Selama seminggu aku ke
rumah sakit, dia selalu ada di tempat yang sama, duduk di bangku yang sama, dan
melihat ke arah yang sama. Dan diam-diam pun aku selalu memperhatikannya. Aku
bingung, apa yang sedang di tatapnya? Yang kulihat hanya ada kebun bunga di
depannya. Dan tidak ada apapun lagi. Dan begitulah satu hari selesai, ketika
Rena dibawa pergi oleh suster kembali ke dalam rumah sakit.
Esoknya aku datang lagi
ke rumah sakit. Tidak, ibuku tidak sakit. Kemarin beliau sudah keluar dari
rumah sakit. Aku datang ke rumah sakit karena satu alasan. Untuk melihat gadis
itu, lagi. Entah kenapa, aku benar-benar tertarik padanya. Dan seperti biasa,
di jam sama, tempat yang sama, aku melihatnya duduk sambil menatap ke arah yang
sama. Jika kemarin aku melihatnya dari jauh, sekarang aku memberanikan diri
untuk mendekatinya. Rasa penasaran ini mengusikku.
“Hai.” Sapaku. Tapi
tidak ada jawaban darinya. Tuli? Tidak mungkin kan, kemarin aku melihatnya
menoleh ketika suster memanggilnya.
“Err—Hai.” Sapaku lagi,
kali ini volume suara kunaikkan. Tapi tetap tidak ada jawaban. Gadis itu terus memperhatikan
ke kebun bunga.
Aku memutuskan untuk
lebih dekat. “-Ehem—Hai.” Untuk ketiga kalinya aku mengulang kata yang sama.
Dan gadis itu tersentak kaget. Sepertinya tadi gadis itu sedang melamun. Gadis
itu menoleh, dan terkejut.
“Oh—Eh, Hai. Maaf,
kupikir kau menyapa orang lain.” Ujarnya, dan aku hanya tersenyum membalasnya.
“Boleh aku duduk?”
tanyaku.
“Tentu, silahkan.” Ujarnya,
sedikit menggeser tubuhnya, lalu kembali melihat ke kebun bunga.
“Siapa namamu?”
tanyaku.
“Rena.” Jawaban yang
sangat singkat darinya, tanpa menoleh sedikitpun.
Aku duduk di sampingnya,
lalu melihat ke kebun bunga. Dan kini suasana menjadi hening, dan aku menjadi
bingung. Bunga itu biasa saja, tidak ada yang spesial. Tapi kenapa sejak
kemarin gadis itu memperhatikan? Aku menoleh, menatap wajahnya. Wajahnya tampak
tenang, damai, tapi tatapannya begitu sendu. Ada apa dengannya?
“Boleh aku bertanya?”
“Tentu.” Jawabnya,
menoleh kepadaku sekilas, lalu kembali menoleh ke kebun bunga.
“Apa yang sedang kau
perhatikan?”
“Bunga.”
Yah, memang bunga.
Jawabannya memang benar sih, tapi jawabannya masih belum menjawab pertanyaan
yang sejak dulu ada di pikiranku. Aku masih penasaran, kenapa dia selalu
menatap pada satu hal saja. Dan kemudian aku tidak bertanya lagi. Kami diam dalam keheningan.
“Siapa namamu?"
Aku menoleh dan melihat wajahnya yang sedang menatapku penasaran. Kemudian kuberitahukan namaku padanya
Dan
begitulah kami berkenalan, hingga akhirnya kami mulai mengobrol, dan
jadi lebih dekat. Dan aku tahu kalau Rena telah berada di rumah sakit
hampir setahun. Saat aku bertanya penyakit apa yang dideritanya, Rena
hanya tersenyum. Tapi aku menjadi lebih penasaran padanya. Meski
tersenyum, entah kenapa tatapan matanya selalu kuartikan sebagai tatapan
sendu. Aku menduga dia mengidap penyakit yang parah. Tapi aku tidak
bisa memutuskan untuk berpikir begitu saja, dan aku tidak ingin mencari
tahu dengan cara lain. Aku ingin membiarkan Rena yang memberitahukannya
padaku.
