Senin, 27 Mei 2013

Tidak Butuh Kata untuk Mengungkapkannya

Selagi mengutak-atik Chou, My Precious Laptop, membuka file-file lama yang jarang tersentuh, aku menemukan file-file cerita yang sudah lama ku tulis. Kupikir mereka terhapus, ternyata malah ngumpet di file lain. Dan kuputskan untuk mem-publishnya. 
Please enjoy. Hope you like it.



Karakter diambil dari username member Naruto-Indo. Cerita ini tidak ada hubungannya dengan plot yang ada di forum. Just a fanfiction story to the cute couple SoMi.
Thanks a lot to both, Uchiha Sora and Nei Misa.


Tidak Butuh Kata untuk Mengungkapkannya


Bagaimana perasaan kalian memiliki pacar cuek? Menyebalkan bukan? Tapi bagaimana kalau punya pacar yang super duper cuek? Entah seberapa menyebalkannya itu. Itulah yang kualami, berpacaran dengan Sora. Pria super duper cuek , tapi cool. Bagaimana aku bisa berpacaran dengannya? Akan kuceritakan.

Pertama kali bertemu saat kami baru masuk SMA. Saat berjalan di koridor, secara tidak sengaja aku menabraknya dan aku terjatuh. Pertemuan yang klasik, kan? But that's happen to me. Aku kesal, entu saja, aku ingin berteriak ataupun memukul wajah orang yang menabrakku itu. Tapi, saat aku mendongak, melihat wajahnya, semua kekesalanku hilang begitu saja. Lenyap. Dia terlihat keren dengan wajah stoic-nya. Rambut emonya membuatnya terlihat semakin keren. Seperti pangeran yang kuimpikan selama ini.

“Kau tidak apa-apa?” tanyanya dengan wajah cuek. Dengan permulaan seperti itu, aku mulai membayangkan kejadian selanjutnya. Dia menolongku berdiri, kami saling berkenalan, mengenal satu sama lain, dan akhirnya timbul benih-benih cinta di antara kami. Dan akhirnya, kami menjalin kasih hingga akhir hayat. So sweet banget kan.

“Ya, aku baik-baik saja. Tapi—“ ujarku masih posisi terduduk. Terbayang lagi di kepalaku, sora menyodorkan tangannya kepadaku, untuk membantuku berdiri, dan aku bisa merasakan kehangatan tangannya.

“Oh, ya sudah.” Ujarnya tenang, lalu berjalan pergi.

Seketika itu pula, semua yang kubayangkan hancur berkeping-keping. Hanya segitu saja lalu dia pergi? Dia tidak berniat membantuku berdiri? Betapa bodohnya aku sudah membayangkan sesuatu yang terlalu berlebihan. Misa, kau memang bodoh. Aku segera berdiri, menepuk rokku untuk membersihkan debu yang menempel. Saat melihat ke arah laki-laki itu pergi, aku tidak melihatnya lagi. Hm… tapi aku benar-benar tertarik padanya. Seolah separuh hatiku telah terbawa olehnya. Semoga aku bisa bertemu dengannya lagi. Eh? Kami satu sekolah, jadi kemungkinan besar aku bertemu dengannya lagi. Asiiik.

Benar seperti dugaanku, aku bertemu dengannya lagi. Kami tidak sekelas, tapi kelas kami berdekatan. Jadi setiap hari aku bisa melihatnya. Kami jadi sering bertemu, bertegur sapa, dan makan di kantin bersama. Tapi semua itu hanya ada dalam imajinasiku. Kenyataannya, sekarang aku sedang memandanginya dari kejauhan. Aku memperhatikannya dari jauh, dan mengikutinya kemanapun. Tidak termaksud toilet, jika kalian berpikir seperti itu. Tidak mungkin kan aku ikut dengannya masuk ke toilet laki-laki?

Stalker? Anggap saja seperti itu. Bagaimana tidak, mungkin ¾ hatiku sudah ada padanya, tertawan oleh Uchiha Sora. Aku sudah tahu namanya, perkembangan yang bagus bukan. Dia terlalu cool dan menawan sehingga aku tidak berhenti untuk terus melihatnya. Bukan berarti dia populer, cuma aku benar-benar menyukainya. Bayangkan saja, aku bersusah payah menarik perhatiannya, dengan mengganti gaya rambut, supaya ketika kami berpapasan di koridor, dia bisa berkomentar “Kau mengganti gaya rambut? Tapi aku suka.” Tapi semua itu hanya dalam bayanganku saja. Melirikku pun tidak, aku bahkan bisa menduga, dia tidak akan menyadari keberadaanku meski berada di depan hidungnya.

