu! Teriakku kesal. Tapi dalam hati.

“Aku tidak mengerti maksud kalian.” Ujarku, suaraku mulai terdengar frustasi.

“Kenapa Misa jadi dekat dengan banyak laki-laki sekarang? Kau tahu dia tidak pernah begitu sebelumnya.” Ryuujin kembali berucap, dan suaranya semakin berat, menandakan bahwa dia sendiri kesal mendengar ucapannya sendiri.

Aku tahu kalau Misa tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, selain aku dan Nei bersaudara ini. Dan mengingatnya malah mengingatkanku pada kejadian tadi. Jantungku terasa berpacu, begitu berdebar-debar karena kesal dan—cemburu? Cemburu, perasaan yang pertama kali kurasakan. Kenapa? Karena selama ini Misa tidak pernah membuatku cemburu. Ya, malah aku yang memancingnya, memancing semua ini. Bodohnya aku.

“Aku tidak tahu mengenai hal itu.” Ujarku pelan, berusaha menahan suaraku yang bergetar karena kesal.

“Bohong!” Otsuki berteriak.

“Aku tidak berbohong!” ujarku, membalas teriakan Otsuki. Dan sepertinya teriakanku membuat mereka sedikit terkejut, dan mereka menarik tangan mereka yang mengurungku.

“Kalian pikir aku sengaja melakukannya? Aku mencintainya, kenapa aku harus melakukannya? Melihatnya yang dekat dengan laki-laki lain, apa kalian pikir aku tidak cemburu?” Ujarku dengan cepat, membuat napasku memburu. Dan—Hell! Aku frustasi sekarang.

Kedua Nei bersaudara itu saling menatap, lalu kembali menatapku. Pandangan mereka tetap tajam, tapi terlihat mengasihani. Sepertinya melihatku yang frustasi membuat mereka melunak. “Dengar, bocah. Kembalikan Misa seperti yang dulu. Kalau tidak, kau akan tahu akibatnya.” Ujar Ryuujin lalu berbalik dan berjalan pergi. “Ingat itu, bocah emo jelek.” Kali ini Otsuki yang berbicara lalu berjalan pergi.

Memanggilku bocah emo jelek? “Dasar sister complex!” gumamku pelan. Tapi sepertinya mereka mendengarnya. Mereka berhenti melangkah, berbalik dan menatapku tajam. Sepertinya aku merasakan aura membunuh yang kuat.

Glek!

“Apa yang kau katakan bocah?”

“Ti-tidak. Aku—Aku tidak mengatakan apapun.” Ujarku, lalu segera berlari dari tempat itu. Dan kudengar suara kesal yang meneriakkan namaku.  Aku berlari sepanjang koridor, dan berbelok untuk mencapai kelas.

“Hufft… untung aku bias ka…. bur?”

Saat itulah aku melihat pemandangan yang tidak pernah kubayangkan akan terjadi. Pemandangan yang membuat darahku terasa penas dan berdesir, membuat jantungku berdetak lebih cepat dan lebih cepat lagi. Di depanku terlihat Misa sedang dipeluk oleh seorang lelaki yang tidak kukenal, sepertinya siswa kelas lain. Tangan laki-laki itu memeluk pinggang Misa, sementara satu tangan Misa menyentuh dada pemuda itu, dan satunya lagi memainkan kancing atas kemeja pemuda itu. Dan mereka tidak mempedulikan tatapan orang-orang di sekitar mereka.

“Misa?”

Misa menolehkan wajahnya padaku, begitu pula dengan pemuda itu. Misa mengangkat alisnya, seolah tidak terkejut, sementara wajah pemuda itu biasa saja, sepertinya dia tidak tahu kalau aku pacar Misa. Misa melepas pelukan pemuda itu dengan perlahan.

“Halo, Sora-kun.” Bagaimana bisa dia bersikap biasa saja, menyapaku dengan biasa, setelah aku melihatnya melakukan itu di depanku?

“Misa, ini bohong kan? Kau tidak—“ ujarku, terputus saat kulihat pemuda itu hendak memeluk Misa lagi.

“Menjauh darinya!” Teriakku, membuat semua tatapan orang yang melintas di koridor tertuju kepada kami. Aku mengepalkan  tanganku kesal, lalu berlari menghampiri pemuda itu untuk mendaratkan pukulanku di wajah jeleknya itu.