Hampir
setiap hari kami bertemu di tempat yang sama, di waktu yang sama. Tapi
Rena tidak lagi memandangi kebun bunga, kami lebih banyak mengobrol. Dan
aku lebih banyak mengajaknya berjalan-jalan. Ternyata Rena memiliki
kepribadian yang tenang, dan suka tersenyum. Rena juga jadi lebih
sedikit terbuka kepadaku. Termasuk tentang penyakitnya.
"Kau
pernah bertanya padaku, apa yang kuperhatikan kan?" ujarnya membuka
percakapan ketika kami duduk di tempat pertama aku melihatnya. Kami
sedang menatap kebun bunga di depan kami.
"Bunga, kan?"
"Ya, bunga. Bunga dandelion."
"Dandelion?"
aku menoleh padanya. Kulihat dia sedang tersenyum sambil menunjuk ke
arah kebun bunga. Bukan ke bunga-bunga yang tertata rapi, tapi ke satu
tanaman yang tumbuh di antara bunga lainnya, bunga kecil yang tidak akan
terlihat jika tidak mengamatinya dengan baik. Dandelion.
"Aku punya tumor di kepala."
Dan
ucapan itu membuatku sontak menoleh ke Rena. Gadis itu menatap ke kebun
bunga, ke dandelion -lagi-lagi- dengan tatapan sendu. Tumor? Aku memang
pernah berpikir kalau Rena mengidap penyakit yang parah, tapi aku tidak
menyangka separah ini. Aku tidak berkata apa-apa. Aku memutuskan untuk
menatap dandelion itu, membiarkan keheningan menjalar di antara kami.
"Aku selalu menunggu hingga dandelion itu berbunga. Dan ketika itu terjadi, aku pun sudah ikut pergi, pergi bersama bunga-bunga kecil itu."
Aku
menoleh, menatap wajahnya. Meski tersenyum, tapi wajahnya begitu sendu.
Entah ada angin apa, aku langsung memeluk Rena begitu saja. Rena
tersentak, tentu dia sangat terkejut.
"Biarkan.
Biarkan seperti ini untuk sesaat. Kumohon." ujarku, berbisik. Dan
kurasakan Rena membalas pelukanku. Aku ingin menangis. Rasanya begitu
kasihan, aku seperti sedang memeluk kaca yang rapuh. Rena membalas pelukanku, mengelus punggungku seolah menenangkanku. "Tenang saja, aku—"
Satu hari aku ke Rumah Sakit, aku tidak menemukan Rena di sana, di tempat di mana kami biasa bertemu. Tidak ada sosok yang menatap sendu pada satu titik di sana. Hanya bangku kosong yang kudapati. Aku duduk di sana untuk menunggunya. Aku menatap pada bunga kecil yang berdiri di ujung sana, di antara bunga-bunga besar lain yang lebih indah. Dandelion itu mekar, menampakkan mahkotanya yang kuning cerah. Hingga berganti malam, Rena tak kunjung datang.
Beberapa hari berlalu, dan Rena tetap tidak datang. Aku sudah bertanya pada resepsionis, dan mereka tidak menemukan nama Rena di daftar nama pasien. Aku ingat, gadis itu tidak pernah memebritahukan nama yang sebenarnya padaku. Hanya nama panggilannya saja. Tentu saja nama panggilan dan nama aslinya belum tentu sama. Keseharianku menjadi berubah, aku menunggunya seharian di bangku yang sama setelah kegiatanku selesai, berharap gadis itu muncul dan menampakkan senyumnya lagi padaku. Dan yang kulakukan hanyalah menatap bunga dandelion yang mahkotanya mulai berubah.
Suatu hari, bunga itu sepenuhnya berubah menjadi putih. Kecemasanku menjadi tinggi, dan Rena belum juga muncul di hadapanku. Entah dimana dan bagaimana kabar gadis itu sekarang. Ketika angin bertiup, bunga-bunga kecil putih itu beterbangan satu persatu ke udara, mengikuti aliran udara yang membawanya ke tempat lain untuk tumbuh. Dan saat itu, aku menangis.
Aku ingat, Rena pernah berkata. "Tenang saja, aku akan kuat, seperti Dandelion. Meski kecil, meski rapuh, aku akan kuat. Jika suatu hari kau tidak melihatku di sini, suatu saat kita akan bertemu di tempat lain. Di tempat di mana benih Dandelion baru itu tumbuh."
Kuharap begitu, Rena, Sahabatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar