Lanjutan dari: Expression, Expression2
Cast: Sora x Misa
Genre: Romance
Rate: K
Please enjoy the last part~
Ketika semuanya menjadi tidak terkendali, hanya dengan memahami membuat semuanya menjadi lebih baik.
-------------------------------------------------------
Selesai dengan masalah
membersihkan toilet, aku harus berurusan dengan Nei bersaudara lagi. Mereka
mencegatku yang hendak ke kelas, menyudutkanku di tembok koridor di dekat
tangga, dan mengurungkan di antara tangan mereka. Dan seperti biasa, jika
melihatku mereka selalu memasang wajah datar mereka dan tidak lupa dengan
tatapan tajam dari mata kuning mereka.
“Sekarang, apa yang kau lakukan
pada Misa?” Tanya Ryuujin, suaranya terdengar berat. Dia benar-benar kesal.
“Melakukan—apa?” tanyaku
berhati-hati.
“Jangan pura-pura tidak tahu,
bocah emo jelek.” Ujar Otsuki. Hei! Bocah emo jelek!? Jangan meledekku seperti
itu! Teriakku kesal. Tapi dalam hati.
“Aku tidak mengerti maksud
kalian.” Ujarku, suaraku mulai terdengar frustasi.
“Kenapa Misa jadi dekat dengan banyak
laki-laki sekarang? Kau tahu dia tidak pernah begitu sebelumnya.” Ryuujin
kembali berucap, dan suaranya semakin berat, menandakan bahwa dia sendiri kesal
mendengar ucapannya sendiri.
Aku tahu kalau Misa tidak pernah
dekat dengan laki-laki lain, selain aku dan Nei bersaudara ini. Dan
mengingatnya malah mengingatkanku pada kejadian tadi. Jantungku terasa berpacu,
begitu berdebar-debar karena kesal dan—cemburu? Cemburu, perasaan yang pertama
kali kurasakan. Kenapa? Karena selama ini Misa tidak pernah membuatku cemburu.
Ya, malah aku yang memancingnya, memancing semua ini. Bodohnya aku.
“Aku tidak tahu mengenai hal itu.”
Ujarku pelan, berusaha menahan suaraku yang bergetar karena kesal.
“Bohong!” Otsuki berteriak.
“Aku tidak berbohong!” ujarku,
membalas teriakan Otsuki. Dan sepertinya teriakanku membuat mereka sedikit
terkejut, dan mereka menarik tangan mereka yang mengurungku.
“Kalian pikir aku sengaja
melakukannya? Aku mencintainya, kenapa aku harus melakukannya? Melihatnya yang
dekat dengan laki-laki lain, apa kalian pikir aku tidak cemburu?” Ujarku dengan
cepat, membuat napasku memburu. Dan—Hell! Aku frustasi sekarang.
Kedua Nei bersaudara itu saling
menatap, lalu kembali menatapku. Pandangan mereka tetap tajam, tapi terlihat
mengasihani. Sepertinya melihatku yang frustasi membuat mereka melunak. “Dengar,
bocah. Kembalikan Misa seperti yang dulu. Kalau tidak, kau akan tahu akibatnya.”
Ujar Ryuujin lalu berbalik dan berjalan pergi. “Ingat itu, bocah emo jelek.” Kali
ini Otsuki yang berbicara lalu berjalan pergi.
Memanggilku bocah emo jelek? “Dasar
sister complex!” gumamku pelan. Tapi sepertinya mereka mendengarnya. Mereka
berhenti melangkah, berbalik dan menatapku tajam. Sepertinya aku merasakan aura
membunuh yang kuat.
Glek!
“Apa yang kau katakan bocah?”
“Ti-tidak. Aku—Aku tidak
mengatakan apapun.” Ujarku, lalu segera berlari dari tempat itu. Dan kudengar
suara kesal yang meneriakkan namaku. Aku
berlari sepanjang koridor, dan berbelok untuk mencapai kelas.
“Hufft… untung aku bias ka…. bur?”
Saat itulah aku melihat
pemandangan yang tidak pernah kubayangkan akan terjadi. Pemandangan yang
membuat darahku terasa penas dan berdesir, membuat jantungku berdetak lebih
cepat dan lebih cepat lagi. Di depanku terlihat Misa sedang dipeluk oleh
seorang lelaki yang tidak kukenal, sepertinya siswa kelas lain. Tangan
laki-laki itu memeluk pinggang Misa, sementara satu tangan Misa menyentuh dada
pemuda itu, dan satunya lagi memainkan kancing atas kemeja pemuda itu. Dan
mereka tidak mempedulikan tatapan orang-orang di sekitar mereka.