Tapi, belum sempat tanganku mencapai wajah pemuda itu, Misa menahan tubuhku dengan memelukku. “Pergilah.” Ujarnya pada pemuda itu. Tampak ragu, pemuda itu berjalan mundur, tapi kemudian berbalik dan berlari pergi. “Hei, jangan kabur kau sialan!” Teriakku lagi. Kalau saja Misa tidak memelukku, aku sudah berhasil mengejarnya dan menghantam wajahnya berkali-kali. “Jangan bertingkah seperti orang barbar.” Pintanya. Caranya berbicara membuatku melunak, entah bagaimana. Aku melepaskan pelukannya dari tubuhku.

“Kenapa kau menahanku? Aku harus menghajarnya. Berani sekali dia.” Ujarku masih kesal, tanganku masih terkepal berharap bisa mendaratkan kepalan ini di wajah pemuda itu, setidaknya menciptakan pulau biru di wajah jelek itu.

“Jangan. Atau kita putus.”

Apa!?

“Kenapa kau membelanya? Jangan bilang kau—“ ujarku, dan tanganku semakin terkepal erat, tidak peduli dengan rasa sakit ketika kuku-kukuku menekan kuat telapak tanganku. Aku kesal.

“Aku hanya tidak ingin melihatmu menjadi laki-laki urakan dan barbar.” Ujarnya tenang.

“Kau bohong.” Ujarku setengah berteriak, membuat kami menjadi pusat perhatian. Tapi aku tidak peduli dengan mereka yang melihat kami. Sekarang aku terlalu fokus dengan Misa, aku butuh penjelasan darinya sekarang. Dan aku benar-benar kesal sekarang.

“Aku tidak berbohong.” gumamnya

“Lalu, kenapa kau memeluknya? Sudah jelas kau selingkuh.”

“Aku hanya membalas apa yang kau lakukan padanya dengan membuatmu cemburu.” ujarnya, dan dari nada suaranya, sepertinya Misa mulai kesal.

Padanya? Siapa?

“Yeah, kau berhasil membuatku cemburu. Sangat berhasil Misa.” Ujarku bertepuk tangan seolah patut untuk diberi tepukan tangan. “Memangnya aku bodoh? Itu hanya alasanmu untuk berselingkuh dariku kan?”

Wajah Misa terlihat tenang, tapi matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak berbohong, Sora. Kau tidak mengerti bagaimana perasaan Misa. Dia berusaha mewujudkan apa yang kau inginkan, tapi kau masih tidak mengerti perasaannya.”

Oh, dia menyebut nama sendiri sekarang, ingin membuat dirinya terlihat polos. Huh, lucu sekali. “Kau pikir aku tidak mengerti perasaanmu? Kau—“

“Kau tidak mengerti!” Teriaknya, membuatku terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua yg melihat kami pun terkejut. Tidak menyangka Misa berteriak seperti itu, dan ini pertama kalinya. “Tidak, kau tidak mengerti, Sora. Kau tidak mengerti perasaan Misa. Kau pikir dengan ekspresinya yang tenang, maka hatinya pun tenang? Kau pikir dengan ekspresi tenangnya itu kau bisa menggoda gadis lain dan hatinya pun tetap tenang? Tidak. Hatinya terasa sakit.” Menggoda gadis lain? Aku ingat saat di kantin untuk membuatnya cemburu. Tapi bukannya dia bilang dia tidak cemburu?

Kulihat air mata Misa jatuh perlahan di pipinya, tapi wajahnya tetap tenang. Dia menangis, entah kenapa hatiku terasa sakit. Kumohon, jangan menangis. “Sedih. Itu yang dirasakannya saat melihatmu memeluk gadis lain. Dia menangis, dan hatinya pun menangis.” Dan aku teringat lagi kejadian saat secara tidak sengaja aku memeluk Krystal. Dan juga aku melihat air bening saat Misa pergi. Kukira dia tidak menangis. Jadi ternyata dia menangis? Apakah semua ini benar?