Tapi aku salah. Saat mengintipnya dari pintu kelasnya, dia melirikku, sehingga untuk beberapa detik kami saling bertatapan. Sadar dia menangkap basah aku mengamatinya, aku segera berbalik, bersembunyi di balik pintu. Ya ampun, aku berdebar-debar. Ini pertama kalinya dia melihatku.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Aku membeku. Suara itu, aku mengenalnya. Perlahan, aku menoleh dan mendapatinya menatapku datar.

Dan bodohnya, aku hanya melongo melihatnya. Terlalu mengagumi wajahnya sih. Aku bahkan tidak sadar, sejak tadi dia berbicara padaku, menanyakan hal yang sama. “A-apa?” tanyaku.

“Aku bilang—“

Bilang apa? Dia berbicara terlalu pelan. Apa dia akan mengatakan sesuatu yang penting? Apa dia akan menyatakan cinta padaku karena sebenarnya sejak lama sudah menyukaiku dan dia diam-diam juga memperhatikanku, tapi tidak terang-terangan karena dia malu. Dan ketika ada kesempatan seperti saat ini, dia berani mengutarakannya dan mengajakku menjadi pacarnya. Ya ampun, betapa indahnya.

“Aku juga mencintaimu, aku bersedia menjadi pacarmu.” Ucapan itu langsung keluar dari mulutku begitu saja.

“Apa?”

Aku melihat wajahnya yang terlihat bingung. “Aku juga mencintaimu. Dan aku mau jadi pacarmu. Kau tadi menyatakan cinta padaku kan?” ujarku, terlalu over percaya diri.

Keningnya berkerut, terlihat tidak mengerti pada apa yang kukatakan. “Atau kau—tidak—“ ucapku tertahan, berusaha mencerna apa yang terjadi. “Aku hanya bertanya, apa yang kau lakukan di sini.” Ucapnya. Dasar Misa, imajinasimu terlalu berlebihan. Sekarang kau malu kan? Aku benar-benar malu. Mukaku memerah, dan kurasakan mataku basah. Betapa bodohnya aku, mengatakan hal yang bodoh di depan orang yang kusuka. Belum tentu dia menyukaiku kan. Misa bodoh.

“Apa yang tadi kau katakan?” tanyanya lagi.

Aku mendongak, melihat wajahnya yang penuh tanya. “Aku—Aku mencintaimu, dan mau jadi pacarmu.” Ujarku terbata-bata, dan saat itu pula wajahku menjadi semerah buah tomat segar. Aku benar-benar ingin menangis.

Sora menatapku cuku lama. Sepertinya dia sedang mempertimbangkan sesuatu. Dan kemudian “Baiklah.”

Baiklah? Apa itu berarti ‘ya, kau jadi pacarku’? Seketika wajahku menjadi cerah. Dan secara spontan aku memeluknya. Sora tampak terkejut. Sudah lama aku ingin melakukan ini, dan jantungku sangat berdebar-debar. Aku mencium wangi parfumnya. Benar-benar cocok untuknya. Tapi, cuma beberapa detik aku memeluknya, Sora melepaskan tanganku yang memeluknya, dan mendorong kepalaku sehingga aku menjauh darinya.

“Apa yang kau lakukan?” tanyanya.

“Memeluk pacarku.” Ujarku memasang senyum manisku.

“Jangan memelukku sembarangan. Kau pikir kau siapa?” ujarnya menatapku ogah-ogahan.

“Ta-tapi—tapi—“

“Pergilah, kembali ke kelasmu. Ini sudah hampir masuk.” Dan dia kembali masuk ke kelasnya.

“O-okey” teriakku, agar dia bisa mendengarnya.

Well, begitulah bagaimana aku bisa menjadi pacarnya. Cerita bodoh dan memalukan bukan? Tapi setidaknya dia sudah menjadi pacarku, meski selalu ada satu pertanyaan muncul di kepalaku sih. Apa dia juga mencintaiku?

##########


Tidak ada komentar:

Posting Komentar