“Misa?”
Misa menolehkan wajahnya padaku,
begitu pula dengan pemuda itu. Misa mengangkat alisnya, seolah tidak terkejut,
sementara wajah pemuda itu biasa saja, sepertinya dia tidak tahu kalau aku
pacar Misa. Misa melepas pelukan pemuda itu dengan perlahan.
“Halo, Sora-kun.” Bagaimana bisa dia
bersikap biasa saja, menyapaku dengan biasa, setelah aku melihatnya melakukan
itu di depanku?
“Misa, ini bohong kan? Kau tidak—“
ujarku, terputus saat kulihat pemuda itu hendak memeluk Misa lagi.
“Menjauh darinya!” Teriakku, membuat
semua tatapan orang yang melintas di koridor tertuju kepada kami. Aku
mengepalkan tanganku kesal, lalu berlari
menghampiri pemuda itu untuk mendaratkan pukulanku di wajah jeleknya itu.
Tapi, belum sempat tanganku
mencapai wajah pemuda itu, Misa menahan tubuhku dengan memelukku. “Pergilah.” Ujarnya
pada pemuda itu. Tampak ragu, pemuda itu berjalan mundur, tapi kemudian
berbalik dan berlari pergi. “Hei, jangan kabur kau sialan!” Teriakku lagi.
Kalau saja Misa tidak memelukku, aku sudah berhasil mengejarnya dan menghantam
wajahnya berkali-kali. “Jangan bertingkah seperti orang barbar.” Pintanya.
Caranya berbicara membuatku melunak, entah bagaimana. Aku melepaskan pelukannya
dari tubuhku.
“Kenapa kau menahanku? Aku harus
menghajarnya. Berani sekali dia.” Ujarku masih kesal, tanganku masih terkepal
berharap bisa mendaratkan kepalan ini di wajah pemuda itu, setidaknya
menciptakan pulau biru di wajah jelek itu.
“Jangan. Atau kita putus.”
Apa!?
“Kenapa kau membelanya? Jangan
bilang kau—“ ujarku, dan tanganku semakin terkepal erat, tidak peduli dengan
rasa sakit ketika kuku-kukuku menekan kuat telapak tanganku. Aku kesal.
“Aku hanya tidak ingin melihatmu
menjadi laki-laki urakan dan barbar.” Ujarnya tenang.
“Kau bohong.” Ujarku setengah
berteriak, membuat kami menjadi pusat perhatian. Tapi aku tidak peduli dengan
mereka yang melihat kami. Sekarang aku terlalu fokus dengan Misa, aku butuh
penjelasan darinya sekarang. Dan aku benar-benar kesal sekarang.
“Aku tidak berbohong.” gumamnya
“Lalu, kenapa kau memeluknya?
Sudah jelas kau selingkuh.”
“Aku hanya membalas apa yang kau
lakukan padanya dengan membuatmu cemburu.” ujarnya, dan dari nada suaranya,
sepertinya Misa mulai kesal.
Padanya? Siapa?
“Yeah, kau berhasil membuatku
cemburu. Sangat berhasil Misa.” Ujarku bertepuk tangan seolah patut untuk
diberi tepukan tangan. “Memangnya aku bodoh? Itu hanya alasanmu untuk
berselingkuh dariku kan?”
Wajah Misa terlihat tenang, tapi
matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak berbohong, Sora. Kau tidak mengerti
bagaimana perasaan Misa. Dia berusaha mewujudkan apa yang kau inginkan, tapi
kau masih tidak mengerti perasaannya.”
Oh, dia menyebut nama sendiri
sekarang, ingin membuat dirinya terlihat polos. Huh, lucu sekali. “Kau pikir
aku tidak mengerti perasaanmu? Kau—“
“Kau tidak mengerti!” Teriaknya,
membuatku terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua yg melihat kami pun terkejut. Tidak
menyangka Misa berteriak seperti itu, dan ini pertama kalinya. “Tidak, kau
tidak mengerti, Sora. Kau tidak mengerti perasaan Misa. Kau pikir dengan
ekspresinya yang tenang, maka hatinya pun tenang? Kau pikir dengan ekspresi
tenangnya itu kau bisa menggoda gadis lain dan hatinya pun tetap tenang? Tidak.
Hatinya terasa sakit.” Menggoda gadis lain? Aku ingat saat di kantin untuk
membuatnya cemburu. Tapi bukannya dia bilang dia tidak cemburu?