“Semua sudah jelas kan? Kau egois. Kau tidak pernah mengerti perasaannya, karena kau tidak mencintainya.” Ujarnya, masih menangis lalu berjalan melewatiku. Aku seperti tidak bisa bergerak. Aku bahkan tidak bisa menahan tangannya, aku bahkan tidak bisa menyusulnya yang berjalan melewati gerombolan siswa-siswa yang sejak tadi memperhatikan kami.

“Dia menangis.” Kudengar suara berbisik. “Dia bahkan tidak mengejarnya. Astaga.” Dan suara bisikan itu semakin ramai. Bisikan dan pandangan itu tertuju padaku.

BRUK! Aku memukul pintu dengan keras. Sakit? Aku tidak peduli. Lebih sakit mana, tanganku atau hatiku? Bisikan itu berhenti, dan pandangan itu berganti menjadi pandangan terkejut.

“Apa yang kalian lihat!?” Teriakku, kesal, membuat mereka pergi. Meski aku masih mendengar suara bisikan-bisikan itu bersama dengan bubarnya keramaian di sekelilingku.

Aku duduk tepat di depan pintu kelas yang telah kupukul, untungnya tidak ada guru saat kejadian itu. Aku mengacak rambutku dan mengusap wajahku frustasi. ‘Karena kau tidak mencintainya’ kalimat itu terus terngiang di kepalaku. Benarkah aku tidak mencintainya? Lalu kalau aku tidak mencintainya kenapa aku berpacaran dengannya? Ini membuatku bingung.

Aku mengingat saat pertama kali aku melihatnya dan bagaimana aku jatuh cinta kepadanya. Mata ruby-nya. Ya, mata ruby itu yang menarik hatiku. Yang selalu kulihat bukanlah dirinya, tapi mata ruby nya yang indah. Benar aku tidak mengerti perasaannya. Aku terlalu egois. Dan kurasakan mataku sembab, dan air mataku perlahan mengalir pelan. Aku menangis.

“Kau tidak apa-apa?” Kudengar suara lembut berbicara kepadaku.

Aku mengelap air mataku cepat, dan mendongak. Kulihat Krystal berdiri dan menatapku khawatir. Aku segera berdiri. “Aku baik-baik saja.” Bohong.

“Kau menangis.” Ujarnya.

“Ti-tidak, aku tidak menangis.”

“Kau tidak perlu berbohong. Tidak usah malu karena menangis. Laki-laki juga perlu menangis, kau tahu?” ujarnya, dan itu membuatku tenang, meski sedikit gugup karena ketahuan menitikkan air mata oleh seorang gadis.

“Kau menangis karena kau mencintainya kan?”

“Apa?”

“Kau menangis karena kau mencintainya.” Ulangnya.

Dan itu membuat semuanya menjadi jelas. Ya, sekarang aku tidak mencintai mata ruby-nya. Tapi aku mencintai sepenuhnya dirinya. Aku cemburu melihatnya bersama laki-laki lain karena mencintainya, aku marah karena melihatnya memeluk laki-laki lain, dan aku menangis karena dia menangis. Ya, aku mencintai Misa. Sangat.

Spontan aku memeluk Krystal, dan itu membuatnya terkejut. “Err—Sora.”

“Oh, maaf.” Aku segera melepaskan pelukanku. “Maaf, aku tidak bermaksud.”

“Aku mengerti.” Ujarnya tersenyum. “Bagaimana kalau kau menyusulnya sekarang?” usulnya.

“Ya, kau benar.” Ujarku lalu segera berlari pergi. Tapi kemudian aku berhenti dan berbalik. “Terima kasih, Krystal.” Ujarku setengah berteriak, melihat jarak kami yang cukup jauh. Krystal tersenyum. Lalu aku kembali berbalik dan berlari pergi. Aku tahu di mana dia sekarang.

Pohon sakura di belakang sekolah. Dia pasti berada di sana. Tapi saat tiba di sana, aku tidak melihatnya. Biasanya dia akan berdiri menatap pohon sakura itu. Aku mendekat, dan mendengar suara isak tangis yang berusaha ditahan. Aku tahu di mana dia. Berada di balik pohon sakura, duduk dan bersandar. Aku melakukan hal yang sama, duduk dan bersandar pada batang pohon sakura yang cukup besar tapi pada arah yang berlawanan darinya.

“Misa.” Aku masih mendengar suara isakannya. “Aku minta maaf.”

Tidak ada jawaban, hanya isakan yang mulai terdengar pelan. Kurasa dia sudah mulai tenang. Awal yang bagus untukku. Aku mendongak, menyandarkan kepalaku di batang pohon, melihat dedaunan pohon sakura yang bergerak karena tiupan angin, lalu  melanjutkan ucapanku. “Maaf karena membuat hatimu sakit, maaf membuatmu menangis, maaf karena sudah membentakmu, dan maaf karena tidak mengerti perasaanmu.” dan aku tidak lagi mendengar tangisan itu. Dia sudah tenang sekarang.

“Kau memang benar, saat kau bilang aku tidak mencintaimu.” Ucapku, lalu cepat-cepat melanjutkan ucapanku, takut dia akan salah paham. “Aku menyukaimu karena mata ruby-mu yang indah. Tapi saat kau telah melakukan dan mengatakan semuanya, aku sadar. Aku cemburu dan kesal saat melihatmu bersama lelaki lain, dan aku sedih dan takut saat melihatmu menangis. Kau tahu kenapa? Karena aku tidak mencintaimu mata ruby-mu lagi. Aku mencintaimu sepenuhnya.” Ujarku, lalu menunduk.

“Tidak apa kau tidak memaafkanku, tapi kau harus tahu aku sangat mencintaimu. Sekali lagi maaf.” Ujarku,

“Maaf” kudengar suaranya dengan jelas di depanku. Aku segera mendongak. Melihatnya yang menatapku dengan tatapan sendu.

Aku segera berdiri dan merangkuhnya dalam pelukanku. “Maaf, aku minta maaf.” Ujarku dengan cepat. Kurasakan tangannya memelukku dengan pelan dan kemudian erat, lalu mengangguk. Aku tersenyum.

“Terima kasih.” Bisikku,

Cukup lama kami berpelukan. Tidak pernah kami melakukan ini, dan kami ingin menikmatinya. Kemudian aku melepas pelukan kami. Katatap wajahnya yang terlihat datar, matanya menatap lurus ke depan, entah menatap apa. Tapi aku senang melihatnya. Dia sudah kembali seperti dulu. Misa yang tanpa ekspresi.

“Aku lapar. Kau mau makan?” tanyaku.

Misa menjawabnya dengan anggukan tanpa ekspresi di wajahnya. Dan aku tersenyum senang. Aku memang suka Misa yang agresif, tapi aku lebih menyukai Misa yang seperti ini, yang apa adanya. Aku segera menggenggam tangannya, menautkan jari kami lalu menyeretnya pergi, berjalan di depannya, seperti dulu. Meski sama seperti dulu, tapi ada hal lain yang berbeda. Aku bukan lagi mencintai mata ruby-nya. Tapi mencintai dirinya sepenuhnya.

“Aku mencintaimu, Misa.” Desisku, berharap dia tidak mendengarnya.

Satu hal yang selalu aku pertanyakan, bagaimana bisa dia mengubah ekspresinya dengan sangat cepat? Dan saat kami berjalan pergi dari pohon sakura itu, tanpa kuketahui, ada sosok bermata kuning lain menatap lembut dan tersenyum melihat kami berjalan pergi dengan tangan yang saling berbagi kehangatan.

5 komentar:

  1. ehem ehem ada yang di landa asrama nih eh asmara sih. uhuk uhuk dalem banget bro.

    lanjutin yak.

    btw bru kunjungan ijin ikat persahabatan keknya menarik nih blog

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha gak juga sih.
      terima kasih ^^

      ah ya, dipersilahkan dengan senang hati ^^

      Hapus
  2. Gw kayak lagi nyimak drama korea. Abis nama2 karakternya ke jepangan gimanaaaa gitu.. Si Misa ini sentral bgt.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. drama korea ya. hahaha
      namanya saya ambil dari nama member forum kok.

      Misa sentral banget ya? Masa? Aku gak nyadar -.-;;

      Hapus
  3. Kalo ada orangnya gatau deh dia komen apa ryu >_> haha...
    Nei misa... kau mengorbankan keponakan mu untuk di buat dorama... ckckckck dasar Nei...

    BalasHapus