Kulihat air mata Misa jatuh
perlahan di pipinya, tapi wajahnya tetap tenang. Dia menangis, entah kenapa
hatiku terasa sakit. Kumohon, jangan menangis. “Sedih. Itu yang dirasakannya
saat melihatmu memeluk gadis lain. Dia menangis, dan hatinya pun menangis.” Dan
aku teringat lagi kejadian saat secara tidak sengaja aku memeluk Krystal. Dan
juga aku melihat air bening saat Misa pergi. Kukira dia tidak menangis. Jadi
ternyata dia menangis? Apakah semua ini benar?
“Semua sudah jelas kan? Kau
egois. Kau tidak pernah mengerti perasaannya, karena kau tidak mencintainya.” Ujarnya,
masih menangis lalu berjalan melewatiku. Aku seperti tidak bisa bergerak. Aku
bahkan tidak bisa menahan tangannya, aku bahkan tidak bisa menyusulnya yang
berjalan melewati gerombolan siswa-siswa yang sejak tadi memperhatikan kami.
“Dia menangis.” Kudengar suara
berbisik. “Dia bahkan tidak mengejarnya. Astaga.” Dan suara bisikan itu semakin
ramai. Bisikan dan pandangan itu tertuju padaku.
BRUK! Aku memukul pintu dengan
keras. Sakit? Aku tidak peduli. Lebih sakit mana, tanganku atau hatiku? Bisikan
itu berhenti, dan pandangan itu berganti menjadi pandangan terkejut.
“Apa yang kalian lihat!?”
Teriakku, kesal, membuat mereka pergi. Meski aku masih mendengar suara
bisikan-bisikan itu bersama dengan bubarnya keramaian di sekelilingku.
Aku duduk tepat di depan pintu
kelas yang telah kupukul, untungnya tidak ada guru saat kejadian itu. Aku
mengacak rambutku dan mengusap wajahku frustasi. ‘Karena kau tidak mencintainya’
kalimat itu terus terngiang di kepalaku. Benarkah aku tidak mencintainya? Lalu
kalau aku tidak mencintainya kenapa aku berpacaran dengannya? Ini membuatku
bingung.
Aku mengingat saat pertama kali
aku melihatnya dan bagaimana aku jatuh cinta kepadanya. Mata ruby-nya. Ya, mata
ruby itu yang menarik hatiku. Yang selalu kulihat bukanlah dirinya, tapi mata
ruby nya yang indah. Benar aku tidak mengerti perasaannya. Aku terlalu egois.
Dan kurasakan mataku sembab, dan air mataku perlahan mengalir pelan. Aku
menangis.
“Kau tidak apa-apa?” Kudengar
suara lembut berbicara kepadaku.
Aku mengelap air mataku cepat,
dan mendongak. Kulihat Krystal berdiri dan menatapku khawatir. Aku segera
berdiri. “Aku baik-baik saja.” Bohong.
“Kau menangis.” Ujarnya.
“Ti-tidak, aku tidak menangis.”
“Kau tidak perlu berbohong. Tidak
usah malu karena menangis. Laki-laki juga perlu menangis, kau tahu?” ujarnya,
dan itu membuatku tenang, meski sedikit gugup karena ketahuan menitikkan air
mata oleh seorang gadis.
“Kau menangis karena kau
mencintainya kan?”
“Apa?”
“Kau menangis karena kau
mencintainya.” Ulangnya.
Dan itu membuat semuanya menjadi
jelas. Ya, sekarang aku tidak mencintai mata ruby-nya. Tapi aku mencintai
sepenuhnya dirinya. Aku cemburu melihatnya bersama laki-laki lain karena
mencintainya, aku marah karena melihatnya memeluk laki-laki lain, dan aku
menangis karena dia menangis. Ya, aku mencintai Misa. Sangat.
Spontan aku memeluk Krystal, dan
itu membuatnya terkejut. “Err—Sora.”
“Oh, maaf.” Aku segera melepaskan
pelukanku. “Maaf, aku tidak bermaksud.”
“Aku mengerti.” Ujarnya tersenyum.
“Bagaimana kalau kau menyusulnya sekarang?” usulnya.
“Ya, kau benar.” Ujarku lalu
segera berlari pergi. Tapi kemudian aku berhenti dan berbalik. “Terima kasih,
Krystal.” Ujarku setengah berteriak, melihat jarak kami yang cukup jauh.
Krystal tersenyum. Lalu aku kembali berbalik dan berlari pergi. Aku tahu di
mana dia sekarang.
Pohon sakura di belakang sekolah.
Dia pasti berada di sana. Tapi saat tiba di sana, aku tidak melihatnya.
Biasanya dia akan berdiri menatap pohon sakura itu. Aku mendekat, dan mendengar
suara isak tangis yang berusaha ditahan. Aku tahu di mana dia. Berada di balik
pohon sakura, duduk dan bersandar. Aku melakukan hal yang sama, duduk dan
bersandar pada batang pohon sakura yang cukup besar tapi pada arah yang
berlawanan darinya.
“Misa.” Aku masih mendengar suara
isakannya. “Aku minta maaf.”
Tidak ada jawaban, hanya isakan
yang mulai terdengar pelan. Kurasa dia sudah mulai tenang. Awal yang bagus
untukku. Aku mendongak, menyandarkan kepalaku di batang pohon, melihat dedaunan
pohon sakura yang bergerak karena tiupan angin, lalu melanjutkan ucapanku. “Maaf karena membuat
hatimu sakit, maaf membuatmu menangis, maaf karena sudah membentakmu, dan maaf
karena tidak mengerti perasaanmu.” dan aku tidak lagi mendengar tangisan itu.
Dia sudah tenang sekarang.
“Kau memang benar, saat kau
bilang aku tidak mencintaimu.” Ucapku, lalu cepat-cepat melanjutkan ucapanku,
takut dia akan salah paham. “Aku menyukaimu karena mata ruby-mu yang indah.
Tapi saat kau telah melakukan dan mengatakan semuanya, aku sadar. Aku cemburu
dan kesal saat melihatmu bersama lelaki lain, dan aku sedih dan takut saat
melihatmu menangis. Kau tahu kenapa? Karena aku tidak mencintaimu mata ruby-mu
lagi. Aku mencintaimu sepenuhnya.” Ujarku, lalu menunduk.
“Tidak apa kau tidak memaafkanku,
tapi kau harus tahu aku sangat mencintaimu. Sekali lagi maaf.” Ujarku,
“Maaf” kudengar suaranya dengan
jelas di depanku. Aku segera mendongak. Melihatnya yang menatapku dengan
tatapan sendu.
Aku segera berdiri dan merangkuhnya
dalam pelukanku. “Maaf, aku minta maaf.” Ujarku dengan cepat. Kurasakan
tangannya memelukku dengan pelan dan kemudian erat, lalu mengangguk. Aku
tersenyum.
“Terima kasih.” Bisikku,
Cukup lama kami berpelukan. Tidak
pernah kami melakukan ini, dan kami ingin menikmatinya. Kemudian aku melepas
pelukan kami. Katatap wajahnya yang terlihat datar, matanya menatap lurus ke
depan, entah menatap apa. Tapi aku senang melihatnya. Dia sudah kembali seperti
dulu. Misa yang tanpa ekspresi.
“Aku lapar. Kau mau makan?” tanyaku.
Misa menjawabnya dengan anggukan
tanpa ekspresi di wajahnya. Dan aku tersenyum senang. Aku memang suka Misa yang
agresif, tapi aku lebih menyukai Misa yang seperti ini, yang apa adanya. Aku
segera menggenggam tangannya, menautkan jari kami lalu menyeretnya pergi,
berjalan di depannya, seperti dulu. Meski sama seperti dulu, tapi ada hal lain
yang berbeda. Aku bukan lagi mencintai mata ruby-nya. Tapi mencintai dirinya
sepenuhnya.
“Aku mencintaimu, Misa.” Desisku,
berharap dia tidak mendengarnya.
Satu hal yang selalu aku
pertanyakan, bagaimana bisa dia mengubah ekspresinya dengan sangat cepat? Dan
saat kami berjalan pergi dari pohon sakura itu, tanpa kuketahui, ada sosok bermata
kuning lain menatap lembut dan tersenyum melihat kami berjalan pergi dengan
tangan yang saling berbagi kehangatan.
ehem ehem ada yang di landa asrama nih eh asmara sih. uhuk uhuk dalem banget bro.
BalasHapuslanjutin yak.
btw bru kunjungan ijin ikat persahabatan keknya menarik nih blog
hahaha gak juga sih.
Hapusterima kasih ^^
ah ya, dipersilahkan dengan senang hati ^^
Gw kayak lagi nyimak drama korea. Abis nama2 karakternya ke jepangan gimanaaaa gitu.. Si Misa ini sentral bgt.. :)
BalasHapusdrama korea ya. hahaha
Hapusnamanya saya ambil dari nama member forum kok.
Misa sentral banget ya? Masa? Aku gak nyadar -.-;;
Kalo ada orangnya gatau deh dia komen apa ryu >_> haha...
BalasHapusNei misa... kau mengorbankan keponakan mu untuk di buat dorama... ckckckck dasar Nei...